Klasifikasi
Puisi Berdasarkan Gerakan Puisi
Puisi berdasarkan penggunaan kata
(diksi) dan macam bahasanya dikenal adanya jenis mbeling dan puisi multilingualisme. Puisi mbeling merupakan
jenis puisi yang kemunculannya dilandasi oleh
semangat pemberontakan terhadap puisi dan penyair sebelumnya. Mbeling adalah kosa kata dalam bahasa Jawa,
yang bermakna nakal, kurang ajar sukar diatur,
suka memberontak. Puisi mbeling pada
awalnya merupakan ruangan puisi majalah Aktuil
Bandung (1972-1978) dan sekaligus sebagai sebutan untuk puisi-puisi yang dimuat dalam ruangan itu (Eneste, 1990:141).
Menurut Damono (1983:89)
ciri utama puisi mbeling adalah kelakar. Kata-kata
dipermainkan; arti, bunyi, dan tipografi
dimanfaatkan untuk mencapai efek tersebut. Sebagian besar sajak mbeling
menunjukkan bahwa maksud penyairnya sekadar mengajak pembaca berkelakar,
tanpa maksud lain yang disembunyikan.
Dasar lahirnya puisi mbeling, menurut salah satu tokohnya, yakni Remy
Silado, adalah pernyataan akan apa
adanya. Jika puisi merupakan pernyataan apa adanya, dengan begitu terjemahan
mentalnya, hendaknya diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah
bagaimana dia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya
secara menyeluruh, lugu dan apa adanya (Aktuil, Juli 1975).
Mbeling artinya nakal, menyimpang dari
aturan baku. Puisi mbeling juga begitu. Tidak perlu menggunakan bahasa kiasan,
metafora yang rumit-rumit yang sering dianggap sebagai ciri keindahannya, cukup
bahasa sehari-hari saja. Puisi mbeling adalah bagian dari gerakan mbeling yang
dicetuskan oleh Remy Sylado. Suatu gerakan yang dimaksudkan untuk mendobrak
sikap rezim Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik. Benih gerakan ini mulai
disemaikan oleh Remy Sylado pada 1971 ketika dia mementaskan drama berjudul
Messiah II di Bandung. Namun waktu itu
istilah mbeling belum diperkenalkan. Istilah itu baru diperkenalkan tahun 1972
ketika mementaskan dramanya Genesis II di Bandung. Dalam undangan pertunjukan
dramanya, Remy menyebut teaternya sebagai teater mbeling. Kemudian Remy menulis
puisi-puisi di Majalah Aktuil dalam rubrik “Puisi Mbeling.” Bahasanya diambil
dari bahasa sehari-hari, bahkan yang dianggap jorok sekalipun. Apa yang hendak
didobrak dari gerakan puisi mbeling adalah pandangan estetika yang menyatakan
bahwa bahasa puisi bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai estetika
yang berlaku. Pandangan ini menurut gerakan puisi mbeling hanya akan
menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas.
Contoh Puisi
TEKA TEKI
Karya Remy Sylado
Saya ada dalam puisi
Saya ada dalam cerpen
Saya ada dalam novel
Saya ada dalam roman
Saya ada dalam kritik
Saya ada dalam w.c.
Siapakah saya?
Jawab: H.B. Jassin
Kalau diperhatikan, kata-kata yang
digunakan dalam puisi “Teka Teki,” semuanya bahasa sehari-hari. Bahkan kalau
kita perhatikan isi puisi berkelakar. Baris-barisnya mencoba menebak teka-teki,
siapakah tokoh yang selalu ada dalam puisi, cerpen, novel, roman, kritik, esai,
bahkan juga w.c. jawaban dari tekateki itu adalah H.B. Jassin.
Pandangan Jakob Sumarjo
mengenai puisi mbeling: “puisi mbeling adalah bermain demi permainan itu
sendiri. Kenikmatan puisi mbeling terletak pada kesipan pembaca untuk memasuki
permainan kata-kata dan bentuk-bentuk dalam kata-kata atau huruf-huruf demi
permainan itu sendiri. Kalau pembaca menemukan kenikmatan atau pesona di situ,
maka cukuplah sudah puisi semacam itu (puisi mbeling).
Menurut Sapardi Djoko Damono
dalam esainya Puisi Mbeling: Suatu usaha pembebasan (Bahasa dan Sastra, tahun
IV No.3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud) beliau
mengatakan bahwa istilah mbeling kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar
diatur, dan suka berontak.
Pandangan Soni Farrid
maulana mengenai puisi mbeling: “jika puisi lirik merupakan sebuah jalan raya,
maka puisi mbeling adalah sebuah jalan tikus yang memaksan orang menghentikan
kendaraannya melewati jalan raya yang macet itu, yang kemudian dipilihnya jalan
tikus untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu saja, dalam melewati jalan tikus itu
orang tidaka akan mendapat pemandangan indah. Tidak akan mendapatkan langit
yang senantiasa bersih warna birunya. Pemandangan yang ada di situ, bisa jadi
deretan jemuran celana dalam, wajah-wajah yang kumuh didera kemiskinan,
parodi-parodi kehidupan dan sebagainya dan sebagainya”.
Dalam kata lain, puisi
mbeling adalah semacam jeda dari “tradisi” penulisan puisi lirik indonesia,
yang tentu saja dalam cara mengapresiasinya perlu semacam pisau analisis atau
wacana lain, yang berbeda dengan wacana puisi lirik, simbiolisme, surrealisme,
dan isme isme yang lainnya dari berbagai belahan dunia.
Latar Belakang Munculnya gerakan Puisi Mbeling
Jeihan berkata tentang
gerakan puisi mbeling ini“ sekali lagi saya tegaskan, bahwa puisi yang saya
tulis pada tahun 1969 merupakan cikal bakal lahirnya gerakan puisi mbeling.
Pada awal tahun 70an, rumah saya di cicadas kerap dijadikan markas para seniman
Bandung yang memang berpikiran nakal-nakal. Mereka antara lain Remy Sylado,
Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sanento Yuliman dan Wing Karjo. Pada
bulan Oktober 1971, kami dikejutkan oleh Rendra yang membuat perkemahan kaum
urakan di pantai Parangtaritis, Yogyakarta. Untuk mereaksi gerakan tersebut,
lalu kami sepakat membikin gerakan puisi mbeling. Jadi gencarnya publikasi
puisi mbeling itu sendiri merupakan reaksi atas gerakan kaum urakan yang
dikomandani oleh Rendra, pada 16 Oktober 1971”
Sebagai gerakan, apa yang
diganyang oleh gerakan puisi mbeling sebagaimana pernah dikatakan penyair
Taufiq Ismail, ternyata bukan hanya kritik terhadap puisi itu sendiri. Tetapi
juga sekaligus merupakan kritik terhadap majalah sastra horison dan para
penyair yang sudah mapan pada saat itu. Apresiasi puisi-puisi mbeling Jeihan
Sukmantoro. Pada bagian pertama, akan diulas bagaimana puisi mbeling Jeihan
yang ditulisnya dengan menggunakan kata-kata sebagai daya ekspresi dari
kegelisahan batinnya yang direaksinya secara main-main, tapi ternyata
sungguh-sunguh. Sedangkan pada bagian lain adalah menikmati puisinya yang
menggunakan lambang angka dan lambang huruf. Dimulai dengan puisinya berjudul
NELAYAN yang mengungkapkan dasar filosofi kaum mbeling tahun 1970-an
NELAYAN
Di tengah laut
Seorang nelayan berseru
Tuhan bikin laut
Beta bikin perahu
Tuhan bikin angin
Beta bikin layar
Tiba-tiba perahunya
terguling
Akh,
Beta main-main
Tuhan sungguh-sungguh
Puisi di atas seolah mau
menyatakan maksud puisi mbeling, yakni bahwa “beta main-main, tuan
sungguh-sungguh”. Puisi bertolak dari niat bermain-main. Niat untuk membuat
bentuk demi suka ria bersama. Walaupun sejumlah puisinya tidak dapat dianggap
hanya permainan kata belaka. Seperti sejumlah puisi selanjutnya.
Apa yang ditulis Jeihan
dalam sejumlah puisi mbelingnya, ternyata selalu berada dalam arus kesadaran
akan situasi yang terjadi pada saat itu.
Membaca Puisi
1. Membaca puisi sebagai Apresiasi Puisi
Secara makna leksikal, apresiasi (appreciation)
mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan,
penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti,
1985:2002). Sementara itu, Effendi (1973: 18) menyatakan bahwa apresiasi sastra
adalah menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang
baik terhadap cipta sastra.
Pada dasarnya, kegiatan membaca puisi merupakan
upaya apresiasi puisi. Secara tidak langsung, bahwa dalam membaca puisi,
pembaca akan berusaha mengenali, memahami, menggairahi, memberi pengertian,
memberi penghargaan, membuat berpikir kritis, dan memiliki kepekaan rasa. Semua
aspek dalam karya sastra dipahami, dihargai bagaimana persajakannya, irama,
citra, diksi, gaya bahasa, dan apa saja yang dikemukakan oleh media. Pembaca
akan berusaha untuk menerjemahkan bait perbait untuk merangkai makna dari makna
puisi yang hendak disampaikan pengarang. Pembaca memberi apresiasi, tafsiran,
interpretasi terhadap teks yang dibacanya Setelah diperoleh pemahaman yang
dipandang cukup, pembaca dapat membaca puisi. Karena kata “membacakan”
mengandung makna benefaktif, yaitu melakukan sesuatu pekerjaan untuk orang
lain, maka penyampaian bentuk yang mencerminkan isi harus dilakukan dengan
total agar apresiasi pembaca terhadap makna dalam puisi dapat tersampaikan
dengan baik kepada pendengar. Makna yang telah didapatkan dari hasil apresiasi
diungkapkan kembali melalui kegiatan membaca puisi. Dapat pula dikatakan
sebagai suatu kegiatan transformasi dari apresiasi pembaca dengan karakter
pembacaannya, termasuk ekspresi terhadap penonton.
2. Faktor-faktor Penting dalam Membaca
puisi
Setiap bentuk dan gaya baca puisi selalu menuntut adanya ekspresi
wajah, gerakan kepala, gerakan tangan, dan gerakan badan. Keempat ekspresi dan
gerakan tersebut harus memperhatikan (1) jenis acara: pertunjukkan, pembuka
acara resmi, performance-art, dll, (2) pencarian jenis puisi yang cocok dengan
tema: perenungan, perjuangan, pemberontakan, perdamaian, ketuhanan, percintaan,
kasih sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll, (3) pemahaman puisi yang
utuh, (4) pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, (5) tempat acara: indoor atau
outdoor, (6) audien, (7) kualitas komunikasi, (8) totalitas performansi:
penghayatan, ekspresi, (9) kualitas vokal, (10) kesesuaian gerak, dan (11) jika
menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, harus memperhatikan (a) pemilihan
kostum yang tepat, (b) penggunaan properti yang efektif dan efisien, (c) setting
yang sesuai dan mendukung tema puisi, (d) musik yang sebagai musik pengiring
puisi atau sebagai musikalisasi puisi
3. Bentuk dan Gaya dalam Membaca puisi
Suwignyo (2005) mengemukakan bahwa bentuk dan gaya baca puisi dapat dibedakan
mejadi tiga, yaitu (1) bentuk dan gaya baca puisi secara poetry reading,
(2) bentuk dan gaya baca puisi secara deklamatoris, dan (3) bentuk dan gaya
baca puisi secara teaterikal.
3.1. Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Poetry
Reading
Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi ini
adalah diperkenankannya pembaca membawa teks puisi. Adapaun posisi dalam bentuk
dan gaya baca puisi ini dapat dilakukan dengan (1) berdiri, (2) duduk, dan (3)
berdiri, duduk, dan bergerak.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan
posisi berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui gerakan badan, kepala,
wajah, dan tangan. Intonasi baca seperti keras lemah, cepat lambat, tinggi
rendah dilakukan dengan cara sederhana. Bentuk dan gaya baca puisi ini relatif
mudah dilakukan.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan
posisi duduk, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan-gerakan kepala:
mengenadah, menunduk menoleh, (2) gerakan raut wajah: mengerutkan dahi,
mengangkat alis, (3) gerakan mata: membelakak, meredup, memejam, (4) gerakan
bibir: tersenyum, mengatup, melongo, dan (5) gerakan tangan, bahu, dan badan,
dilakukan seperlunya. Sedangkan intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca
dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat katakata tertentu,
dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca puisi
duduk, berdiri, dan bergerak, maka yang harus dilakukan pada posisi duduk
adalah (1) memilih sikap duduk dengan santai, (2) arah dan pandangan mata
dilakukan secara bervariasi, dan (3) melakukan gerakan tangan dilakuakan dengan
seperlunya. Sedang yang dilakukan pada saat berdiri adalah (1) mengambil sikap
santai, (2) gerakan tangan, gerakan bahu, dan posisi berdiri dilakukan dengan
bebas, dan (3) ekspresi wajah: kerutan dahi, gerakan mata, senyuman dilakukan
dengan wajar. Yang dilakukan pada saat bergerak adalah (1) melakukan dengan
tenang dan terkendali, dan (2) menghindari gerakan-gerakan yang berlebihan.
Intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata
tertentu, (2) membaca dengan lambat katakata tertentu, dan (3) membaca dengan
nada tinggi kata-kata tertentu.
3.2. Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara
Deklamatoris
Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi seacra
deklamatoris adalah lepasnya teks puisi dari pembaca. Jadi, sebelum
mendeklamasikan puisi, teks puisi harus dihapalkan. Bentuk dan gaya baca puisi
ini dapat dilakukan dengan posisi (1) berdiri, (2) duduk, dan (3) berdiri,
duduk, dan bergerak.
Jika deklamator memilih bentuk dan gaya baca
dengan posisi berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan-gerakan
tangan: mengepal, menunjuk, mengangkat kedua tangan, (2) gerakan-gerakan
kepala: melihat ke bawah, atas, samping kanan, samping kiri, serong, (3)
gerakan-gerakan mata: membelalak, meredup, memejam, (4) gerakan-gerakan bibir:
tersenyumm, mengatup, melongo, (5) gerakan-gerakan tangan, bahu, badan, dan
raut muka dilakukan dengan total. Intonasi baca dilakukan dengan cara (1)
membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata
tertentu, (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.
Jika deklamator memilih bentuk dan gaya dengan
posisi duduk, berdiri, dan bergerak, maka yang dilakukan pada posisi duduk
adalah (1) memilih posisi duduk dengan santai, kaki agak ditekuk, posisi mriing
dan badan agak membungkuk, Dan (2) arah dan pandangan mata dilakukan
bervariasi: menatap dan menunduk. Sedang yang dilakukan pada posisi berdiri (1)
mengambil sikap tegak dengan wajah menengadah, tangan menunjuk, dan (2) wajah
berseri-seri dan bibir tersenyum. Yang dilakukan pada saat bergerak (1)
melakukan dengan tenang dan bertenaga, dan (2) kaki dilangkahkan dengan pelan
dan tidak tergesa-gesa. Intonasi dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras
kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata tertentu, dan (3)
membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.
3.3. Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara
Teaterikal
Ciri khas bentuk dan gaya baca puisi teaterikal bertumpu pada totalitas
ekspresi, pemakaian unsur pendukung, misal kostum, properti, setting, musik,
dll., meskipun masih terikat oleh teks puisi/tidak. Bentuk dan gaya baca puisi
secara teaterikal lebih rumit daripada poetry reading maupun
deklamatoris. Puisi yang sederhana apabila dibawakan dengan ekspresi akan
sangat memesona.
Ekspresi jiwa puisi ditampakkan pada perubahan tatapan mata dan sosot mata.
Gerakan kepala, bahu, tangan, kaki, dan badan harus dimaksimalkan. Potensi teks
puisi dan potensi diri pembaca puisi harus disinergikan. Pembaca dapat
menggunakan efek-efek bunyi seperti dengung, gumam, dan sengau diekspresikan
dengan total. Lakuan-lakukan pembaca seperti menunduk, mengangkat tangan,
membungkuk, berjongkok, dan berdiri bebas diekspresikan sesuai dengan motivasi
dalam puisi. Aktualisasi jiwa puisi harus menyatu dengan aktualisasi diri
pembaca.
- Puisi
Kongkret
Puisi kongkret yaitu
puisi yang mementingkan bentuk grafis atau tata wajah yang disusun mirip dengan
gambar. Di samping makna yang ingin disampaikan oleh penyair, ia juga
memperlihatkan kemanisan susunan kata-kata dan baris serta bait yang menyerupai
gambar seperti segitiga, huruf Z, kerucut, piala, belah ketupat, segi empat,
dan lain-lain.
Puisi kongkret sangat
terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1970-an. Sutardji Calzoum
Bachri termasuk pelopor juga. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri banyak yang
dapat dikategorikan puisi kongkret. Puisi yang berjudul “Tragedi Winka dan
Sihka” ( bentuk zig-zag), Q (mirip sebuah bangunan), Kucing ( segi empat)
termasuk puisi kongkret. Contoh puisi kongkret Dharma Sari
Drama Sebabak
a C a
r a C a
o e
w
w
o
e
C o w o
K a n d K e w
e k
o
e
w
w
e
o
e
o
e o
K
a
u
O w e e e e e
e k k
c.
Puisi
Bebas
Puisi bebas adalah puisi yang tidak
terikat oleh aturan-aturan bait, baris, dan rima. Contohnya puisi karangan
Chairul Anwar, Taufik Ismail, dan
sebagainya.
NISAN
Bukan
kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu
menerima segala tiba
Tak
kutahu setinggi itu di atas debu
Dan
duka maha tuan tak bertahta.
d.
Puisi
Sufistik
Puisi
sufistik merupakan ungkapan estetik sebuah perjalanan spiritual menuju ke lubuk
rahasia terdalam kehidupan, yaitu Sang Kebenaran itu sendiri. Jika seorang
penyair telah mencapai Yang Rahasia, maka dengan sendirinya ia akan mengalami
pencerahan. Oleh sebab itu, ia akan mengalami kebangunan diri kembali atau
tranformasi (inabah) dalam arti yang sebenarnya. Puisi sufistik inilah puisi
yang ideal untuk menyempurnakan kondisi kemanusiaan dan memulihkan martabat
kemanusiaan (Bachri, 1978:V). Dalam
kesusastraan Indonesia, puisi sufistik telah menjadi tema besar yang menarik
perhatian bagi para sastrawan. Mulai dari Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Sanusia
Pane, Bahrum Rangkuti, Danarto,
Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi, dan lain-lain. Contoh puisi
sufistik karya Bahrum Rangkuti.
MERCON MALAM TAKBIRAN
Akhir ramadhan
membakar sepanjang
Thamrin. Panas
tak tertahan sejak siang
Mercon, meriam
bambu dan bunga api
Menggelegar dari
gedung dan jembatan tinggi
Menggulingkan menakutkan
jatuh ke bawah sedan
Dan beca. Polisi bagaikan tonggak menunggu-nunggu
Siapa yang luka,
melontar dan putus tangan
Dalam arus oto,
speda dan scooter.
Setan memburu
Inilah agaknya
kejang penghabisan jalan rohani
Berminggu-minggu
di taman Ilahi. Nafsu dikekang
Rajin mengaji,
doa dan sembahyang malam hari
Apakah semua ini
bukan pelambang?
Bertahun-tahun
berjuang menumbuh cita sejauh bintang
Lalu timpa menimpa
jua. Ledakan di sana sini!
Bahrum Rangkuti (
1919 )
Struktur Fisik Puisi
struktur fisik puisi,
atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan
oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi
hal-hal sebagai berikut.
(1) Perwajahan
puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi
kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak
selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal
tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2)
Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat
mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin.
Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi,
dan urutan kata.
(3)
Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman
indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan
imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca
seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4) Kata
kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan
munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal
kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll,
sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat
hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5)
Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan
efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6)
Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan
bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup
(1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis
pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi,
persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh,
repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan
kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
DAFTAR
PUSTAKA: