Minggu, 14 Juli 2013

Ketertarikan Korrie terhadap Karya Umar Kayam : “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”


“Cerpen Umar Kayam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini merupakan cerpen yang tidak berkisah. Tetapi disajikan dalam bentuk suasana.”[1]Itulah kalimat yang Korrie tuliskan dalam sebuah artikelnya. Korrie yang tertarik pada cara penyajian yang disampaikan oleh Umar Kayam mencoba menganalisis beberapa karya Umar Kayam. Korrie adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang berasal dari Samarinda. Keahliannya dalam membuat karya sastra memang sudah tidak diragukan lagi, karena terbukti dengan penghargaan-penghargaan yang sudah ia dapatkan dalam menulis karya sastra.
Umar Kayam termasuk salah satu sastrawan yang dimiliki Indonesia. Kumpulan cerita pendeknya telah dimuat ke dalam buku yang berjudul “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, buku tersebut merupakan buku kumpulan cerita pendek Umar Kayam yang  pertama. Awal ketertarikan Korrie terhadap cerpen karya Umar Kayam itu, ketika Korrie melihat karya Umar Kayam dari segi penyajiannya. Penyajian Umar Kayam yang menurutnya cukup unik. Karena sebagian besar cerpen karya Umar Kayam disajikan dalam bentuk suasana, tanpa cerita yang sebenarnya, namun masih dalam kaidah konvensional. Karena menurut Korrie, bentuk semacam itu baru dalam sastra Indonesia yang biasanya cerpen Indonesia selalu menyajikan tokoh dan peran tokoh sangat besar sekali. Lalu tokoh itu dijadikan sebagai pahlawan kecil yang menentukan berhasil tidaknya sebuah cerita. Di sisi lain, ada juga cerpen yang mengutamakan kisahnya, dan tentunya kisah itu harus mengesankan, agar ia tidak menjadi dunia mistik. Seperti yang terdapat dalam beberapa cerpen kebanyakan yang biasanya menjadikan tokoh-tokoh dari cerpen yang serba mungkin, yang jika kita pikir ulang, hal tersebut terkadang tidak mungkin bisa dilakukan atau terjadi dalam kehidupan nyata. Sedangkan pada karya Umar Kayam, tokoh-tokohnya adalah manusia nyata.
Saya mengambil satu contoh analisis Korrie mengenai cerpen Umar Kayam yang berjudul “Seribu Kunang-Kunang di Manhatam”, seperti yang telah dikatakan oleh Korrie di atas, memang hampir semua cerpen dalam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” ini tersaji dalam suasana yang mengabaikan plot. Cerita dimulai dan berakhir dalam suasana saat itu juga. Dan suasana yang disajikannya biasa-biasa saja dengan nada cerita yang biasa dan ringan, tanpa kehendak untuk membebani kisahnya dengan kalimat-kalimat serta kata-kata yang gagah. Namun, dalam kesederhanaan dan hal-hal yang biasa ini tersaji, inti dasar cerita yang menyajikan arti kehadiran manusia bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain sebagai teman hidupnya. Yang jelas sekali terlihat dalam cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, berkisah tentang manusia yang tidak berkepentingan dan menyendiri. Dalam sebuah artikel Korrie menggambarkan kisah cerpen itu, kisah yang lebih menekankan manusia yang serba terasing dan tergencet oleh suatu situasi dan suatu suasana tertentu. Keterasingannya ini bisa disebabkan oleh kenyataan bahwa tokoh-tokohnya terlalu mementingkan diri sendiri, bisa karena mereka tidak mungkin saling menerima karena perbedaan kultur yang tegas. Menurut saya, perbedaan kultur yang tegas itu bisa terlihat dari tokoh utamanya yaitu Jane dan Marno yang berperan sebagai sepasang kekasih yang nampak terlihat sebagai lambang antara Timur dan Barat. Nama ‘Jane’ yang biasanya identik dengan ke Baratannya dan begitupun nama ‘Marno’ yang sangat identik dengan ke Timurannya.  Sedangkan dari sisi lain kulturnya, Korrie melihat pada latar belakang Jane dan Marno. Jane yang memiliki kenang-kenangan terhadap Uncle Tom, boneka yang sangat disenanginya. Sedangkan Marno, memiliki kenang-kenangan terhadap si Jlamprang. Kerbau kakeknya.
“Mainan jang selalu kau kasihi hingga kemana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si-Djlamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan djuga?”
“Tidak selalu. Mainan jang paling aku kasihi dulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang djelek sekali rupanja. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku”. (Umar Kayam, 1972:13).
Latar belakang yang berbeda itulah yang membawa persepsi berbeda dalam menanggapi hidup dan kehidupan. Namun menurut Korrie, di situlah letak keunikan ceritanya. Karena walaupun begitu, pada akhirnya mereka bertemu, saling berkasih-kasihan, keduanya berlarut begitu saja seiring dengan berjalannya arus waktu. Dalam seketika mereka seperti terdampar di sebuah dunia yang asing, dari waktu kenyataan kemanusiaan yang begitu menyakitkan dan penuh dengan kehampaan.
Jika kita lihat dari apa yang disimpulkan oleh Korrie terhadap cerpen tersebut, Korrie lebih melihat cerpen itu dari sisi kebudayaan dan emosi kejiwaan tokoh tersebut. Hal tersebut itulah yang membuat Korrie tertarik pada karya sastrawan yang satu ini (Umar Kayam). Karena ketika saya pandang dari kehidupan Korrie yang penuh dengan kultur budaya Dayak. Dalam prosesnya untuk menjadi seorang sastrawan pun bukan serta-merta tarjadi begitu saja dan kemudian matang. Tetapi terdapat semacam tahapan perkembangan yang sebagaimana lazimnya. Seperti Korrie yang berangkat dari kultur Dayaknya dan menjadikan Dayak sebagai titik keberangkatannya menjadi seorang sastrawan.
Bila kita amati lebih mendalam lagi, cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku “Seribu Kunang-Kunang di Manhattam” itu berlatar di New York, kota di mana Kayam pernah tinggal, yang mencerminkan kehidupan modern di kota itu. Bisa kita simpulkan bahwa sebagian cerpen yang Kayam buat adalah hasil dari pengalaman, pengamatan, perenungan, penataan, dan harapan.
Sedikit berbeda dengan pandangan Korrie, saya melihat dalam cerpen ini terdapat cerita tentang keinginan seorang wanita untuk mencecap persetubuhan badani. Jane yang kesepian, karena sudah berpisah dengan suaminya Tomy, yang seketika itu hasrat seksnya bangkit ketika sedang berdua dengan Marno. Ini bisa kita lihat dari tingkah laku maupun perkataannya.
Jane merebahkan badannja di sofa, matanja di pedjamkan, tapi kakinja disepak-sepakkannja ke atas. Lirih-lirih dia mulai menjaji – deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby deep blue sea….
“Pernahkah kau punja keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telandjang lalu membiarkan badanmu tenggelam d-a-l-a-a-a-m sekali di dasar laut jang teduh itu, tapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu jang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?” (Umar Kayam, 1972:11).
Jane memedjamkan matanja dengan dadanja lurus-lurus terlentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanja. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar lalu duduk kembali di sofa.
“Marno kemarilah duduk.”
“Kenapa? Bukankah sedjak tadi sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah duduk.” (Umar Kayam, 1972:12).
Dibukanya bungkusan itu dan di bebernja pijama itu di dadanja.
“Kau suka dengan pilihanku ini?”
“Ini pajama jang tjantik, Jane.”
“Akan kau pakai sadja malam ini. Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti dengan pajama.” (Umar Kayam, 1972:14-15).
Jika kita simpulkan kejadian itu seperti pernah dialami oleh Kayam. Sebab sebelum menjadi cerita “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, pengalaman yang diterima si pengarang tentunya akan diolah terlebih dahulu. Seperti unsur-unsur wawasan dan renungan, kenangan dan harapan, emosi, dan penataan. Tentulah melingkupi pengalaman cerita itu. Maksud wawasan dan renungan di cerpen ini kiranya akan terasa jelas apabila telah kita baca berkali-kali, yaitu bahwa Umar Kayam tidak semata-mata mencurahkan pengalaman yang didapat dalam cerpennya, melainkan perlu perenungan kembali. Tapi entah bagaimana dan berapa lama Umar Kayam mesti merenung dan memberi wawasan, tentunya kita tidak tahu dengan pasti. Sedangkan unsur kenangan dan harapan, ini bisa lebih mudah untuk kita lihat. Unsur kenangan bisa kita lihat ketika Jane ingat kepada Tommy, mantan suaminya. Jane ingat ketika Tommy yang pernah mengajaknya ke Central Park Zoo.
“ Dalam perkawinan kami jang satu tahun, delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengadjakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpanse adalah kera jang paling dekat pada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sardjana-sardjana sudah membuat penjelidikan jang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menjangkalnja, karena, gorilla jang ada di muka kami mengingatkan aku kepada pendjaga lift di kantor Tommy. Pernahkah aku tjeritakan hal ini kepadamu?” (Umar Kayam, 1972:11-12).
Dalam kata di atas menunjukkan bahwa terdapat unsur kenangan di dalam cerpen tersebut. Sedangkan, unsur harapan tampak pada harapan Jane untuk berusaha mengajak Marno menginap di apartemennya malam itu.
“ Aku harap kau suka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibebernja pajama itu di dadanja.
“Kau suka dengan pilihanku?”
“Ini pajama jang tjantik Jane.”
“Akan kau pakai sadja malam ini. Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti pajama.” (Umar Kayam, 1972:15).
Dari kalimat-kalimat di atas, kita bisa melihat harapan yang ada dalam benak Jane. Jane yang sangat menginginkan Marno untuk menginap dimalam itu, sampai Jane memberikan piyama baru untuk Marno pakai dimalam itu.
Namun, selain hal-hal yang sudah saya sebutkan. Dalam cerpen itu terdapat nilai moral seorang pria yang setia terhadap istrinya, walaupun pada saat itu ada wanita yang juga ia cintai di hadapannya. Untuk hal ini saya setuju dengan pendapat Korrie, bahwa pria (Marno) dalam cerita itu memiliki nilai moral dan keagamaan yang patut dicontoh. Dalam kecintaannya terhadap Jane, Marno masih ingat kepada istrinya dan Marno pun tak ingin menghianati istrinya. Marno masih ingat bahwa ia harus bersih dan kembali pada kenyataan bahwa ia dipercayakan istrinya yang berada di benua lain untuk tetap bersikap jujur, tidak akan menodai pernikahannya yang sah. Sikap Marno itu patut dipuji karena ia bisa bersikap ketika Jane memberikan tawaran itu kepadanya. Menurut Korrie, “Sebenarnya Marno bukanlah moralis—dalam arti sesungguhnya—dan ia manusia biasa juga, tetapi latar belakangnya memberi dampak yang positif terhadap petualangannya: terutama petualangan fisiknya.”[2]  Jika kita lihat dari pernyataan Korrie di atas bisa ditangkap pada kalimat yang menunjukkan keragu-raguan Marno pada saat Marno akan menerima piyama yang diberikan Jane.
Marno memandang pijama jang ada di tangannja dengan keraguan.
“Jane.”
“Ja, sajang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banjak kerdja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnja. Tjuma…. Tak tahulah….” (Umar Kayam, 1972:15).
Dialog-dialog antara Jane dan Marno mengesankan suatu keragu-raguan, kehampaan jiwa, kehampaan nilai-nilai spiritual. Manusia yang tergencet oleh situasi kota yang serba fisik, serba ketubuhan, dan karenanya kering dari nilai-nilai rohani. Dialog itu dilakukan secara intensif, sehingga cerita berjalan dalam suasana, tanpa cerita yang sebenarnya, ceritanya yang menurut kaidah konvensional. Tetapi sebenarnya Umar Kayam tetap menyajikan cerita yang memiliki makna tersendiri. Dari situlah keunikan cerita pendek Umar Kayam menurut Korrie. Dari situ jugalah ketertarikan Korrie kepada cerita-cerita yang dibuat oleh Umar Kayam.
Dari uraian yang telah saya sampaikan di atas, kita bisa menyimpulkan keseluruhannya. Korrie menyukai karya Umar Kayam karena penyajiannya yang menurutnya unik dan jarang ada penulis yang membuat karya dengan penyajian yang berbeda seperti peyajian yang Umar Kayam buat. Umar Kayam sendiri, dalam membuat cerpen, ia menerima pengalaman terlebih dahulu. Dan pengalaman itu setelah diberi wawasan dan renungan, kenangan dan harapan, barulah berwujud menjadi sebuah cerpen yang memiliki nilai moral dan keagamaan tersebut. Dan lewat dari cerpen itu, yang berlatar belakang di Amerika, New York. Sedikit banyak memberi informasi segar bagi si pembaca. Bagaimana kehidupan di New York setiap harinya, dan bagaimana kebiasaannya. Dan yang terpenting, untuk mengarang sebuah cerpen, ternyata bagi Umar Kayam tidak sekali jadi, melainkan perlu proses penataan yang cukup jeli juga perenungan dan pengalaman  yang cukup luas.


DAFTAR PUSTAKA
Kayam, Umar.1972.Seribu Kunang2 di Manhattan.Jakarta: Pustaka Jaya.
Rampan, Korrie Layun.”Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan,”Pelita, 8 Desember, 1981, hal. 5.


[1] Korrie Layun Rampan,”Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan,”Pelita, 8 Desember, 1981, hal 5.
[2] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar