Pada era globalisasi, profesi guru
bermakna strategis, karena penyandangnya mengemban tugas sejati bagi proses
kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan, pembudayaan, dan pembangun karakter
bangsa. Esensi dan eksistensi makna strategis profesi guru diakui dalam
realitas sejarah pendidikan di Indonesia. Pengakuan itu memiliki kekuatan formal
tatkala tanggal 2 Desember 2004, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencanangkan
guru sebagai profesi. Satu tahun kemudian, lahir Undang-undang (UU) No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebagai dasar legal pengakuan atas profesi
guru dengan segala dimensinya.
Metamorfosis harapan untuk melahirkan UU
tentang Guru dan Dosen telah menempuh perjalanan panjang. Pencanangan Guru
sebagai Profesi oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu akselerator
lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 itu. Di dalam UU ini disebutkan bahwa guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Pascalahirnya UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, diikuti dengan beberapa produk hukum yang menjadi dasar
implementasi kebijakan, seperti tersaji pada Gambar 1.1. Kebijakan Pengembangan
Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 5


Aneka produk hukum itu semua bermuara
pada pembinaan dan pengembangan profesi guru, sekaligus sebagai pengakuan atas
kedudukan guru sebagai tenaga profesional. Pada tahun 2012 dan seterusnya
pembinaan dan pengembangan profesi guru harus dilakukan secara simultan, yaitu mensinergikan
dimensi analisis kebutuhan, penyediaan, rekruitmen, seleksi, penempatan, redistribusi,
evaluasi kinerja, pengembangan keprofesian berkelanjutan, pengawasan etika
profesi, dan sebagainya. Untuk tujuan
itu, agaknya diperlukan produk hukum baru yang mengatur tentang sinergitas
pengelolaan guru untuk menciptakan keselarasan dimensi-dimensi dan institusi yang
terkait.
Kesadaran untuk menghadirkan guru dan
tenaga kependidikan yang profesional sebagai sumber daya utama pencerdas
bangsa, barangkali sama tuanya dengan sejarah peradaban pendidikan. Di Indonesia,
khusus untuk guru, dilihat dari dimensi sifat dan substansinya, alur untuk
mewujudkan guru yang benar-benar profesional, yaitu: (1) penyediaan guru
berbasis perguruan tinggi, (2) induksi guru pemula berbasis sekolah, (3)
profesionalisasi guru berbasis prakarsa institusi, dan (4) profesionalisasi
guru berbasis individu atau menjadi guru madani.
Berkaitan dengan penyediaan guru, UU No.
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008
tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan guru menjadi kewenangan
lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut sebagai penyediaan
guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua produk hukum ini, lembaga
pendidikan tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang diberi
tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau
pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu
kependidikan dan nonkependidikan.
Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi
akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan bersertifikat pendidik. Jika seorang
guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh Negara sebagai guru
profesional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74
tentang Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi
S1/D-IV bidang kependidikan dan nonkependidikan yang memenuhi syarat sebagai
guru. Itu pun jika mereka telah menempuh dan dinyatakan lulus pendidikan
profesi. Dua produk hukum ini menggariskan bahwa peserta pendidikan profesi
ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota kebutuhan
formasi.
Khusus untuk pendidikan profesi guru,
beberapa amanat penting yang dapat disadap dari dua produk hukum ini. Pertama,
calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV. Kedua,
sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh
pemerintah. Ketiga, sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan
secara objektif, transparan, dan akuntabel. Keempat, jumlah peserta
didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri. Kelima,
program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik. Keenam,
uji kompetensi pendidik dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja
sesuai dengan standar kompetensi.
Ketujuh, ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup
penguasaan: (1) wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta
didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan
evaluasi hasil belajar; (2) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai
dengan standar isi mata pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program
yang diampunya; dan (3) konsep-konsep
disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi
pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya. Kedelapan,
ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktik. Kebijakan
Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 6 pembelajaran yang mencerminkan
penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial pada
satuan pendidikan yang relevan.
Daftar Pustaka
Mashunah, Dian Dkk. 2012. Kebijakan
Pengembangan Profesi Guru.Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar