Sabtu, 19 November 2016

TEORI BEHAVIORISME DARI WATSON




Teori behaviorisme diperkenalkan oleh John B Watson (1878-1958) seorang ahli psikologi berkebangssaan Amerika. Teori ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari teori pembiasaan klasik Pavlov dalam bentuk baru dan yang lebih terperinci serta didukung oleh eksperimen baru dengan binatang (terutama tikus) dan anak kecil (bayi).
Di Amerika Serikat, Watson dikenal sebagai Bapak Behaviorisme karena prinsip-prinsip pembelajaran barunya berdasarkan teori Stimulus-Respon Bond, (S-R Bond) yang juga dalam persaingan dengan teori Strukturalisme dan mentalisme Wundt. Menurut behaviorisme yang dianut oleh Watson tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap prilaku; dan sedikitpun tidak ada kaitannya dengan kesadaran. Yang dapat dikaji oleh psikologi menurut teori ini adalah benda-benda atau hal-hal yang dapat diamati secara langsung, yaitu rangsangan (stimulus) dan gerak balas (respons); sedangkan hal-hal yang terjadi dalam otak tidak berkaitan dengan kajian. Maka dalam proses pembelajaran, menurut Watson, tidak ada perbedaan antara manusia dengan hewan.
Oleh karena kesadaran tidak termasuk benda yang dikaji oleh behaviorisme, maka psikologi ini telah manjadikan ilmu mengenai perilaku manusia ini menjadi sangat sederhana dan mudah dikaji. Mengapa? Karena semua perilaku, menurut behaviorisme, termasuk tindak balas (respons) ditimbulkan oleh adanya rangsangan (stimulus). Jadi, jika gerak balas telah diamati dan diketahui, maka rangsanganpun dapatlah diprediksikan. Begitu juga jika rangsangan telah diamati dan diketahui, maka gerak balas pun dapat diprediksikan. Dengan demikian, setiap perilaku itu dapat di prediksikan dan dikendalikan. Watson juga dengan tegas menolak pengaruh naluri (instinct) dan kesadaran terhadap perilaku. Jadi, semua perilaku dipelajari menurut hubungan stimulus-respons.
Untuk membuktikan teori behaviorismenya terhadap manusia, Watson mengadakan eksperimen terhadap Albert seorang bayi berumur 11 bulan. Pada mulanya Albert adalah seorang bayi yang gembira yang tidak takut terhadap binatang seperti tikus putih berbulu halus. Albert senang sekali bermain-main dengan tikus putih yang berbulu cantik itu. Dalam eksperimen ini, Watson memulai proses pembiasaannya dengan cara memukul sebatang besi dengan sebuah palu setiap kali Albert mendekati dan ingin memegang tikus putih itu. Akibatnya, tidak lama kemudian Albert menjadi takut terhadap tikus putih itu. Dengan eksperimen itu Watson menyatakan bahwa ia telah berhasil membuktikan bahwa pelaziman dapat mengubah perilaku secara nyata.
Dalam pembelajaran yang didasarkan pada hubungan Stimulus- respons ini, Watson mengemukakan dua prinsip penting yaitu (1) recency principle (prinsip kebaruan), dan (2) frequency principle (prinsip frekuensi). Menurut recency principle jika suatu stimulus baru saja menimbulkan respons, maka kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respons yang sama apabila diberikan umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan umpan setelah lama berselang. Menurut frequency principle apabila suatu stimulus lebih sering menimbulkan suatu respons, maka kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan respons yang sama pada waktu yang lain akan lebih besar.

Kebijakan Pengembangan Profesi Pendidik




Pada era globalisasi, profesi guru bermakna strategis, karena penyandangnya mengemban tugas sejati bagi proses kemanusiaan, pemanusiaan, pencerdasan, pembudayaan, dan pembangun karakter bangsa. Esensi dan eksistensi makna strategis profesi guru diakui dalam realitas sejarah pendidikan di Indonesia. Pengakuan itu memiliki kekuatan formal tatkala tanggal 2 Desember 2004, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi. Satu tahun kemudian, lahir Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebagai dasar legal pengakuan atas profesi guru dengan segala dimensinya. 
Metamorfosis harapan untuk melahirkan UU tentang Guru dan Dosen telah menempuh perjalanan panjang. Pencanangan Guru sebagai Profesi oleh Presiden Soesilo Bambang  Yudhoyono menjadi salah satu akselerator lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 itu. Di dalam UU ini disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Pascalahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diikuti dengan beberapa produk hukum yang menjadi dasar implementasi kebijakan, seperti tersaji pada Gambar 1.1. Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 5
 
Gambar 1.1 Milestone Pengembangan Profesi Guru

Aneka produk hukum itu semua bermuara pada pembinaan dan pengembangan profesi guru, sekaligus sebagai pengakuan atas kedudukan guru sebagai tenaga profesional. Pada tahun 2012 dan seterusnya pembinaan dan pengembangan profesi guru harus dilakukan secara simultan, yaitu mensinergikan dimensi analisis kebutuhan, penyediaan, rekruitmen, seleksi, penempatan, redistribusi, evaluasi kinerja, pengembangan keprofesian berkelanjutan, pengawasan etika profesi, dan sebagainya.  Untuk tujuan itu, agaknya diperlukan produk hukum baru yang mengatur tentang sinergitas pengelolaan guru untuk menciptakan keselarasan dimensi-dimensi dan institusi yang terkait.
Kesadaran untuk menghadirkan guru dan tenaga kependidikan yang profesional sebagai sumber daya utama pencerdas bangsa, barangkali sama tuanya dengan sejarah peradaban pendidikan. Di Indonesia, khusus untuk guru, dilihat dari dimensi sifat dan substansinya, alur untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, yaitu: (1) penyediaan guru berbasis perguruan tinggi, (2) induksi guru pemula berbasis sekolah, (3) profesionalisasi guru berbasis prakarsa institusi, dan (4) profesionalisasi guru berbasis individu atau menjadi guru madani.
Berkaitan dengan penyediaan guru, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang Guru telah menggariskan bahwa penyediaan guru menjadi kewenangan lembaga pendidikan tenaga kependidikan, yang dalam buku ini disebut sebagai penyediaan guru berbasis perguruan tinggi. Menurut dua produk hukum ini, lembaga pendidikan tenaga kependidikan dimaksud adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
Guru dimaksud harus memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya S1/D-IV dan bersertifikat pendidik. Jika seorang guru telah memiliki keduanya, statusnya diakui oleh Negara sebagai guru profesional. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP No. 74 tentang Guru, telah mengamanatkan bahwa ke depan, hanya yang berkualifikasi S1/D-IV bidang kependidikan dan nonkependidikan yang memenuhi syarat sebagai guru. Itu pun jika mereka telah menempuh dan dinyatakan lulus pendidikan profesi. Dua produk hukum ini menggariskan bahwa peserta pendidikan profesi ditetapkan oleh menteri, yang sangat mungkin didasari atas kuota kebutuhan formasi. 
Khusus untuk pendidikan profesi guru, beberapa amanat penting yang dapat disadap dari dua produk hukum ini. Pertama, calon peserta pendidikan profesi berkualifikasi S1/D-IV. Kedua, sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan  tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan ditetapkan oleh pemerintah. Ketiga, sertifikasi pendidik bagi calon guru harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Keempat, jumlah peserta didik program pendidikan profesi setiap tahun ditetapkan oleh Menteri. Kelima, program pendidikan profesi diakhiri dengan uji kompetensi pendidik. Keenam, uji kompetensi pendidik dilakukan melalui ujian tertulis dan ujian kinerja sesuai dengan standar kompetensi. 
Ketujuh, ujian tertulis dilaksanakan secara komprehensif yang mencakup penguasaan: (1) wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum atau silabus, perancangan pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar; (2) materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi mata pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya; dan (3)  konsep-konsep disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang secara konseptual menaungi materi pelajaran, kelompok mata pelajaran, dan/atau program yang diampunya. Kedelapan, ujian kinerja dilaksanakan secara holistik dalam bentuk ujian praktik. Kebijakan Pengembangan Profesi Guru – Badan PSDMPK-PMP 6 pembelajaran yang mencerminkan penguasaan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial pada satuan pendidikan yang relevan.

Daftar Pustaka
Mashunah, Dian Dkk. 2012. Kebijakan Pengembangan Profesi Guru.Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Intan Hapsari: Pengusaha Muda yang Melebarkan Sayapnya di Dunia Fashion Hijab




Oleh Nur Kholilah
Intan Hapsari (22) memulai karirnya pada tahun 2014. Dengan berbekal kepercayaan diri dan niat untuk mengajak wanita lain ikut berhijab ia mulai membuka usahanya secara online. Tidak disangka, dalam waktu satu setengah tahun ini usaha yang ia jalani terus berkembang. Dari waktu kewaktu selalu ada perubahan baru dari usahanya tersebut. Awalnya, Intan memulai dengan menjual hijab produk Tanah Abang. Seiring berjalannya

waktu, Intan mulai berpikir untuk memproduksi sendiri hijabnya agar tidak begitu terlihat pasaran dengan hijab lainnya. Untuk lebih mencirikan hijab produksinya, Intan memberikan label pada hijab yang ia produksi. Dengan nama “Agniya Collection” ini, ia mulai membuka peluang baru bagi usahanya.
Semakin hari, nama Agniya Collection semakin dikenal, terutama di kalangan mahasiswa tempatnya berkuliah. Dengan motif yang sebagian besar berbeda dengan yang ada di pasaran, Agniya Collection semakin disukai oleh para fashion hijab. “Akan selalu ada inspirasi motif baru dari produksi hijabku, dari bahanpun setiap minggunya selalu berubah-ubah. Karena pikiranku, aku nggak mau produk yang aku jual pasaran dan diproduksi secara terbatas, supaya ukhti yang belinya berebut.” papar Intan. Hingga saat ini, tercatat sudah 4.200 motif hijab sudah diproduksi oleh Agniya Collection. Intan juga sudah memiliki sepuluh resseler yang yang tersebar dari berbagai penjuru. Dari banyaknya resseler yang ia miliki itulah, setiap bulannya pabrik konveksi yang bekerja sama dengannya bisa memproduksi hijab Agniya Collection dari mulai 200 pcs sampai 450 pcs. Dengan omzet 3 juta sampai 4 juta perbulannya.
Pencapaiannya saat ini tentu bukanlah hal yang begitu saja bisa ia raih. Usaha dan keyakinannya mampu membuahkan hasil hingga seperti saat ini. Niat baiknya, memang merupakan satu motivasi tersendiri bagi Intan untuk terus mengembangkan usahanya. Motivasi awal Intan membuka usaha dibidang fashion kerudung ini salah satunya adalah untuk mengajak wanita yang belum berjilbab agar berjilbab “Karena berjilbab itukan kewajiban.” jelasnya. Seiring berjalannya waktu, niat baik itu terus memunculkan niatan-niatan baru bagi intan untuk terus mengembangkan usahanya. Karena dengan usaha yang ia jalani, ia jadi bisa membantu sesama yang membutuhkan, dengan membuka ladang usaha bagi mereka yang ingin buka usaha. Ia memberikan toleransi kepada beberapa orang yang belum mampu secara finansial dan ingin mencari peruntungan dari hijab yang ia jual. Intan mengizinkan resselernya untuk terlebih dulu membawa hijab jualannya setelah terjual barulah membayar kepadanya.
Ketika ditanyakan, kiat-kiat yang ia lakukan agar usahanya terus berjalan lancar dan bisa bersaing di pasaran. Intan dengan tenang menjawab “Ada dua sisi yang aku terapin dalam diri. Pertama, hubungan kita dengan Allah, aku selalu beristiqomah solat dhuha, bersedekah, sayangi anak yatim. Kedua, dengan manusia aku cintai ibuku, karena mencintai ibu akan membuat rezeki aku lancar. Dua hal itu yang aku lakukan, aku percaya agniya akan tetap jaya.” Hal itulah yang membuat ia percaya diri. Karena memang rezeki itu datangnya dari Allah. Jadi ia merasa tidak perlu memakai kiat khusus untuk mengembangkannya, hanya perlu beristiqomah pada Allah SWT.
Intan sudah merasa bahwa usaha yang ia jalani saat ini adalah hidupnya, ia menjalaninya dengan senang hati. Jadi, ketika ada suatu kesulitan datangpun ia tidak merasa terbebani. Semua bisa diatasinya dengan tenang. Ia juga berharap agar niat baiknya bisa terus terlaksana dan Agniya Collection bisa lebih mengembangkan sayapnya. Bukan hanya di tataran usaha secara online tetapi juga bisa bersaing di pasar nyata dengan membuka gerainya sendiri. 



KLASIFIKASI PUISI BERDASARKAN GERAKAN PUISI




Klasifikasi Puisi Berdasarkan Gerakan Puisi
Puisi berdasarkan penggunaan kata (diksi) dan macam bahasanya dikenal adanya jenis mbeling dan puisi multilingualisme. Puisi mbeling merupakan jenis puisi yang kemunculannya dilandasi oleh semangat pemberontakan terhadap puisi dan penyair sebelumnya. Mbeling adalah kosa kata dalam bahasa Jawa, yang bermakna nakal, kurang ajar sukar diatur, suka memberontak.  Puisi mbeling pada awalnya merupakan ruangan puisi majalah Aktuil Bandung (1972-1978) dan sekaligus sebagai sebutan untuk puisi-puisi yang dimuat dalam ruangan itu (Eneste, 1990:141).
Menurut Damono (1983:89) ciri utama puisi mbeling adalah kelakar. Kata-kata dipermainkan; arti, bunyi, dan tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek tersebut. Sebagian besar sajak mbeling menunjukkan bahwa maksud penyairnya sekadar mengajak pembaca berkelakar, tanpa  maksud lain yang disembunyikan. Dasar lahirnya puisi mbeling, menurut salah satu tokohnya, yakni Remy Silado,  adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi merupakan pernyataan apa adanya, dengan begitu terjemahan mentalnya, hendaknya diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman ialah bagaimana dia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu dan apa adanya (Aktuil, Juli 1975).
Mbeling artinya nakal, menyimpang dari aturan baku. Puisi mbeling juga begitu. Tidak perlu menggunakan bahasa kiasan, metafora yang rumit-rumit yang sering dianggap sebagai ciri keindahannya, cukup bahasa sehari-hari saja. Puisi mbeling adalah bagian dari gerakan mbeling yang dicetuskan oleh Remy Sylado. Suatu gerakan yang dimaksudkan untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik. Benih gerakan ini mulai disemaikan oleh Remy Sylado pada 1971 ketika dia mementaskan drama berjudul Messiah II di  Bandung. Namun waktu itu istilah mbeling belum diperkenalkan. Istilah itu baru diperkenalkan tahun 1972 ketika mementaskan dramanya Genesis II di Bandung. Dalam undangan pertunjukan dramanya, Remy menyebut teaternya sebagai teater mbeling. Kemudian Remy menulis puisi-puisi di Majalah Aktuil dalam rubrik “Puisi Mbeling.” Bahasanya diambil dari bahasa sehari-hari, bahkan yang dianggap jorok sekalipun. Apa yang hendak didobrak dari gerakan puisi mbeling adalah pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai estetika yang berlaku. Pandangan ini menurut gerakan puisi mbeling hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas.
Contoh Puisi
TEKA TEKI
Karya Remy Sylado

Saya ada dalam puisi
Saya ada dalam cerpen
Saya ada dalam novel
Saya ada dalam roman
Saya ada dalam kritik
Saya ada dalam w.c.

Siapakah saya?
Jawab: H.B. Jassin

Kalau diperhatikan, kata-kata yang digunakan dalam puisi “Teka Teki,” semuanya bahasa sehari-hari. Bahkan kalau kita perhatikan isi puisi berkelakar. Baris-barisnya mencoba menebak teka-teki, siapakah tokoh yang selalu ada dalam puisi, cerpen, novel, roman, kritik, esai, bahkan juga w.c. jawaban dari tekateki itu adalah H.B. Jassin.

Pandangan Jakob Sumarjo mengenai puisi mbeling: “puisi mbeling adalah bermain demi permainan itu sendiri. Kenikmatan puisi mbeling terletak pada kesipan pembaca untuk memasuki permainan kata-kata dan bentuk-bentuk dalam kata-kata atau huruf-huruf demi permainan itu sendiri. Kalau pembaca menemukan kenikmatan atau pesona di situ, maka cukuplah sudah puisi semacam itu (puisi mbeling).
Menurut Sapardi Djoko Damono dalam esainya Puisi Mbeling: Suatu usaha pembebasan (Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud) beliau mengatakan bahwa istilah mbeling kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak.
Pandangan Soni Farrid maulana mengenai puisi mbeling: “jika puisi lirik merupakan sebuah jalan raya, maka puisi mbeling adalah sebuah jalan tikus yang memaksan orang menghentikan kendaraannya melewati jalan raya yang macet itu, yang kemudian dipilihnya jalan tikus untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu saja, dalam melewati jalan tikus itu orang tidaka akan mendapat pemandangan indah. Tidak akan mendapatkan langit yang senantiasa bersih warna birunya. Pemandangan yang ada di situ, bisa jadi deretan jemuran celana dalam, wajah-wajah yang kumuh didera kemiskinan, parodi-parodi kehidupan dan sebagainya dan sebagainya”.
Dalam kata lain, puisi mbeling adalah semacam jeda dari “tradisi” penulisan puisi lirik indonesia, yang tentu saja dalam cara mengapresiasinya perlu semacam pisau analisis atau wacana lain, yang berbeda dengan wacana puisi lirik, simbiolisme, surrealisme, dan isme isme yang lainnya dari berbagai belahan dunia.
Latar Belakang Munculnya gerakan Puisi Mbeling
Jeihan berkata tentang gerakan puisi mbeling ini“ sekali lagi saya tegaskan, bahwa puisi yang saya tulis pada tahun 1969 merupakan cikal bakal lahirnya gerakan puisi mbeling. Pada awal tahun 70an, rumah saya di cicadas kerap dijadikan markas para seniman Bandung yang memang berpikiran nakal-nakal. Mereka antara lain Remy Sylado, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Sanento Yuliman dan Wing Karjo. Pada bulan Oktober 1971, kami dikejutkan oleh Rendra yang membuat perkemahan kaum urakan di pantai Parangtaritis, Yogyakarta. Untuk mereaksi gerakan tersebut, lalu kami sepakat membikin gerakan puisi mbeling. Jadi gencarnya publikasi puisi mbeling itu sendiri merupakan reaksi atas gerakan kaum urakan yang dikomandani oleh Rendra, pada 16 Oktober 1971”
Sebagai gerakan, apa yang diganyang oleh gerakan puisi mbeling sebagaimana pernah dikatakan penyair Taufiq Ismail, ternyata bukan hanya kritik terhadap puisi itu sendiri. Tetapi juga sekaligus merupakan kritik terhadap majalah sastra horison dan para penyair yang sudah mapan pada saat itu. Apresiasi puisi-puisi mbeling Jeihan Sukmantoro. Pada bagian pertama, akan diulas bagaimana puisi mbeling Jeihan yang ditulisnya dengan menggunakan kata-kata sebagai daya ekspresi dari kegelisahan batinnya yang direaksinya secara main-main, tapi ternyata sungguh-sunguh. Sedangkan pada bagian lain adalah menikmati puisinya yang menggunakan lambang angka dan lambang huruf. Dimulai dengan puisinya berjudul NELAYAN yang mengungkapkan dasar filosofi kaum mbeling tahun 1970-an
NELAYAN

Di tengah laut
Seorang nelayan berseru
Tuhan bikin laut
Beta bikin perahu
Tuhan bikin angin
Beta bikin layar
Tiba-tiba perahunya terguling
Akh,
Beta main-main

Tuhan sungguh-sungguh
Puisi di atas seolah mau menyatakan maksud puisi mbeling, yakni bahwa “beta main-main, tuan sungguh-sungguh”. Puisi bertolak dari niat bermain-main. Niat untuk membuat bentuk demi suka ria bersama. Walaupun sejumlah puisinya tidak dapat dianggap hanya permainan kata belaka. Seperti sejumlah puisi selanjutnya.
Apa yang ditulis Jeihan dalam sejumlah puisi mbelingnya, ternyata selalu berada dalam arus kesadaran akan situasi yang terjadi pada saat itu.
Membaca Puisi
1. Membaca puisi sebagai Apresiasi Puisi
Secara makna leksikal, apresiasi (appreciation) mengacu pada pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti, 1985:2002). Sementara itu, Effendi (1973: 18) menyatakan bahwa apresiasi sastra adalah menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
Pada dasarnya, kegiatan membaca puisi merupakan upaya apresiasi puisi. Secara tidak langsung, bahwa dalam membaca puisi, pembaca akan berusaha mengenali, memahami, menggairahi, memberi pengertian, memberi penghargaan, membuat berpikir kritis, dan memiliki kepekaan rasa. Semua aspek dalam karya sastra dipahami, dihargai bagaimana persajakannya, irama, citra, diksi, gaya bahasa, dan apa saja yang dikemukakan oleh media. Pembaca akan berusaha untuk menerjemahkan bait perbait untuk merangkai makna dari makna puisi yang hendak disampaikan pengarang. Pembaca memberi apresiasi, tafsiran, interpretasi terhadap teks yang dibacanya Setelah diperoleh pemahaman yang dipandang cukup, pembaca dapat membaca puisi. Karena kata “membacakan” mengandung makna benefaktif, yaitu melakukan sesuatu pekerjaan untuk orang lain, maka penyampaian bentuk yang mencerminkan isi harus dilakukan dengan total agar apresiasi pembaca terhadap makna dalam puisi dapat tersampaikan dengan baik kepada pendengar. Makna yang telah didapatkan dari hasil apresiasi diungkapkan kembali melalui kegiatan membaca puisi. Dapat pula dikatakan sebagai suatu kegiatan transformasi dari apresiasi pembaca dengan karakter pembacaannya, termasuk ekspresi terhadap penonton.

2. Faktor-faktor Penting dalam Membaca puisi
Setiap bentuk dan gaya baca puisi selalu menuntut adanya ekspresi wajah, gerakan kepala, gerakan tangan, dan gerakan badan. Keempat ekspresi dan gerakan tersebut harus memperhatikan (1) jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi, performance-art, dll, (2) pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema: perenungan, perjuangan, pemberontakan, perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll, (3) pemahaman puisi yang utuh, (4) pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, (5) tempat acara: indoor atau outdoor, (6) audien, (7) kualitas komunikasi, (8) totalitas performansi: penghayatan, ekspresi, (9) kualitas vokal, (10) kesesuaian gerak, dan (11) jika menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, harus memperhatikan (a) pemilihan kostum yang tepat, (b) penggunaan properti yang efektif dan efisien, (c) setting yang sesuai dan mendukung tema puisi, (d) musik yang sebagai musik pengiring puisi atau sebagai musikalisasi puisi

3. Bentuk dan Gaya dalam Membaca puisi
                Suwignyo (2005) mengemukakan bahwa bentuk dan gaya baca puisi dapat dibedakan mejadi tiga, yaitu (1) bentuk dan gaya baca puisi secara poetry reading, (2) bentuk dan gaya baca puisi secara deklamatoris, dan (3) bentuk dan gaya baca puisi secara teaterikal.

3.1.  Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Poetry Reading
Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi ini adalah diperkenankannya pembaca membawa teks puisi. Adapaun posisi dalam bentuk dan gaya baca puisi ini dapat dilakukan dengan (1) berdiri, (2) duduk, dan (3) berdiri, duduk, dan bergerak.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui gerakan badan, kepala, wajah, dan tangan. Intonasi baca seperti keras lemah, cepat lambat, tinggi rendah dilakukan dengan cara sederhana. Bentuk dan gaya baca puisi ini relatif mudah dilakukan.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi duduk, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan-gerakan kepala: mengenadah, menunduk menoleh, (2) gerakan raut wajah: mengerutkan dahi, mengangkat alis, (3) gerakan mata: membelakak, meredup, memejam, (4) gerakan bibir: tersenyum, mengatup, melongo, dan (5) gerakan tangan, bahu, dan badan, dilakukan seperlunya. Sedangkan intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat katakata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.
Jika pembaca memilih bentuk dan gaya baca puisi duduk, berdiri, dan bergerak, maka yang harus dilakukan pada posisi duduk adalah (1) memilih sikap duduk dengan santai, (2) arah dan pandangan mata dilakukan secara bervariasi, dan (3) melakukan gerakan tangan dilakuakan dengan seperlunya. Sedang yang dilakukan pada saat berdiri adalah (1) mengambil sikap santai, (2) gerakan tangan, gerakan bahu, dan posisi berdiri dilakukan dengan bebas, dan (3) ekspresi wajah: kerutan dahi, gerakan mata, senyuman dilakukan dengan wajar. Yang dilakukan pada saat bergerak adalah (1) melakukan dengan tenang dan terkendali, dan (2) menghindari gerakan-gerakan yang berlebihan. Intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat katakata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.


