Pantai Sawarna,
tempat yang paling banyak dikenal dan disebut-sebut sebagai Bali-Nya Banten ini
berada di daerah Banten bagian Selatan, dan memang sudah lama menjadi incaran
para wisatawan untuk berlibur, termasuk incaran saya juga. Karena dari sejak
lahir saya tinggal di Banten, belum pernah saya menginjakkan kaki di wilayah
Banten bagian selatan ini. Rasa penasaran saya terhadap daerah ini cukup
membuat saya menjadi seorang pengkhayal, jujur saja sampai saat ini saya masih
saja belum berkesempatan untuk bisa datang ke tempat itu. Padahal saya mengaku
sebagai warga Banten, anehnya belum pernah ke tempat itu. Kasihan sekali saya.
Sampai di
sela-sela rasa penasaran saya, saya menemukan sebuah buku yang sudah cukup lama
diterbitkan tetapi saya baru mengetahuinya. Buku yang menceritakan tentang
penindasan yang ada di daerah Banten Selatan pada masanya. Yang tidak saya
sangka, orang yang menulis buku itu bukan berasal dari daerah Banten. Dia
adalah Pramoedya Ananta Toer yang lahir di Blora- Jawa Tengah dan hampir
separuh hidupnya ia habiskan di dalam penjara. Pram memang seorang penulis yang
bertangan dingin, terbukti dengan karya-karya yang telah ia ciptakan sekalipun
ia bertahun-tahun tinggal di dalam penjara.
Dalam bukunya
itu, Pram menceritakan, sebuah desa bagian Selatan yang di dalamnya terdapat
banyak keluarga yang selalu ditindas oleh orang-orang yang merasa berada di
atas mereka. Mereka dipukuli, dibunuhi, dan rumah mereka dibakari. Kehidupan
mereka penuh dengan penindasan, dikelilingi rasa cemas, dan rasa takut yang
selalu menggerayangi setiap harinya. Pak Lurah yang nyatanya masih sekelompok
pemberontak DI dan orang yang selama ini mereka panggil sebagai Juragan
ternyata adalah Residen dari pemberontak DI itu sendiri. Kisah kehidupan
masyarakat wilayah Banten bagian Selatan ini cukup membuat hati saya iba.
Terlepas dari itu, saya jadi membayangkan bagaimana para pejuang di masa itu
memperjuangkan kedamaian dan ketentraman di wilayah mereka sendiri. Bagaimana
perjuangan mereka sampai-sampai mereka lupa memikirkan keselamatan dan
kesehatan jiwanya sendiri demi memperjuangkan keselamatan banyak orang dan anak
cucunya. Sungguh mulianya mereka. Tetapi sebelum saya lebih jauh membahas
mengenai perjuangan para pejuang, saya akan sedikit menceritakan hasil bacaan
saya. Novel ini telah berhasil membawa saya berpikir ke belakang, membuat saya mensyukuri
segala yang telah saya miliki saat ini.
Perjuangan Ranta melawan segala bentuk penindasan
Ranta dan Ireng adalah sepasang
suami istri yang menghuni gubuk sederhana dalam kondisi serba kekurangan. Ranta
selalu diperintah paksa oleh Juragan Musa dengan dijanjikan imbalan yang
tinggi, namun ternyata tidak seperti yang diharapkan, Ranta malah dipukuli dan
disiksa habis-habisan. Berkali-kali Ranta diperlakukan tidak manusiawi seperti
itu, akhinya Ranta mulai bosan dan ingin melawan Juragan. Ranta mulai berpikir
untuk melawan Juragan ketika nanti Juragan berkunjung kembali ke rumahnya.
Perlawanan Ranta dan dua orang
pemikul singkong yang mampir ke rumahnya beberapa hari yang lalu membuahkan
hasil, Juragan akhirnya ditangkap oleh Komandan atas perbuatannya, setelah ia berkali-kali
memncoba mengingkari berbagai fakta dan bukti bahwa dia terlibat dalam kelompok
Darul Islam (DI). Nyonya pun harus menerima kenyataan ditinggalkan Juragan yang
ditangkap OKD tersebut, bahkan dia harus mengalami nasib yang kurang baik
setelah ditinggalkan Juragan.
Ranta kemudian diangkat menjadi
Lurah sementara di daerah Banten Selatan tersebut oleh Komandan yang menangkap
Juragan Musa. Walaupun berpendidikan rendah, namun Ranta dipercaya oleh warga
sekitar dan Komandan karena tekadnya yang kuat untuk melepaskan diri dari
ketidakadilan dan dari segala penindasan. Bersama warga desa yang
mempercayainya, Ranta dibantu Komandan untuk membangun dan menata kembali
tempat tinggal mereka yang sempat luluh lantak akibat dari perbuatan pemberontak
DI, menjadi tempat yang lebih nyaman dan bisa berkembang untuk kelangsungan
hidup mereka.
Setelah merasa tidak ada ancaman
lagi dari pemberontak DI, warga dibantu pak Lurah Ranta dan Komandan
bersama-sama bergotong-royong, untuk menata kembali desa mereka. Warga desa di
Banten Selatan ini harus benar-benar berpikir keras dan mengerahkan semua
tenaga mereka untuk menata kembali wilayah mereka. Karena daerah Banten Selatan
ini kaya akan sumber daya alam, warga setempat mengandalkan sumber daya alam yang
terdapat di desa itu untuk kelangsungan hidup saat ini dan juga untuk ke
depannya. Maka dari itu, mereka berusaha untuk tidak menyia-nyiakan sedikitpun
sumber daya yang ada.
Nyonya yang sudah mulai
menyadari sikap salah suaminya, berusaha mencoba membayar kesalahan itu dengan
mengusulkan untuk ia mengajari warga baca tulis. Karena Nyonya merasa mampu
untuk membantu ikut serta dalam membangung desa itu. Walau sempat terjadi
pro-kontra antar warga terhadap usulan Nyonya. Tetapi pada akhirnya mereka
menyetujui untuk belajar baca tulis bersama Nyonya. Karena warga juga menyadari
bahwa mereka memang harus meningkatkan kemampuan agar menjadi manusia yang
lebih berkualitas. Dan satu lagi pelajaran yang dapat mereka petik dari
keberhasilan mereka melawan pemberotak DI, yaitu semangat untuk bersatu,
bergotong-royong, dan menjaga wilayah mereka sendiri untuk menaklukkan segala
ancaman yang datang.
Pramoedya
Ananta Toer dengan Banten Selatan
Cara pandang Pram terhadap
wilayah Banten Selatan ini cukup baik. Pram mengakui bahwa buku ini tercipta
memang hasil dari kunjungannya ke Banten Selatan di tahun 1957. Di desa itu ia
melihat berbagai perpaduan alam yang indah, sumber daya yang begitu kaya,
dengan warga yang menempati wilayah itu tidak begitu banyak tetapi kesejahteraan
hidup yang masih kurang membuat Pram ingin menyumbangkan pikirannya agar
pikirannya itu bisa mempunyai arti yang konstruktif. Cerita ini terbentuk bukan
serta merta dari pendapat dan apa yang dipikirkan oleh Pram sendiri, tetapi
hasil dari obrolan-obrolan Pram dengan orang-orang yang ia temui di daerah
Banten Selatan, orang-orang itu cukup mengenal daerah Banten Selatan, yang juga
ikut merasakan suka duka yang mereka rasakan dan mereka alami selama tinggal di
daerah Banten Selatan. Maka dari itu, tidak heran jika lattar tempat dan
suasana yang Pram tulis dalam ceritanya bisa membawa kita para pembaca terbawa
ke dalam alur suasana cerita tersebut. Namun, Pram sendiri juga mengakui bahwa
tidak seluruh cerita yang ia tuliskan dalam buku tersebut adalah cakupan
keseluruhan dari cerita-cerita yang ada di daerah Banten Selatan, ada beberapa
cerita yang memang tidak terjadi di daerah Banten Selatan. Tetapi pengakuan
Pram tersebut tidak mampu mematahkan kualitas Pram dalam menulis sebuah cerita.
Justru dari situlah kita dapat nilai sejauh mana kemampuan Pram dalam
mengembangkan tulisan dari cerita yang ia dapatkan tanpa merusak kesan nyata
dari awal cerita tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar