BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Banyak orang yang menganggap pembelajaran suatu
ujaran bahasa itu tidak penting dan hanya dipelajari sewaktu TK saja, yaitu
ketika kita belajar mengucapkan bunyi bahasa. Bahkan karena asumsi tersebut,
membuat sebagian pengguna bahasa tidak menganggapnya sebagai ilmu. Padahal, setiap bunyi ujaran dalam suatu
bahasa mempunyai fungsi tersendiri untuk membedakan arti. Sehingga orang
disekitar kita seringkali menggunakan ujaran yang tidak begitu jelas dalam
kehidupan sehari-harinya dan membuat makna ujaran tersebut menjadi ambigu.
Bahasa adalah kebiasaan. Itulah yang banyak orang
awam ketahui mengenai bahasa. Kebiasaan yang membentuk suatu ujaran bahasa yang
sering mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah, saya ingin
membahas lebih lanjut mengenai bahasa ujaran dengan kebiasaan di masyarkat
luas. Namun, pada kesempatan ini saya hanya ingin membahas satu bahasa saja.
Yaitu bahasa sunda. Bahasa yang dipakai dalam lingkup sehari-hari saya. Karena
menurut saya, terkadang bahasa daerah tersebut menjadi suatu penghambat ujaran
dalam memelajari kelanjutan bahasa kedua. Misalnya, orang dengan logat sunda
ketika ia berbicara dengan menggunakan bahasa Nasional (Bahasa Indonesia), cara
ia berujar akan terbawa logat sundanya. Bahasa daerah tentu memiliki persamaan
yang sinkronik dengan bahasa pokok. Dari hal itulah yang akan saya bahas lebih
dalam.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Ujaran seseorang tentu berkaitan dengan fonem-fonem
bahasa. Yaitu, bagaimana suara vokoid dan kontoid yang akan keluar dari mulut
seseorang yang kental dengan bahasa kedaerahannya dan apa pengaruhnya. Namun, dalam bahasa daerah terdapat juga
persamaan sinkronik antara bahasa daerah dengan bahasa pokok. Maka, dalam
kesempatan ini saya akan membahas lebih lanjut mengenai:
a. Bagaimana
pengaruh berbahasa kedua (bahasa
Indonesia) seseorang yang kental dengan bahasa kedaerahannya (bahasa kedua)?
b. Bagaimana
mengatasi kesulitan atau hambatan itu?
1.3. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui
hambatan berujar bahasa pokok seseorang yang masih kental dengan logat
kedaerahannya
b. Mengetahui
beberapa kata dalam bahasa Sunda yang bertransformasi ke dalam bahasa Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
LANDASAN TEORI
A.
Fonem
Fonem
adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi untuk membedakan
makna. Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengetahui bahwa kesatuan
bunyi terkecil tersebut berfungsi sebagai pembeda makna? Satu-satunya cara yang
bisa ditempuh adalah melakukan pembuktian secara empiris, yaitu dengan
membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa yang diteliti. Dengan demikian,
kalau kita ingin mengetahui fungsi bunyi bahasa Indonesia, misalnya, kita harus
membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa Indonesia.
B.
Bahasa
dengan Budaya
Berbahasa,
dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode
gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi.
Kemudian dilanjutkan denggan penyusunan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan
dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di dalam otaknya. Dengan kata
lain, berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang
berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan berbudayanya. Jadi, bisa
kita lihat berbahasa, berpikir, dan
berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam
kehidupan manusia.
a)
Wilhelm
Von Humboldt
Wilhelm
Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan
pemikiran manusia kepada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu
masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota
masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah
ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini
ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa
lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya)
masyarakat bahasa lain itu.
b)
Sapir-Whorf
Sapir
mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya
yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut
Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian
“didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah,
tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili suatu
masyarakat yang sama.
Setiap
bahasa dari satu masyarakat yang telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk
penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di dunia ini
adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas
Sapir juga mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita
perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita
telah menggariskannya terlebih dahulu.
Sama
halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa
menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya
sendiri. Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya
merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk
ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang. Dengan kata lain,
tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang (Simanjuntak, 1987).
C.
Pemerolehan
Bahasa
Pemerolehan
bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang
kanak-kanak ketika dia memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan
bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan
proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang kanak-kanak memelajari bahasa
kedua, setelah dia memeroleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa
berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan
bahasa kedua. Namun, banyak juga yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa
untuk bahasa kedua.
2.2. PEMBAHASAN
A.
Keterkaitan
antara Bahasa, Budaya, dan Kebiasaan
Seperti yang telah saya paparkan di atas, bahwa
berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang
saling berkaitan dalam kehidupan manusia. Pemerolehan bahasa berlangsung dalam
otak ketika masih kanak-kanak. Otak adalah sarana/tempat seseorang untuk
berfikir. Maka dari itu, ketiganya saling berkaitan.
Kebanyakan masyarakat yang daerahnya menggunakan
bahasa Sunda memberikan bahasa pertama kepada anaknya bahasa sunda. Dan hal
itulah yang menyebabkan sebagian orang yang terbiasa berbahasa Sunda sedikit
kesulitan untuk berbahasa Indonesia dengan baik. Bahkan tidak jarang menjadikan
bahasa Indonesia itu sedikit aneh dengan logat kesundaannya saya di sini ingin
sedikit memaparkan penyebab-penyebab terjadinya hal tersebut.
Karena bahasa Sunda adalah bahasa daerah maka bahasa
tersebut bisa saya masukkan ke dalam kategori budaya, dan bahasa ujar (logat)
bisa saya masukkan ke dalam kebiasaan. Di sinilah letak penyebabnya, dengan
adanya budaya itu, orang tua mengajarkan kepada anaknya bahasa Sunda. Dengan
kebiasaan dari kecilnya dan terbiasa juga mendengar bahasa sekitar, anak
menjadi terbiasa pula berbahasa menggunakan logat yang sering ia dengar.
Pemerolehan bahasa kedua berkenaan dengan bahasa
pertama. Biasanya anak yang sudah berbahasa daerah itu (bahasa Sunda) akan
mendapatkan bahasa kedua dengan bahasa pokok (bahasa Indonesia). Bahasa
pertamalah yang biasanya menjadi penghambat dalam seseorang belajar berbahasa
kedua.
B.
Pengaruh
Bahasa Pertama terhadap Proses Belajar Bahasa Kedua
Telah lama para ahli pengajaran bahasa kedua percaya
bahwa bahasa pertama atau bahasa yang diperoleh sebelumnya, berpengaruh
terhadap proses penguasaan bahasa kedua seseorang. Bahkan, bahasa pertama telah
lama dianggap sebagai pengganggu seseorang dalam menguasai bahasa kedua.
Pendapat ini sangat kuat diikuti ketika masih ramainya para ahli mendukung
teori stimulus respons yang melahirkan metode audiolingual.
Pandangan ini lahir karena secara disadari atau
tidak, seseorang yang sedang belajar berbahasa melakukan transfer atau
memindahkan unsur-unsur bahasa pertama ke dalam struktur bahasa kedua.
Akibatnya, terjadilah apa yang disebut pergantian struktur dan kode-kode bahasa
dari bahasa pertama terhadap bahasa kedua yang digunakannya. Bentuk pemindahan
ini dapat berupa kesalahan atau errors,
kesilapan, atau bisa dipandang sebagai adanya bentuk bahasa baru yang
diciptakan sendiri oleh seseorang itu, yaitu bahasa antara. Bahasa antara ini
dikenal dalam literatur pemerolehan bahasa sebagai interlanguage.
Jika struktur bahasa pertama sama atau mirip dengan
bahasa kedua, seseorang akan lebih mudah mentransfernya. Jika kemungkinan
terjadi transfer negatif yang pada akhirnya memungkinkan peristiwa
interferensi, kesilapan, dan kesalahan.
Itulah sebabnya, semakin besar perbedaan struktur
antara yang ada dalam bahasa pertama dengan yang ada dalam bahasa kedua, usaha
yang harus dilakukan oleh seseorang dalam memeroleh dan menguasai bahasa kedua
cenderung lebih berat dan sukar bila dibandingkan dengan apabila kedua bahasa
itu memiliki banyak kesamaan. Demikian ide analisis kontrastif terhadap
pengaruh bahasa pertama pada bahasa kedua.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bahasa kedua
berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Keadaan linguistik bahasa
pertama penting artinya bagi usaha menentukan strategi pembelajaran yang diperkirakan
efektif oleh peserta didik dalam rangka transferisasi. Belajar bahasa kedua
adalah belajar mentransfer bahasa baru di atas bahasa yang sudah ada.
C.
Perbedaan
Bahasa Pertama (Bahasa Indonesia) dengan Bahasa Kedua (Bahasa Sunda) dan Solusi
untuk Mengatasinya
Dalam masyarakat multilingual tentu akan
ada pengajaran bahasa kedua. Bahasa kedua itu bisa bahasa nasional, bahasa
resmi kenegaraan, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing. Di Indonesia
pada umumnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua yang secara politis juga
berstatus sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan.
Pengajaran bahasa kedua dapat
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sosiolinguistik. Masalah ini mungkin tidak
terlalu berat kalau kebetulan bahasa kedua yang dipelajari itu masih tergolong
bahasa serumpun; tetapi akan merupakan masalah besar kalau bahasa kedua itu
tidak serumpun dengan bahasa pertama. Lebih berat lagi kalau bahasa kedua itu
memiliki struktur fonetis, morfologis, dan sintaksis yang sangat berbeda dengan
bahasa pertama. Oleh karena itu masalah yang muncul dalam pengajaran bahasa
kedua akan meliputi semua tataran bahasa.
Ada penutur yang menguasai bahasa
pertama dan bahasa kedua sama baiknya, tetapi ada juga yang tidak; bahkan ada
yang hanya memiliki kemampuan bahasa kedua sanngat minim. Penutur bilingual yang
mempunyai kemampuan terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya,
tentu tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja
diperlukan karena tindak laku kedua bahasa itu terpisah dan bekerja
sendiri-sendiri. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan seperti ini disebut
berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan yang kemampuan terhadap bahasa
kedua jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap bahasa
pertamanya disebut berkemampuan bahasa yang majemuk.
Sebagaimana anak-anak Indonesia lainnya,
anak-anak yang berasal dari daerah Sunda memasuki pendidikan formal di sekolah
dasar ketika mereka memasuki usia 6 atau 7 tahun, manakala mereka telah
menguasai dengan baik pola-pola bahasa pertama mereka bahasa Sunda. Ada perbedaan
yang cukup besar antara pola-pola bahasa Sunda dan pola-pola bahasa Indonesia.
Perbedaan ini kadang-kadang menjadi penghambat proses belajar bahasa Indonesia,
baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun leksikon.
Dalam bidang fonologi, suku kata terbuka
bahasa Indonesia sering diucapkan dengan penambahan bunyi glotal /?/ atau bunyi
geseran faringal /h/. contoh:
Ini
Dani dilafalkan [ini? Dani?]
Ini
ibu Teti dilafalkan [ini? ibu? Teti?]
Itu
sepeda dilafalkan [itu sapeda]
Hatinya riang dilafalkan [hatinyah
riang]
Dalam bidang morfologi, menurut Rusyana
(1999) anak-anak Sunda sering membuat kesalahan karena pengaruh sistem
morfologi bahasa Sunda. Perhatikan contoh-contoh kalimat berikut:
(1)
Kayu
itu dibelahan.
(2)
Setelah
bersih pakaiannya lalu dijemurkan.
(3)
Saya
masuk lagi terus menuliskan pekerjaan
rumah.
(4)
Adik
saya leloncatan.
(5) Anak
itu ketiduran.
Kata dibelahan
pada kalimat (1) adalah pengaruh bentuk kata Sunda dibeulahan dalam arti ‘dibelah-belah’ atau ‘dibelah beberapa kali’.
Maka kalimat (1) itu harusnya berbunyi sebagai “kayu itu dibelah-belah” atau
“kayu-kayu itu dibelah”.
Kata dijemurkan
pada kalimat (2) terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk dipoekeun dalam arti ‘dijemur’. Maka,
dalam kalimat (2) seharusnya berbunyi sebagai “setelah besih pakainnya itu
dijemur”.
Kata menuliskan
yang terdapat pada kalimat (3) tentunya terjadi karena dalam bahasa Sunda
ada bentuk nuliskeun dalam arti
‘menuiskan sesuatu’. Jadi, dalam kalimat (3) itu seharusnya berbunyi sebagai
“saya masuk lagi, lalu menulis perkerjaan rumah”.
Kata loloncatan
pada kalimat (4) tentunya terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk luluncatan dalam arti
‘berloncat-loncatan’. Oleh karena itu, kalimat (4) itu seharusnya berbunyi
sebagai “adik saya berloncat-loncatan”.
Lalu kata ketiduran yang terdapat pada kalimat (5) terjadi karena dalam
bahasa Sunda ada bentuk kasarean dalan
arti ‘tertidur’. Maka kalimat (5) itu seharusnya berbunyi sebagai kalimat “anak
itu tertidur”.
Dalam bidang sintaksis banyak anak
daerah Sunda membuat kalimat bahasa Indonesia dengan pola kalimat bahasa Sunda.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh-contoh berikut, dengan membandingkan
kalimat bahasa Indonesia (a) yang dibuat anak-anak berasal dari daerah Sunda,
kalimat (b) adalah kalimat berbahasa Sunda, dan kalimat (c) adalah kalimat
bahasa Indonesia yang seharusnya.
Ø (a) Surat itu
telah dibaca oleh saya.
(b) Surat
eta geus dibaca ku kuring.
(c) Surat itu telah
saya baca.
Ø (a) Ia itu anak
pedagang.
(b)
Manehna teh anak padagang.
(c) Ia anak pedagang.
Ø (a) Bapak
mencari Dani ke sana ke mari.
(b) Bapa
neangan Dani ka ditu ka dieu.
(c) Bapak mencari Dani
ke mana-mana.
Ø (a) Aku menunggu
Tedi, tetapi tak datang juga.
(b) Kuring
ngadagoan Tedi, tapi teu datang bae.
(c) Saya menanti
kedatangan Tedi, tetapi dia tak kunjung datang.
Ø (a) Baju saya
ada yang dicuri.
(b) Baju
kuring aya nu maling.
(c) Baju saya dicuri orang.
Tampaknya kesulitan anak-anak di daerah
Sunda dalam belajar bahasa Indonesia, juga dialami oleh anak-anak dari daerah
lain, yang berbahasa pertamanya juga daerah. Persoalannya adalah bagaimana
mengatasi kesulitan atau hambatan itu. Kesulitan-kesulitan itu dapat diatasi
dengan melakukan berbagai pembelajaran, misalnya dengan menggunakan pendekatan
linguistik kontrastif. Artinya, dengan melakukan perbandingan pola antara
bahasa yang diajarkan dengan bahasa pertama seseorang. Pola-pola berbeda diberi
porsi-porsi perhatian dan latihan yang lebih banyak; sedangkan pola-pola yang
mirip atau sama cukup diberi latihan sekadarnya.
Para penganjur pendekatan linguistik
kontrastif berpendirian bahwa pnguasaan suatu bahasa tidak lain dari
pembentukan kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan yang berasal dari proses peniruan
dalam masyarakat bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat menguasai
bahasa kedua jalan yang paling tepat adalah dengan latihan terus menerus, tanpa
henti sehingga pada suatu saat akan terbentuk kebiasaan seperti yang telah terjadi ketika memelajari
bahasa pertama. Namun, karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan
bahasa resmi Negara, maka penguasaan yang optimal perlu diusahakan.
Apabila melihat contoh perkembangan
bahasa Indonesia, seperti telah diulas sebelumnya, banyak masyarakat yang
menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Namun, pada sisi lain, tidak
kalah juga jumlah masyarakat yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama, sekalipun bahasa pertama dari masyarakat tersebut adalah bahasa daerah
yang ada di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemerolehan bahasa kedua berkenaan dengan bahasa
pertama. Biasanya anak yang sudah berbahasa daerah itu (bahasa Sunda) akan
mendapatkan bahasa kedua dengan bahasa pokok (bahasa Indonesia). Bahasa
pertamalah yang biasanya menjadi penghambat dalam seseorang belajar berbahasa
kedua.
Dapat diketahui bahwa bahasa kedua berpengaruh
terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Keadaan linguistik bahasa pertama
penting artinya bagi usaha menentukan strategi pembelajaran yang diperkirakan
efektif oleh peserta didik dalam rangka transferisasi. Belajar bahasa kedua
adalah belajar mentransfer bahasa baru di atas bahasa yang sudah ada.
Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap
bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan
untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan karena tindak laku
kedua bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan yang kemampuan
terhadap bahasa kedua jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap
bahasa pertamanya itu akan sangat kesulitan berkomunikasi dengan bahasa kedua
secara baik.
Sebenarnya, meskipun bahasa Indonesia tidak
ditempatkan sebagai bahasa pertama, namun bahasa kedua, hal paling utama adalah
bahwa kemampuan penutur bahasa tersebut baik, dalam bahasa maupun tulisan.
3.2.
Penutup
Demikianlah makalah yang saya buat
semoga bermanfaat bagi orang yang membaca. Dan saya mohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas, dan lugas sehingga
sulit dimengerti. Kemampuan yang saya miliki masih terbatas dan hanya sebatas
ini saya mampu membuatnya. Terimakasih atas kebijaksanaan dan perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,
Abdul.2002.Psikolinguistik: Kajian
Teoritik.Jakarta: Rineka Cipta.
Muslich,
Masnur.2011.Fonologi Bahasa Indonesia:
Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa
Indonesia.Jakarta: Bumi Aksara.
Sunendar,
Dadang dan Iskandarwassid.2008.Strategi
Pembelajaran Bahasa. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar