Selasa, 05 November 2013

Inspirasi Film Sang Penari dari Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari


Sebuah film yang terinspirasi dari sebuah novel karya Ahmad Tohari ini harus diperhitungkan dalam industri per-filman di Indonesia. Sebab, film ini mampu mengangkat cerita cinta dalam balutan kisah mengenai carut marut dunia politik yang pernah terjadi di Indonesia dan kehidupan sebuah dusun yang selalu didera kemiskinan dan kekeringan. Ifa Isfansyah (Sutradara Film Sang Penari) mengaku filmnya terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk tapi bukan adaptasi dari novel tersebut. Karena, yang saya tahu penulis novel memang menyarankan agar novelnya hanya menjadi inspirasi saja dan untuk membebaskan sutradara dalam berimajinasi di filmnya tersebut.
Semula saya berfikir film yang terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk ini ceritanya tidak jauh berbeda dengan novelnya. Ternyata, apa yang saya pikirkan salah. Cerita dari film Sang Penari sangat jauh berbeda dengan novelnya. Sutradara memang lebih membuka imajinasinya tentang novel tersebut dengan lebih luas dan lebih bebas menceritakannya kembali. Tetapi dapat saya akui, secara isi unsur cerita dari film Sang Penari secara keseluruhan adalah unsur cerita dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karena dalam cerita Sang Penari, tokoh yang dipakai masih sama dengan tokoh yang ada di novel dan latar tempat ceritanya pun masih sama seperti misalnya nama dusun Dukuh Paruk dan Pasar Dauwan.
Namun, banyak juga cerita-cerita yang berubah dan sedikit ditambah-tambahkan di dalam filmnya. Seperti di awal film misalnya, usia Srintil pada saat Srintil dinobatkan menjadi seorang ronggeng yang berbeda dengan cerita di novelnya, hadirnya tokoh Surti dalam film yang menjadi ronggeng sebelum Srintil yang dalam novel sama sekali tidak ada cerita mengenai ronggeng Surti, dan masih ada beberapa cerita lain yang diubah dalam film ini. Sekalipun banyak terjadi perubahan cerita dalam filmnya, Sang Penari tidak bisa begitu saja dilepaskan dari Ronggeng Dukuh Paruk karena memang sejauh unsur cerita yang terlihat memang masih memiliki satu ikatan atau satu alur tersendiri.
Banyak unsur yang terdapat dalam novel ini seperti misalnya kemiskinan, kekeringan, sejarah sosial-politik Indonesia, relativitas nilai-nilai kultural dan moral, modernitas, tradisionalitas dan unsur-unsur lain yang lebih kecil yang ikut menyatu dan memadatkan isi cerita novel. Namun, dari sekian banyak unsur yang menurut saya lebih banyak terdapat dalam novel ini adalah unsur tentang cinta. Bagaimana kisah cinta Srintil dibahas secara mendalam di dalam novel ini, penulis mampu membuat cerita dengan latar percintaan ini dengan membuat pembaca masuk dan ikut bergejolak dalam kisah cinta tersebut. Banyak hal-hal yang dirasakan Srintil dan mampu mengajak saya untuk bisa merasakannya juga karena terbawa oleh arus permainan kata yang digunakan oleh penulis.
Sama halnya dengan film Sang Penari yang saya rasa, sutradara terlalu berlebihan dalam memasukan unsur percintaan ke dalam filmnya, sehingga unsur-unsur lain seperti kebudayaan, politik, sosial, moral, dan unsur lainnya yang sangat dalam dibahas dalam novel sedikit terabaikan. Padahal jika unsur-unsur tersebut tidak hanya dipakai sebagai hiasan saja, akan memperkuat unsur cerita dalam film tersebut terutama unsur kebudayaan dan politiknya.
Sebetulnya sempat terbayang oleh saya bagaimana kehidupan di Dukuh Paruk yang selalu dikelilingi kemiskinan dan didera kekeringan, rasa iba terhadap warga Dukuh Paruk dapat saya rasakan ketika membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tetapi, ketika saya menonton filmnya, sangat berbeda dengan profil Dukuh Paruk yang digadang-gadang serba kekeringan itu ketika saya melihat bagian yang menurut saya hampir sama dengan cerita di novel, namun maknanya terpatahkan begitu saja hanya karena satu hal. Misalnya dibagian yang satu ini, pada saat bocah Dukuh Paruk yang sedang mencuri singkong di ladang, dengan mudahnya bocah-bocah tersebut mencabut singkong yang tertanam pada tanah yang baru saja diguyur hujan. Padahal pada konteksnya Dukuh Paruk adalah desa yang serba kekeringan dan hal itu terpatahkan karena cerita film pada bagian tersebut.
Tetapi ada bagian di film yang menurut saya patut mendapat pujian, keberanian sutradara menampilkan drama politik yang ada dalam dusun itu patut diacungi jempol, padahal dalam novel yang dituliskan oleh Ahmad Tohari ini tidak begitu berani menceritakan mengenai pembunuhan orang-orang komunis PKI oleh tentara. Dan menceritakan bagaimana ada orang yang dibunuh dan mayatnya mengambang di sungai. Tentunya terdapat juga keberanian Ahmad Tohari dalam bercerita, sekalipun hanya menggunakan simbol, tetapi saya dapat menangkap makna dari simbol tersebut. Seperti misalnya, ketika Sakarya mendapati makam Ki Secamenggala diporak porandakan oleh orang yang mereka fikir adalah orang-orang dari PKI, tiba-tiba ada seseorang yang datang dengan membawa caping hijau. Di sanalah keberanian Ahmad Tohari yang dengan simbolnya “caping hijau”, yang saya tahu warna hijau itu identik dengan atribut kelompok NU, kelompok agama terbesar yang diperintahkan oleh militer untuk membasmi anggota PKI. Kelompok NU tidak sepenuhnya menjadi pelaku dalam cerita ini, mereka juga menjadi korban karena mereka diperdaya oleh militer agar mau membasmi anggota PKI. Dengan menggunakan simbol “caping hijau” secara berani Ahmad Tohari membentangkan pedoman lain selain kemiliteran dan komunis, yaitu kelompok keagamaan.
Berbanding terbalik dengan keberanian Ahmad Tohari, Isfansyah yang masih belum berani mengungkap simbol yang dituliskan oleh Ahmad Tohari terlihat ketika Bakar (Lukman Sardi) yang sedang berdiri di samping reruntuhan makam Ki Secamenggala pada malam hari, ketika itu Bakar menunjukkan caping namun warnanya disamarkan. Bisa jadi hal tersebut sengaja dibuat oleh sutradara karena memang sutradara yang masih takut menerima reaksi dari kelompok NU.
Pada akhir cerita dalam novel, Ahmad Tohari menunjukkan anti-klimaks pada ceritanya tersebut. Terlihat ketika bagaimana kehancuran Dukuh Paruk yang dianggap sebagai pedukuhan cabul dan komunis yang menyebabkan para pelaku ronggeng dipenjarakan selama dua tahun lamanya. Dengan bertahap Ahmad Tohari menceritakan kisah Srintil setelah keluar dari penjara yang akhirnya Srintil mengalami gangguan kejiwaan akibat kekecewaannya terhadap Bajus, lelaki yang berjanji akan menikahinya namun ia malah menjual Srintil kepada lelaki hidung belang demi mendapat penghasilan untuk Bajus. Sebelum Srintil mengalami gangguang kejiwaan diceritakan bahwa Srintil ingin membebaskan dirinya dari segala hal yang berhubungan dari ronggeng. Tetapi diakhir film, Srintil tiba-tiba muncul dengan Sakum dan kembali meronggeng dengan cerianya. Tanpa dijelaskan kemana perginya Sakarya dan Kertareja. Juga bagaimana bisa Srintil tiba-tiba kembali meronggeng dengan wajah cerianya. Terjadi perbedaan yang bertolak belakang di akhir cerita ini. Dalam novel, cerita berakhir dengan tragis dan menyedihkan tetapi di dalam film cerita berakhir dengan keceriaan dan keromantisan.

Kamis, 10 Oktober 2013

Persepsi Umar Kayam terhadap Wanita Jawa Sri Sumarah


Oleh Nur Kholilah

Pertemuan saya dengan karya-karya Umar Kayam bukanlah kali pertama, sebelumnya saya sudah pernah membaca dan menganalisis karya Umar Kayam dalam buku kumpulan cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Di dalamnya terdapat 10 cerpen yang menurut saya, sebagian cerita yang Umar Kayam sampaikan dalam buku kumpulan cerpennya itu menggambarkan bentukan suasana tanpa cerita sebenarnya, namun jalan ceritanya tetap mudah dipahami. Tetapi lain halnya dengan cerpen Sri Sumarah ini, Kayam seolah ingin memuncukan hal baru yang ada dalam pikirannya. Mengenai persepsi dan penilaiannya tentang wanita jawa pada umumnya. Berbeda dengan cerpen sebelumnya, kali ini Kayam lebih menceritakan satu tokoh yang sangat berperan dalam jalannya cerita yang Kayam buat.
Sri Sumarah yang Kayam tampilkan dalam ceritanya menampikan nuansa Jawa yang terdapat pada makna dari nama tersebut. Dalam ceritanya sendiri Kayam menjelaskan bahwa Sumarah berarti pasrah dan menyerah. Sri dituntut menjadi tokoh yang selalu berpasrah diri dan menyerah terhadap takdir yang datag padanya. Sebuah peajaran hidup yang cukup berarti bagi saya. Karena memang dalam hidup ini kita diharuskan untuk selalu berpasrah diri setelah kita berusaha.
Cerpen ini cukup panjang dan konflik yang dihadirkan dalam cerita ini pun cukup beragam sehingga tak heran kalau banyak yang menyebut cerpen ini sebagai Novelet (Novel Pendek).
Kisah Sri Sumarah dalam Cerpen dengan Realita
Hidup bersama sang nenek dan dituntut untuk selalu pasrah dan menyerah. Itulah Sri seorang wanita Jawa yang selalu memahami takdir dengan apa adanya tanpa menuntut sedikitpun. Sosok Sri memang tidak jauh berbeda dengan wanita Jawa pada umumnya. Kisah yang menceritakan sebuah kehidupan manusia yang perjalanannya berjalan hingga berbeda zaman. Sri kecil adalah gambaran seorang wanita Jawa yang selalu menaati perintah orang tua dan menjadikannya untuk menikah muda. Memang di zamannya ketika itu, wanita seumuran Sri sudah pantas untuk menikah. Hingga saatnya Sri melahirkan dan mempunyai anak. Terlihat sudah bagaimana perubahan karakter cerita di dalamnya namun tokoh utamanya masih ditujukan untuk Sri. Ketika Sri memiliki anak, mulai timbul kutur baru di dalam cerita itu. Bagaimana kayam mencoba bercerita sesuai dengan relaita zaman sekarang. Kayam memunculkan Tun sebagai anak Sri, sekaligus gambaran dari seorang wanita Jawa yang sudah tercampur kultur luar.
Tun yang semula amat patuh pada kultur budayanya. Mulai tergoyahkan ketika Tun belajar di Kota yang berbeda kultur dengannya. Gambaran seorang wanita muda yang masih bisa terbawa arus zaman. Terombang-ambing oleh zaman yang pada akhirnya ia sendiri yang menjadi korbannya. Karakter Sri sebagai seorang ibu yang teguh dengan prinsipnya lagi-lagi menjadikan Sri sebagai idola dalam cerita ini. Sri tidak marah pada hidupnya sekalipun takdir sudah membuat hancur kehidupannya. Sri selalu memandang segala hal menjadi positif dengan prinsip yang telah Sri miliki. Sri tetap menjalankan segala hal dengan sumarah. Pandangan Sri terhadap masalah yang muncul dalam hidupnya bukanlah pandangan yang membuat ia menyesali hidupnya saat itu, Sri justu malah memandang segala masalah yang hadir dalam hidupnya sebagai keuntungannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sebuah pelajaran berharga dari Sri, yang membuat saya menjadi bersyukur atas apa yang telah saya miliki. Menuntut saya juga harus memandang segala takdir kehidupan dengan hal positif. Karena dengan memandang semua hal dengan positif kita akan mampu menjadikannya lebih indah dari sebelumnya.
Itulah Umar Kayam
Pemilihan bahasa yang Kayam tampilkan memperkuat ceritanya yang berunsur Jawa, tokohnya dalam berdialog selalu menyisipkan bahasa-bahasa Jawa. Namun menurut saya, biasanya dalam cerpen itu hanya memiliki satu konflik. Tetapi berbeda halnya dengan cerpen yang satu ini, Kayam menampilkan beberapa masalah dan dalam penyelesaian masalah satu ke masalah lain sangatlah cepat membuat cerita itu tidak begitu menarik hanya saja mudah dimengerti. Munculnya beberapa masalah dalam cerpen itulah yang menurut saya membuat cerpen ini disebut sebagai Novelet.
Tetapi cerita yang Kayam sampaikan mampu membuat saya ikut merasakan pergolakan batin antara perjalanan Sri dalam menjalani kehidupannya, ataupun cara Sri dalam memahami kehidupannya. Sebagai wanita saya merasa iri terhadap sosok Sri yang cukup matang untuk menjadi seorang istri dan ibu yang mampu memahami karakter anaknya. Kayam betul-betul mampu membuat saya terbawa oleh arus cerita, membuat saya mampu merasakan ketegangan rasa ketika membacanya.
Sebuah cerita yang menampilkan realita kehidupan di zamannya dan zaman sekarang ini. sebuah cerita yang memiliki makna kehidupan yang sangat berarti. Itulah Umar Kayam yang mampu menulis dengan mengutamakan suasana dengan realitanya.

SELINTAS CERITA: SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER



Pantai Sawarna, tempat yang paling banyak dikenal dan disebut-sebut sebagai Bali-Nya Banten ini berada di daerah Banten bagian Selatan, dan memang sudah lama menjadi incaran para wisatawan untuk berlibur, termasuk incaran saya juga. Karena dari sejak lahir saya tinggal di Banten, belum pernah saya menginjakkan kaki di wilayah Banten bagian selatan ini. Rasa penasaran saya terhadap daerah ini cukup membuat saya menjadi seorang pengkhayal, jujur saja sampai saat ini saya masih saja belum berkesempatan untuk bisa datang ke tempat itu. Padahal saya mengaku sebagai warga Banten, anehnya belum pernah ke tempat itu. Kasihan sekali saya.
Sampai di sela-sela rasa penasaran saya, saya menemukan sebuah buku yang sudah cukup lama diterbitkan tetapi saya baru mengetahuinya. Buku yang menceritakan tentang penindasan yang ada di daerah Banten Selatan pada masanya. Yang tidak saya sangka, orang yang menulis buku itu bukan berasal dari daerah Banten. Dia adalah Pramoedya Ananta Toer yang lahir di Blora- Jawa Tengah dan hampir separuh hidupnya ia habiskan di dalam penjara. Pram memang seorang penulis yang bertangan dingin, terbukti dengan karya-karya yang telah ia ciptakan sekalipun ia bertahun-tahun tinggal di dalam penjara.
Dalam bukunya itu, Pram menceritakan, sebuah desa bagian Selatan yang di dalamnya terdapat banyak keluarga yang selalu ditindas oleh orang-orang yang merasa berada di atas mereka. Mereka dipukuli, dibunuhi, dan rumah mereka dibakari. Kehidupan mereka penuh dengan penindasan, dikelilingi rasa cemas, dan rasa takut yang selalu menggerayangi setiap harinya. Pak Lurah yang nyatanya masih sekelompok pemberontak DI dan orang yang selama ini mereka panggil sebagai Juragan ternyata adalah Residen dari pemberontak DI itu sendiri. Kisah kehidupan masyarakat wilayah Banten bagian Selatan ini cukup membuat hati saya iba. Terlepas dari itu, saya jadi membayangkan bagaimana para pejuang di masa itu memperjuangkan kedamaian dan ketentraman di wilayah mereka sendiri. Bagaimana perjuangan mereka sampai-sampai mereka lupa memikirkan keselamatan dan kesehatan jiwanya sendiri demi memperjuangkan keselamatan banyak orang dan anak cucunya. Sungguh mulianya mereka. Tetapi sebelum saya lebih jauh membahas mengenai perjuangan para pejuang, saya akan sedikit menceritakan hasil bacaan saya. Novel ini telah berhasil membawa saya berpikir ke belakang, membuat saya mensyukuri segala yang telah saya miliki saat ini.
Perjuangan Ranta melawan segala bentuk penindasan
Ranta dan Ireng adalah sepasang suami istri yang menghuni gubuk sederhana dalam kondisi serba kekurangan. Ranta selalu diperintah paksa oleh Juragan Musa dengan dijanjikan imbalan yang tinggi, namun ternyata tidak seperti yang diharapkan, Ranta malah dipukuli dan disiksa habis-habisan. Berkali-kali Ranta diperlakukan tidak manusiawi seperti itu, akhinya Ranta mulai bosan dan ingin melawan Juragan. Ranta mulai berpikir untuk melawan Juragan ketika nanti Juragan berkunjung kembali ke rumahnya.
Perlawanan Ranta dan dua orang pemikul singkong yang mampir ke rumahnya beberapa hari yang lalu membuahkan hasil, Juragan akhirnya ditangkap oleh Komandan atas perbuatannya, setelah ia berkali-kali memncoba mengingkari berbagai fakta dan bukti bahwa dia terlibat dalam kelompok Darul Islam (DI). Nyonya pun harus menerima kenyataan ditinggalkan Juragan yang ditangkap OKD tersebut, bahkan dia harus mengalami nasib yang kurang baik setelah ditinggalkan Juragan.
Ranta kemudian diangkat menjadi Lurah sementara di daerah Banten Selatan tersebut oleh Komandan yang menangkap Juragan Musa. Walaupun berpendidikan rendah, namun Ranta dipercaya oleh warga sekitar dan Komandan karena tekadnya yang kuat untuk melepaskan diri dari ketidakadilan dan dari segala penindasan. Bersama warga desa yang mempercayainya, Ranta dibantu Komandan untuk membangun dan menata kembali tempat tinggal mereka yang sempat luluh lantak akibat dari perbuatan pemberontak DI, menjadi tempat yang lebih nyaman dan bisa berkembang untuk kelangsungan hidup mereka.
Setelah merasa tidak ada ancaman lagi dari pemberontak DI, warga dibantu pak Lurah Ranta dan Komandan bersama-sama bergotong-royong, untuk menata kembali desa mereka. Warga desa di Banten Selatan ini harus benar-benar berpikir keras dan mengerahkan semua tenaga mereka untuk menata kembali wilayah mereka. Karena daerah Banten Selatan ini kaya akan sumber daya alam, warga setempat mengandalkan sumber daya alam yang terdapat di desa itu untuk kelangsungan hidup saat ini dan juga untuk ke depannya. Maka dari itu, mereka berusaha untuk tidak menyia-nyiakan sedikitpun sumber daya yang ada.
Nyonya yang sudah mulai menyadari sikap salah suaminya, berusaha mencoba membayar kesalahan itu dengan mengusulkan untuk ia mengajari warga baca tulis. Karena Nyonya merasa mampu untuk membantu ikut serta dalam membangung desa itu. Walau sempat terjadi pro-kontra antar warga terhadap usulan Nyonya. Tetapi pada akhirnya mereka menyetujui untuk belajar baca tulis bersama Nyonya. Karena warga juga menyadari bahwa mereka memang harus meningkatkan kemampuan agar menjadi manusia yang lebih berkualitas. Dan satu lagi pelajaran yang dapat mereka petik dari keberhasilan mereka melawan pemberotak DI, yaitu semangat untuk bersatu, bergotong-royong, dan menjaga wilayah mereka sendiri untuk menaklukkan segala ancaman yang datang.
Pramoedya Ananta Toer dengan Banten Selatan
Cara pandang Pram terhadap wilayah Banten Selatan ini cukup baik. Pram mengakui bahwa buku ini tercipta memang hasil dari kunjungannya ke Banten Selatan di tahun 1957. Di desa itu ia melihat berbagai perpaduan alam yang indah, sumber daya yang begitu kaya, dengan warga yang menempati wilayah itu tidak begitu banyak tetapi kesejahteraan hidup yang masih kurang membuat Pram ingin menyumbangkan pikirannya agar pikirannya itu bisa mempunyai arti yang konstruktif. Cerita ini terbentuk bukan serta merta dari pendapat dan apa yang dipikirkan oleh Pram sendiri, tetapi hasil dari obrolan-obrolan Pram dengan orang-orang yang ia temui di daerah Banten Selatan, orang-orang itu cukup mengenal daerah Banten Selatan, yang juga ikut merasakan suka duka yang mereka rasakan dan mereka alami selama tinggal di daerah Banten Selatan. Maka dari itu, tidak heran jika lattar tempat dan suasana yang Pram tulis dalam ceritanya bisa membawa kita para pembaca terbawa ke dalam alur suasana cerita tersebut. Namun, Pram sendiri juga mengakui bahwa tidak seluruh cerita yang ia tuliskan dalam buku tersebut adalah cakupan keseluruhan dari cerita-cerita yang ada di daerah Banten Selatan, ada beberapa cerita yang memang tidak terjadi di daerah Banten Selatan. Tetapi pengakuan Pram tersebut tidak mampu mematahkan kualitas Pram dalam menulis sebuah cerita. Justru dari situlah kita dapat nilai sejauh mana kemampuan Pram dalam mengembangkan tulisan dari cerita yang ia dapatkan tanpa merusak kesan nyata dari awal cerita tersebut.

Minggu, 14 Juli 2013

Ketertarikan Korrie terhadap Karya Umar Kayam : “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”


“Cerpen Umar Kayam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini merupakan cerpen yang tidak berkisah. Tetapi disajikan dalam bentuk suasana.”[1]Itulah kalimat yang Korrie tuliskan dalam sebuah artikelnya. Korrie yang tertarik pada cara penyajian yang disampaikan oleh Umar Kayam mencoba menganalisis beberapa karya Umar Kayam. Korrie adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang berasal dari Samarinda. Keahliannya dalam membuat karya sastra memang sudah tidak diragukan lagi, karena terbukti dengan penghargaan-penghargaan yang sudah ia dapatkan dalam menulis karya sastra.
Umar Kayam termasuk salah satu sastrawan yang dimiliki Indonesia. Kumpulan cerita pendeknya telah dimuat ke dalam buku yang berjudul “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, buku tersebut merupakan buku kumpulan cerita pendek Umar Kayam yang  pertama. Awal ketertarikan Korrie terhadap cerpen karya Umar Kayam itu, ketika Korrie melihat karya Umar Kayam dari segi penyajiannya. Penyajian Umar Kayam yang menurutnya cukup unik. Karena sebagian besar cerpen karya Umar Kayam disajikan dalam bentuk suasana, tanpa cerita yang sebenarnya, namun masih dalam kaidah konvensional. Karena menurut Korrie, bentuk semacam itu baru dalam sastra Indonesia yang biasanya cerpen Indonesia selalu menyajikan tokoh dan peran tokoh sangat besar sekali. Lalu tokoh itu dijadikan sebagai pahlawan kecil yang menentukan berhasil tidaknya sebuah cerita. Di sisi lain, ada juga cerpen yang mengutamakan kisahnya, dan tentunya kisah itu harus mengesankan, agar ia tidak menjadi dunia mistik. Seperti yang terdapat dalam beberapa cerpen kebanyakan yang biasanya menjadikan tokoh-tokoh dari cerpen yang serba mungkin, yang jika kita pikir ulang, hal tersebut terkadang tidak mungkin bisa dilakukan atau terjadi dalam kehidupan nyata. Sedangkan pada karya Umar Kayam, tokoh-tokohnya adalah manusia nyata.
Saya mengambil satu contoh analisis Korrie mengenai cerpen Umar Kayam yang berjudul “Seribu Kunang-Kunang di Manhatam”, seperti yang telah dikatakan oleh Korrie di atas, memang hampir semua cerpen dalam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” ini tersaji dalam suasana yang mengabaikan plot. Cerita dimulai dan berakhir dalam suasana saat itu juga. Dan suasana yang disajikannya biasa-biasa saja dengan nada cerita yang biasa dan ringan, tanpa kehendak untuk membebani kisahnya dengan kalimat-kalimat serta kata-kata yang gagah. Namun, dalam kesederhanaan dan hal-hal yang biasa ini tersaji, inti dasar cerita yang menyajikan arti kehadiran manusia bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain sebagai teman hidupnya. Yang jelas sekali terlihat dalam cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, berkisah tentang manusia yang tidak berkepentingan dan menyendiri. Dalam sebuah artikel Korrie menggambarkan kisah cerpen itu, kisah yang lebih menekankan manusia yang serba terasing dan tergencet oleh suatu situasi dan suatu suasana tertentu. Keterasingannya ini bisa disebabkan oleh kenyataan bahwa tokoh-tokohnya terlalu mementingkan diri sendiri, bisa karena mereka tidak mungkin saling menerima karena perbedaan kultur yang tegas. Menurut saya, perbedaan kultur yang tegas itu bisa terlihat dari tokoh utamanya yaitu Jane dan Marno yang berperan sebagai sepasang kekasih yang nampak terlihat sebagai lambang antara Timur dan Barat. Nama ‘Jane’ yang biasanya identik dengan ke Baratannya dan begitupun nama ‘Marno’ yang sangat identik dengan ke Timurannya.  Sedangkan dari sisi lain kulturnya, Korrie melihat pada latar belakang Jane dan Marno. Jane yang memiliki kenang-kenangan terhadap Uncle Tom, boneka yang sangat disenanginya. Sedangkan Marno, memiliki kenang-kenangan terhadap si Jlamprang. Kerbau kakeknya.
“Mainan jang selalu kau kasihi hingga kemana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si-Djlamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan djuga?”
“Tidak selalu. Mainan jang paling aku kasihi dulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang djelek sekali rupanja. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku”. (Umar Kayam, 1972:13).
Latar belakang yang berbeda itulah yang membawa persepsi berbeda dalam menanggapi hidup dan kehidupan. Namun menurut Korrie, di situlah letak keunikan ceritanya. Karena walaupun begitu, pada akhirnya mereka bertemu, saling berkasih-kasihan, keduanya berlarut begitu saja seiring dengan berjalannya arus waktu. Dalam seketika mereka seperti terdampar di sebuah dunia yang asing, dari waktu kenyataan kemanusiaan yang begitu menyakitkan dan penuh dengan kehampaan.
Jika kita lihat dari apa yang disimpulkan oleh Korrie terhadap cerpen tersebut, Korrie lebih melihat cerpen itu dari sisi kebudayaan dan emosi kejiwaan tokoh tersebut. Hal tersebut itulah yang membuat Korrie tertarik pada karya sastrawan yang satu ini (Umar Kayam). Karena ketika saya pandang dari kehidupan Korrie yang penuh dengan kultur budaya Dayak. Dalam prosesnya untuk menjadi seorang sastrawan pun bukan serta-merta tarjadi begitu saja dan kemudian matang. Tetapi terdapat semacam tahapan perkembangan yang sebagaimana lazimnya. Seperti Korrie yang berangkat dari kultur Dayaknya dan menjadikan Dayak sebagai titik keberangkatannya menjadi seorang sastrawan.
Bila kita amati lebih mendalam lagi, cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku “Seribu Kunang-Kunang di Manhattam” itu berlatar di New York, kota di mana Kayam pernah tinggal, yang mencerminkan kehidupan modern di kota itu. Bisa kita simpulkan bahwa sebagian cerpen yang Kayam buat adalah hasil dari pengalaman, pengamatan, perenungan, penataan, dan harapan.
Sedikit berbeda dengan pandangan Korrie, saya melihat dalam cerpen ini terdapat cerita tentang keinginan seorang wanita untuk mencecap persetubuhan badani. Jane yang kesepian, karena sudah berpisah dengan suaminya Tomy, yang seketika itu hasrat seksnya bangkit ketika sedang berdua dengan Marno. Ini bisa kita lihat dari tingkah laku maupun perkataannya.
Jane merebahkan badannja di sofa, matanja di pedjamkan, tapi kakinja disepak-sepakkannja ke atas. Lirih-lirih dia mulai menjaji – deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby deep blue sea….
“Pernahkah kau punja keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telandjang lalu membiarkan badanmu tenggelam d-a-l-a-a-a-m sekali di dasar laut jang teduh itu, tapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu jang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?” (Umar Kayam, 1972:11).
Jane memedjamkan matanja dengan dadanja lurus-lurus terlentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanja. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar lalu duduk kembali di sofa.
“Marno kemarilah duduk.”
“Kenapa? Bukankah sedjak tadi sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah duduk.” (Umar Kayam, 1972:12).
Dibukanya bungkusan itu dan di bebernja pijama itu di dadanja.
“Kau suka dengan pilihanku ini?”
“Ini pajama jang tjantik, Jane.”
“Akan kau pakai sadja malam ini. Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti dengan pajama.” (Umar Kayam, 1972:14-15).
Jika kita simpulkan kejadian itu seperti pernah dialami oleh Kayam. Sebab sebelum menjadi cerita “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, pengalaman yang diterima si pengarang tentunya akan diolah terlebih dahulu. Seperti unsur-unsur wawasan dan renungan, kenangan dan harapan, emosi, dan penataan. Tentulah melingkupi pengalaman cerita itu. Maksud wawasan dan renungan di cerpen ini kiranya akan terasa jelas apabila telah kita baca berkali-kali, yaitu bahwa Umar Kayam tidak semata-mata mencurahkan pengalaman yang didapat dalam cerpennya, melainkan perlu perenungan kembali. Tapi entah bagaimana dan berapa lama Umar Kayam mesti merenung dan memberi wawasan, tentunya kita tidak tahu dengan pasti. Sedangkan unsur kenangan dan harapan, ini bisa lebih mudah untuk kita lihat. Unsur kenangan bisa kita lihat ketika Jane ingat kepada Tommy, mantan suaminya. Jane ingat ketika Tommy yang pernah mengajaknya ke Central Park Zoo.
“ Dalam perkawinan kami jang satu tahun, delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengadjakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpanse adalah kera jang paling dekat pada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sardjana-sardjana sudah membuat penjelidikan jang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menjangkalnja, karena, gorilla jang ada di muka kami mengingatkan aku kepada pendjaga lift di kantor Tommy. Pernahkah aku tjeritakan hal ini kepadamu?” (Umar Kayam, 1972:11-12).
Dalam kata di atas menunjukkan bahwa terdapat unsur kenangan di dalam cerpen tersebut. Sedangkan, unsur harapan tampak pada harapan Jane untuk berusaha mengajak Marno menginap di apartemennya malam itu.
“ Aku harap kau suka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibebernja pajama itu di dadanja.
“Kau suka dengan pilihanku?”
“Ini pajama jang tjantik Jane.”
“Akan kau pakai sadja malam ini. Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti pajama.” (Umar Kayam, 1972:15).
Dari kalimat-kalimat di atas, kita bisa melihat harapan yang ada dalam benak Jane. Jane yang sangat menginginkan Marno untuk menginap dimalam itu, sampai Jane memberikan piyama baru untuk Marno pakai dimalam itu.
Namun, selain hal-hal yang sudah saya sebutkan. Dalam cerpen itu terdapat nilai moral seorang pria yang setia terhadap istrinya, walaupun pada saat itu ada wanita yang juga ia cintai di hadapannya. Untuk hal ini saya setuju dengan pendapat Korrie, bahwa pria (Marno) dalam cerita itu memiliki nilai moral dan keagamaan yang patut dicontoh. Dalam kecintaannya terhadap Jane, Marno masih ingat kepada istrinya dan Marno pun tak ingin menghianati istrinya. Marno masih ingat bahwa ia harus bersih dan kembali pada kenyataan bahwa ia dipercayakan istrinya yang berada di benua lain untuk tetap bersikap jujur, tidak akan menodai pernikahannya yang sah. Sikap Marno itu patut dipuji karena ia bisa bersikap ketika Jane memberikan tawaran itu kepadanya. Menurut Korrie, “Sebenarnya Marno bukanlah moralis—dalam arti sesungguhnya—dan ia manusia biasa juga, tetapi latar belakangnya memberi dampak yang positif terhadap petualangannya: terutama petualangan fisiknya.”[2]  Jika kita lihat dari pernyataan Korrie di atas bisa ditangkap pada kalimat yang menunjukkan keragu-raguan Marno pada saat Marno akan menerima piyama yang diberikan Jane.
Marno memandang pijama jang ada di tangannja dengan keraguan.
“Jane.”
“Ja, sajang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banjak kerdja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnja. Tjuma…. Tak tahulah….” (Umar Kayam, 1972:15).
Dialog-dialog antara Jane dan Marno mengesankan suatu keragu-raguan, kehampaan jiwa, kehampaan nilai-nilai spiritual. Manusia yang tergencet oleh situasi kota yang serba fisik, serba ketubuhan, dan karenanya kering dari nilai-nilai rohani. Dialog itu dilakukan secara intensif, sehingga cerita berjalan dalam suasana, tanpa cerita yang sebenarnya, ceritanya yang menurut kaidah konvensional. Tetapi sebenarnya Umar Kayam tetap menyajikan cerita yang memiliki makna tersendiri. Dari situlah keunikan cerita pendek Umar Kayam menurut Korrie. Dari situ jugalah ketertarikan Korrie kepada cerita-cerita yang dibuat oleh Umar Kayam.
Dari uraian yang telah saya sampaikan di atas, kita bisa menyimpulkan keseluruhannya. Korrie menyukai karya Umar Kayam karena penyajiannya yang menurutnya unik dan jarang ada penulis yang membuat karya dengan penyajian yang berbeda seperti peyajian yang Umar Kayam buat. Umar Kayam sendiri, dalam membuat cerpen, ia menerima pengalaman terlebih dahulu. Dan pengalaman itu setelah diberi wawasan dan renungan, kenangan dan harapan, barulah berwujud menjadi sebuah cerpen yang memiliki nilai moral dan keagamaan tersebut. Dan lewat dari cerpen itu, yang berlatar belakang di Amerika, New York. Sedikit banyak memberi informasi segar bagi si pembaca. Bagaimana kehidupan di New York setiap harinya, dan bagaimana kebiasaannya. Dan yang terpenting, untuk mengarang sebuah cerpen, ternyata bagi Umar Kayam tidak sekali jadi, melainkan perlu proses penataan yang cukup jeli juga perenungan dan pengalaman  yang cukup luas.


DAFTAR PUSTAKA
Kayam, Umar.1972.Seribu Kunang2 di Manhattan.Jakarta: Pustaka Jaya.
Rampan, Korrie Layun.”Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan,”Pelita, 8 Desember, 1981, hal. 5.


[1] Korrie Layun Rampan,”Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan,”Pelita, 8 Desember, 1981, hal 5.
[2] Ibid.