Minggu, 14 Juli 2013

UJARAN DENGAN BAHASA, BUDAYA, DAN KEBIASAANNYA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Banyak orang yang menganggap pembelajaran suatu ujaran bahasa itu tidak penting dan hanya dipelajari sewaktu TK saja, yaitu ketika kita belajar mengucapkan bunyi bahasa. Bahkan karena asumsi tersebut, membuat sebagian pengguna bahasa tidak menganggapnya sebagai ilmu.  Padahal, setiap bunyi ujaran dalam suatu bahasa mempunyai fungsi tersendiri untuk membedakan arti. Sehingga orang disekitar kita seringkali menggunakan ujaran yang tidak begitu jelas dalam kehidupan sehari-harinya dan membuat makna ujaran tersebut menjadi ambigu.
Bahasa adalah kebiasaan. Itulah yang banyak orang awam ketahui mengenai bahasa. Kebiasaan yang membentuk suatu ujaran bahasa yang sering mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah, saya ingin membahas lebih lanjut mengenai bahasa ujaran dengan kebiasaan di masyarkat luas. Namun, pada kesempatan ini saya hanya ingin membahas satu bahasa saja. Yaitu bahasa sunda. Bahasa yang dipakai dalam lingkup sehari-hari saya. Karena menurut saya, terkadang bahasa daerah tersebut menjadi suatu penghambat ujaran dalam memelajari kelanjutan bahasa kedua. Misalnya, orang dengan logat sunda ketika ia berbicara dengan menggunakan bahasa Nasional (Bahasa Indonesia), cara ia berujar akan terbawa logat sundanya. Bahasa daerah tentu memiliki persamaan yang sinkronik dengan bahasa pokok. Dari hal itulah yang akan saya bahas lebih dalam.

1.2. RUMUSAN MASALAH
Ujaran seseorang tentu berkaitan dengan fonem-fonem bahasa. Yaitu, bagaimana suara vokoid dan kontoid yang akan keluar dari mulut seseorang yang kental dengan bahasa kedaerahannya dan apa pengaruhnya.   Namun, dalam bahasa daerah terdapat juga persamaan sinkronik antara bahasa daerah dengan bahasa pokok. Maka, dalam kesempatan ini saya akan membahas lebih lanjut mengenai:
a.       Bagaimana pengaruh  berbahasa kedua (bahasa Indonesia) seseorang yang kental dengan bahasa kedaerahannya (bahasa kedua)?
b.      Bagaimana mengatasi kesulitan atau hambatan itu?
1.3. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
a.       Mengetahui hambatan berujar bahasa pokok seseorang yang masih kental dengan logat kedaerahannya
b.      Mengetahui beberapa kata dalam bahasa Sunda yang bertransformasi ke dalam bahasa Indonesia






BAB II
PEMBAHASAN
2.1. LANDASAN TEORI
A.    Fonem
Fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi untuk membedakan makna. Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengetahui bahwa kesatuan bunyi terkecil tersebut berfungsi sebagai pembeda makna? Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah melakukan pembuktian secara empiris, yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa yang diteliti. Dengan demikian, kalau kita ingin mengetahui fungsi bunyi bahasa Indonesia, misalnya, kita harus membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa Indonesia.
B.     Bahasa dengan Budaya
Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Kemudian dilanjutkan denggan penyusunan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di dalam otaknya. Dengan kata lain, berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan berbudayanya. Jadi, bisa kita  lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia.


a)      Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia kepada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain itu.
b)      Sapir-Whorf
Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili suatu masyarakat yang sama.
Setiap bahasa dari satu masyarakat yang telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang (Simanjuntak, 1987).
C.    Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang kanak-kanak memelajari bahasa kedua, setelah dia memeroleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua.
2.2. PEMBAHASAN
A.    Keterkaitan antara Bahasa, Budaya, dan Kebiasaan
Seperti yang telah saya paparkan di atas, bahwa berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia. Pemerolehan bahasa berlangsung dalam otak ketika masih kanak-kanak. Otak adalah sarana/tempat seseorang untuk berfikir. Maka dari itu, ketiganya saling berkaitan.
Kebanyakan masyarakat yang daerahnya menggunakan bahasa Sunda memberikan bahasa pertama kepada anaknya bahasa sunda. Dan hal itulah yang menyebabkan sebagian orang yang terbiasa berbahasa Sunda sedikit kesulitan untuk berbahasa Indonesia dengan baik. Bahkan tidak jarang menjadikan bahasa Indonesia itu sedikit aneh dengan logat kesundaannya saya di sini ingin sedikit memaparkan penyebab-penyebab terjadinya hal tersebut.
Karena bahasa Sunda adalah bahasa daerah maka bahasa tersebut bisa saya masukkan ke dalam kategori budaya, dan bahasa ujar (logat) bisa saya masukkan ke dalam kebiasaan. Di sinilah letak penyebabnya, dengan adanya budaya itu, orang tua mengajarkan kepada anaknya bahasa Sunda. Dengan kebiasaan dari kecilnya dan terbiasa juga mendengar bahasa sekitar, anak menjadi terbiasa pula berbahasa menggunakan logat yang sering ia dengar.
Pemerolehan bahasa kedua berkenaan dengan bahasa pertama. Biasanya anak yang sudah berbahasa daerah itu (bahasa Sunda) akan mendapatkan bahasa kedua dengan bahasa pokok (bahasa Indonesia). Bahasa pertamalah yang biasanya menjadi penghambat dalam seseorang belajar berbahasa kedua.
B.     Pengaruh Bahasa Pertama terhadap Proses Belajar Bahasa Kedua
Telah lama para ahli pengajaran bahasa kedua percaya bahwa bahasa pertama atau bahasa yang diperoleh sebelumnya, berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua seseorang. Bahkan, bahasa pertama telah lama dianggap sebagai pengganggu seseorang dalam menguasai bahasa kedua. Pendapat ini sangat kuat diikuti ketika masih ramainya para ahli mendukung teori stimulus respons yang melahirkan metode audiolingual.
Pandangan ini lahir karena secara disadari atau tidak, seseorang yang sedang belajar berbahasa melakukan transfer atau memindahkan unsur-unsur bahasa pertama ke dalam struktur bahasa kedua. Akibatnya, terjadilah apa yang disebut pergantian struktur dan kode-kode bahasa dari bahasa pertama terhadap bahasa kedua yang digunakannya. Bentuk pemindahan ini dapat berupa kesalahan atau errors, kesilapan, atau bisa dipandang sebagai adanya bentuk bahasa baru yang diciptakan sendiri oleh seseorang itu, yaitu bahasa antara. Bahasa antara ini dikenal dalam literatur pemerolehan bahasa sebagai interlanguage.
Jika struktur bahasa pertama sama atau mirip dengan bahasa kedua, seseorang akan lebih mudah mentransfernya. Jika kemungkinan terjadi transfer negatif yang pada akhirnya memungkinkan peristiwa interferensi, kesilapan, dan kesalahan.
Itulah sebabnya, semakin besar perbedaan struktur antara yang ada dalam bahasa pertama dengan yang ada dalam bahasa kedua, usaha yang harus dilakukan oleh seseorang dalam memeroleh dan menguasai bahasa kedua cenderung lebih berat dan sukar bila dibandingkan dengan apabila kedua bahasa itu memiliki banyak kesamaan. Demikian ide analisis kontrastif terhadap pengaruh bahasa pertama pada bahasa kedua.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bahasa kedua berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Keadaan linguistik bahasa pertama penting artinya bagi usaha menentukan strategi pembelajaran yang diperkirakan efektif oleh peserta didik dalam rangka transferisasi. Belajar bahasa kedua adalah belajar mentransfer bahasa baru di atas bahasa yang sudah ada.
C.    Perbedaan Bahasa Pertama (Bahasa Indonesia) dengan Bahasa Kedua (Bahasa Sunda) dan Solusi untuk Mengatasinya
Dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua. Bahasa kedua itu bisa bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing. Di Indonesia pada umumnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua yang secara politis juga berstatus sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan.
Pengajaran bahasa kedua dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sosiolinguistik. Masalah ini mungkin tidak terlalu berat kalau kebetulan bahasa kedua yang dipelajari itu masih tergolong bahasa serumpun; tetapi akan merupakan masalah besar kalau bahasa kedua itu tidak serumpun dengan bahasa pertama. Lebih berat lagi kalau bahasa kedua itu memiliki struktur fonetis, morfologis, dan sintaksis yang sangat berbeda dengan bahasa pertama. Oleh karena itu masalah yang muncul dalam pengajaran bahasa kedua akan meliputi semua tataran bahasa.
Ada penutur yang menguasai bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya, tetapi ada juga yang tidak; bahkan ada yang hanya memiliki kemampuan bahasa kedua sanngat minim. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan karena tindak laku kedua bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan seperti ini disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan yang kemampuan terhadap bahasa kedua jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap bahasa pertamanya disebut berkemampuan bahasa yang majemuk.
Sebagaimana anak-anak Indonesia lainnya, anak-anak yang berasal dari daerah Sunda memasuki pendidikan formal di sekolah dasar ketika mereka memasuki usia 6 atau 7 tahun, manakala mereka telah menguasai dengan baik pola-pola bahasa pertama mereka bahasa Sunda. Ada perbedaan yang cukup besar antara pola-pola bahasa Sunda dan pola-pola bahasa Indonesia. Perbedaan ini kadang-kadang menjadi penghambat proses belajar bahasa Indonesia, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun leksikon.
Dalam bidang fonologi, suku kata terbuka bahasa Indonesia sering diucapkan dengan penambahan bunyi glotal /?/ atau bunyi geseran faringal /h/. contoh:
Ini Dani dilafalkan [ini? Dani?]
Ini ibu Teti dilafalkan [ini? ibu? Teti?]
Itu sepeda dilafalkan [itu sapeda]
Hatinya riang dilafalkan [hatinyah riang]
Dalam bidang morfologi, menurut Rusyana (1999) anak-anak Sunda sering membuat kesalahan karena pengaruh sistem morfologi bahasa Sunda. Perhatikan contoh-contoh kalimat berikut:
(1)   Kayu itu dibelahan.
(2)   Setelah bersih pakaiannya lalu dijemurkan.
(3)   Saya masuk lagi terus menuliskan pekerjaan rumah.
(4)   Adik saya leloncatan.
(5)   Anak itu ketiduran.
Kata dibelahan pada kalimat (1) adalah pengaruh bentuk kata Sunda dibeulahan dalam arti ‘dibelah-belah’ atau ‘dibelah beberapa kali’. Maka kalimat (1) itu harusnya berbunyi sebagai “kayu itu dibelah-belah” atau “kayu-kayu itu dibelah”.
Kata dijemurkan pada kalimat (2) terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk dipoekeun dalam arti ‘dijemur’. Maka, dalam kalimat (2) seharusnya berbunyi sebagai “setelah besih pakainnya itu dijemur”.
Kata menuliskan yang terdapat pada kalimat (3) tentunya terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk nuliskeun dalam arti ‘menuiskan sesuatu’. Jadi, dalam kalimat (3) itu seharusnya berbunyi sebagai “saya masuk lagi, lalu menulis perkerjaan rumah”.
Kata loloncatan pada kalimat (4) tentunya terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk luluncatan dalam arti ‘berloncat-loncatan’. Oleh karena itu, kalimat (4) itu seharusnya berbunyi sebagai “adik saya berloncat-loncatan”.
Lalu kata ketiduran yang terdapat pada kalimat (5) terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk kasarean dalan arti ‘tertidur’. Maka kalimat (5) itu seharusnya berbunyi sebagai kalimat “anak itu tertidur”.
Dalam bidang sintaksis banyak anak daerah Sunda membuat kalimat bahasa Indonesia dengan pola kalimat bahasa Sunda. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh-contoh berikut, dengan membandingkan kalimat bahasa Indonesia (a) yang dibuat anak-anak berasal dari daerah Sunda, kalimat (b) adalah kalimat berbahasa Sunda, dan kalimat (c) adalah kalimat bahasa Indonesia yang seharusnya.
Ø  (a) Surat itu telah dibaca oleh saya.
(b) Surat eta geus dibaca ku kuring.
(c) Surat itu telah saya baca.
Ø  (a) Ia itu anak pedagang.
(b) Manehna teh anak padagang.
(c) Ia anak pedagang.
Ø  (a) Bapak mencari Dani ke sana ke mari.
(b) Bapa neangan Dani ka ditu ka dieu.
(c) Bapak mencari Dani ke mana-mana.
Ø  (a) Aku menunggu Tedi, tetapi tak datang juga.
(b) Kuring ngadagoan Tedi, tapi teu datang bae.
(c) Saya menanti kedatangan Tedi, tetapi dia tak kunjung datang.
Ø  (a) Baju saya ada yang dicuri.
(b) Baju kuring aya nu maling.
(c) Baju saya dicuri orang.
Tampaknya kesulitan anak-anak di daerah Sunda dalam belajar bahasa Indonesia, juga dialami oleh anak-anak dari daerah lain, yang berbahasa pertamanya juga daerah. Persoalannya adalah bagaimana mengatasi kesulitan atau hambatan itu. Kesulitan-kesulitan itu dapat diatasi dengan melakukan berbagai pembelajaran, misalnya dengan menggunakan pendekatan linguistik kontrastif. Artinya, dengan melakukan perbandingan pola antara bahasa yang diajarkan dengan bahasa pertama seseorang. Pola-pola berbeda diberi porsi-porsi perhatian dan latihan yang lebih banyak; sedangkan pola-pola yang mirip atau sama cukup diberi latihan sekadarnya.
Para penganjur pendekatan linguistik kontrastif berpendirian bahwa pnguasaan suatu bahasa tidak lain dari pembentukan kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan yang berasal dari proses peniruan dalam masyarakat bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat menguasai bahasa kedua jalan yang paling tepat adalah dengan latihan terus menerus, tanpa henti sehingga pada suatu saat akan terbentuk kebiasaan  seperti yang telah terjadi ketika memelajari bahasa pertama. Namun, karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi Negara, maka penguasaan yang optimal perlu diusahakan.
Apabila melihat contoh perkembangan bahasa Indonesia, seperti telah diulas sebelumnya, banyak masyarakat yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Namun, pada sisi lain, tidak kalah juga jumlah masyarakat yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, sekalipun bahasa pertama dari masyarakat tersebut adalah bahasa daerah yang ada di Indonesia.








BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemerolehan bahasa kedua berkenaan dengan bahasa pertama. Biasanya anak yang sudah berbahasa daerah itu (bahasa Sunda) akan mendapatkan bahasa kedua dengan bahasa pokok (bahasa Indonesia). Bahasa pertamalah yang biasanya menjadi penghambat dalam seseorang belajar berbahasa kedua.
Dapat diketahui bahwa bahasa kedua berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Keadaan linguistik bahasa pertama penting artinya bagi usaha menentukan strategi pembelajaran yang diperkirakan efektif oleh peserta didik dalam rangka transferisasi. Belajar bahasa kedua adalah belajar mentransfer bahasa baru di atas bahasa yang sudah ada.
Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan karena tindak laku kedua bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan yang kemampuan terhadap bahasa kedua jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap bahasa pertamanya itu akan sangat kesulitan berkomunikasi dengan bahasa kedua secara baik.
Sebenarnya, meskipun bahasa Indonesia tidak ditempatkan sebagai bahasa pertama, namun bahasa kedua, hal paling utama adalah bahwa kemampuan penutur bahasa tersebut baik, dalam bahasa maupun tulisan.

3.2. Penutup
Demikianlah makalah yang saya buat semoga bermanfaat bagi orang yang membaca. Dan saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas, dan lugas sehingga sulit dimengerti. Kemampuan yang saya miliki masih terbatas dan hanya sebatas ini saya mampu membuatnya. Terimakasih atas kebijaksanaan dan perhatiannya.



DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.2002.Psikolinguistik: Kajian Teoritik.Jakarta: Rineka Cipta.
Muslich, Masnur.2011.Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi         Bahasa Indonesia.Jakarta: Bumi Aksara.
Sunendar, Dadang dan Iskandarwassid.2008.Strategi Pembelajaran Bahasa.         Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar