Sebuah film yang
terinspirasi dari sebuah novel karya Ahmad Tohari ini harus diperhitungkan
dalam industri per-filman di
Indonesia. Sebab, film ini mampu mengangkat cerita cinta dalam balutan kisah
mengenai carut marut dunia politik yang pernah terjadi di Indonesia dan
kehidupan sebuah dusun yang selalu didera kemiskinan dan kekeringan. Ifa Isfansyah
(Sutradara Film Sang Penari) mengaku
filmnya terinspirasi dari novel Ronggeng
Dukuh Paruk tapi bukan adaptasi dari novel tersebut. Karena, yang saya tahu
penulis novel memang menyarankan agar novelnya hanya menjadi inspirasi saja dan
untuk membebaskan sutradara dalam berimajinasi di filmnya tersebut.
Semula saya
berfikir film yang terinspirasi dari novel Ronggeng
Dukuh Paruk ini ceritanya tidak jauh berbeda dengan novelnya. Ternyata, apa
yang saya pikirkan salah. Cerita dari film Sang
Penari sangat jauh berbeda dengan novelnya. Sutradara memang lebih membuka
imajinasinya tentang novel tersebut dengan lebih luas dan lebih bebas
menceritakannya kembali. Tetapi dapat saya akui, secara isi unsur cerita dari
film Sang Penari secara keseluruhan
adalah unsur cerita dari novel Ronggeng
Dukuh Paruk karena dalam cerita Sang
Penari, tokoh yang dipakai masih sama dengan tokoh yang ada di novel dan
latar tempat ceritanya pun masih sama seperti misalnya nama dusun Dukuh Paruk
dan Pasar Dauwan.
Namun, banyak
juga cerita-cerita yang berubah dan sedikit ditambah-tambahkan di dalam
filmnya. Seperti di awal film misalnya, usia Srintil pada saat Srintil
dinobatkan menjadi seorang ronggeng yang berbeda dengan cerita di novelnya,
hadirnya tokoh Surti dalam film yang menjadi ronggeng sebelum Srintil yang
dalam novel sama sekali tidak ada cerita mengenai ronggeng Surti, dan masih ada
beberapa cerita lain yang diubah dalam film ini. Sekalipun banyak terjadi
perubahan cerita dalam filmnya, Sang
Penari tidak bisa begitu saja dilepaskan dari Ronggeng Dukuh Paruk karena memang sejauh unsur cerita yang
terlihat memang masih memiliki satu ikatan atau satu alur tersendiri.
Banyak unsur
yang terdapat dalam novel ini seperti misalnya kemiskinan, kekeringan, sejarah
sosial-politik Indonesia, relativitas nilai-nilai kultural dan moral,
modernitas, tradisionalitas dan unsur-unsur lain yang lebih kecil yang ikut
menyatu dan memadatkan isi cerita novel. Namun, dari sekian banyak unsur yang
menurut saya lebih banyak terdapat dalam novel ini adalah unsur tentang cinta.
Bagaimana kisah cinta Srintil dibahas secara mendalam di dalam novel ini,
penulis mampu membuat cerita dengan latar percintaan ini dengan membuat pembaca
masuk dan ikut bergejolak dalam kisah cinta tersebut. Banyak hal-hal yang
dirasakan Srintil dan mampu mengajak saya untuk bisa merasakannya juga karena
terbawa oleh arus permainan kata yang digunakan oleh penulis.
Sama halnya
dengan film Sang Penari yang saya
rasa, sutradara terlalu berlebihan dalam memasukan unsur percintaan ke dalam
filmnya, sehingga unsur-unsur lain seperti kebudayaan, politik, sosial, moral,
dan unsur lainnya yang sangat dalam dibahas dalam novel sedikit terabaikan.
Padahal jika unsur-unsur tersebut tidak hanya dipakai sebagai hiasan saja, akan
memperkuat unsur cerita dalam film tersebut terutama unsur kebudayaan dan
politiknya.
Sebetulnya
sempat terbayang oleh saya bagaimana kehidupan di Dukuh Paruk yang selalu
dikelilingi kemiskinan dan didera kekeringan, rasa iba terhadap warga Dukuh
Paruk dapat saya rasakan ketika membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tetapi, ketika saya menonton filmnya, sangat
berbeda dengan profil Dukuh Paruk yang digadang-gadang serba kekeringan itu
ketika saya melihat bagian yang menurut saya hampir sama dengan cerita di novel,
namun maknanya terpatahkan begitu saja hanya karena satu hal. Misalnya dibagian
yang satu ini, pada saat bocah Dukuh Paruk yang sedang mencuri singkong di
ladang, dengan mudahnya bocah-bocah tersebut mencabut singkong yang tertanam
pada tanah yang baru saja diguyur hujan. Padahal pada konteksnya Dukuh Paruk
adalah desa yang serba kekeringan dan hal itu terpatahkan karena cerita film
pada bagian tersebut.
Tetapi ada
bagian di film yang menurut saya patut mendapat pujian, keberanian sutradara
menampilkan drama politik yang ada dalam dusun itu patut diacungi jempol,
padahal dalam novel yang dituliskan oleh Ahmad Tohari ini tidak begitu berani
menceritakan mengenai pembunuhan orang-orang komunis PKI oleh tentara. Dan
menceritakan bagaimana ada orang yang dibunuh dan mayatnya mengambang di
sungai. Tentunya terdapat juga keberanian Ahmad Tohari dalam bercerita,
sekalipun hanya menggunakan simbol, tetapi saya dapat menangkap makna dari
simbol tersebut. Seperti misalnya, ketika Sakarya mendapati makam Ki
Secamenggala diporak porandakan oleh orang yang mereka fikir adalah orang-orang
dari PKI, tiba-tiba ada seseorang yang datang dengan membawa caping hijau. Di
sanalah keberanian Ahmad Tohari yang dengan simbolnya “caping hijau”, yang saya
tahu warna hijau itu identik dengan atribut kelompok NU, kelompok agama
terbesar yang diperintahkan oleh militer untuk membasmi anggota PKI. Kelompok
NU tidak sepenuhnya menjadi pelaku dalam cerita ini, mereka juga menjadi korban
karena mereka diperdaya oleh militer agar mau membasmi anggota PKI. Dengan
menggunakan simbol “caping hijau” secara berani Ahmad Tohari membentangkan
pedoman lain selain kemiliteran dan komunis, yaitu kelompok keagamaan.
Berbanding
terbalik dengan keberanian Ahmad Tohari, Isfansyah yang masih belum berani
mengungkap simbol yang dituliskan oleh Ahmad Tohari terlihat ketika Bakar
(Lukman Sardi) yang sedang berdiri di samping reruntuhan makam Ki Secamenggala
pada malam hari, ketika itu Bakar menunjukkan caping namun warnanya disamarkan.
Bisa jadi hal tersebut sengaja dibuat oleh sutradara karena memang sutradara
yang masih takut menerima reaksi dari kelompok NU.
Pada akhir
cerita dalam novel, Ahmad Tohari menunjukkan anti-klimaks pada ceritanya
tersebut. Terlihat ketika bagaimana kehancuran Dukuh Paruk yang dianggap
sebagai pedukuhan cabul dan komunis yang menyebabkan para pelaku ronggeng
dipenjarakan selama dua tahun lamanya. Dengan bertahap Ahmad Tohari
menceritakan kisah Srintil setelah keluar dari penjara yang akhirnya Srintil
mengalami gangguan kejiwaan akibat kekecewaannya terhadap Bajus, lelaki yang
berjanji akan menikahinya namun ia malah menjual Srintil kepada lelaki hidung
belang demi mendapat penghasilan untuk Bajus. Sebelum Srintil mengalami
gangguang kejiwaan diceritakan bahwa Srintil ingin membebaskan dirinya dari
segala hal yang berhubungan dari ronggeng. Tetapi diakhir film, Srintil
tiba-tiba muncul dengan Sakum dan kembali meronggeng dengan cerianya. Tanpa
dijelaskan kemana perginya Sakarya dan Kertareja. Juga bagaimana bisa Srintil
tiba-tiba kembali meronggeng dengan wajah cerianya. Terjadi perbedaan yang
bertolak belakang di akhir cerita ini. Dalam novel, cerita berakhir dengan
tragis dan menyedihkan tetapi di dalam film cerita berakhir dengan keceriaan
dan keromantisan.