3.2. Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Deklamatoris
Ciri khas dari bentuk dan gaya baca puisi seacra deklamatoris adalah lepasnya teks puisi dari pembaca. Jadi, sebelum mendeklamasikan puisi, teks puisi harus dihapalkan. Bentuk dan gaya baca puisi ini dapat dilakukan dengan posisi (1) berdiri, (2) duduk, dan (3) berdiri, duduk, dan bergerak.
Jika deklamator memilih bentuk dan gaya baca dengan posisi berdiri, maka pesan puisi disampaikan melalui (1) gerakan-gerakan tangan: mengepal, menunjuk, mengangkat kedua tangan, (2) gerakan-gerakan kepala: melihat ke bawah, atas, samping kanan, samping kiri, serong, (3) gerakan-gerakan mata: membelalak, meredup, memejam, (4) gerakan-gerakan bibir: tersenyumm, mengatup, melongo, (5) gerakan-gerakan tangan, bahu, badan, dan raut muka dilakukan dengan total. Intonasi baca dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata tertentu, (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.
Jika deklamator memilih bentuk dan gaya dengan posisi duduk, berdiri, dan bergerak, maka yang dilakukan pada posisi duduk adalah (1) memilih posisi duduk dengan santai, kaki agak ditekuk, posisi mriing dan badan agak membungkuk, Dan (2) arah dan pandangan mata dilakukan bervariasi: menatap dan menunduk. Sedang yang dilakukan pada posisi berdiri (1) mengambil sikap tegak dengan wajah menengadah, tangan menunjuk, dan (2) wajah berseri-seri dan bibir tersenyum. Yang dilakukan pada saat bergerak (1) melakukan dengan tenang dan bertenaga, dan (2) kaki dilangkahkan dengan pelan dan tidak tergesa-gesa. Intonasi dilakukan dengan cara (1) membaca dengan keras kata-kata tertentu, (2) membaca dengan lambat kata-kata tertentu, dan (3) membaca dengan nada tinggi kata-kata tertentu.

3.3. Bentuk dan Gaya Baca Puisi secara Teaterikal
                Ciri khas bentuk dan gaya baca puisi teaterikal bertumpu pada totalitas ekspresi, pemakaian unsur pendukung, misal kostum, properti, setting, musik, dll., meskipun masih terikat oleh teks puisi/tidak. Bentuk dan gaya baca puisi secara teaterikal lebih rumit daripada poetry reading maupun deklamatoris. Puisi yang sederhana apabila dibawakan dengan ekspresi akan sangat memesona.
                Ekspresi jiwa puisi ditampakkan pada perubahan tatapan mata dan sosot mata. Gerakan kepala, bahu, tangan, kaki, dan badan harus dimaksimalkan. Potensi teks puisi dan potensi diri pembaca puisi harus disinergikan. Pembaca dapat menggunakan efek-efek bunyi seperti dengung, gumam, dan sengau diekspresikan dengan total. Lakuan-lakukan pembaca seperti menunduk, mengangkat tangan, membungkuk, berjongkok, dan berdiri bebas diekspresikan sesuai dengan motivasi dalam puisi. Aktualisasi jiwa puisi harus menyatu dengan aktualisasi diri pembaca.

  1. Puisi Kongkret
Puisi kongkret yaitu puisi yang mementingkan bentuk grafis atau tata wajah yang disusun mirip dengan gambar. Di samping makna yang ingin disampaikan oleh penyair, ia juga memperlihatkan kemanisan susunan kata-kata dan baris serta bait yang menyerupai gambar seperti segitiga, huruf Z, kerucut, piala, belah ketupat, segi empat, dan lain-lain.
Puisi kongkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1970-an. Sutardji Calzoum Bachri termasuk pelopor juga. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri banyak yang dapat dikategorikan puisi kongkret. Puisi yang berjudul “Tragedi Winka dan Sihka” ( bentuk zig-zag), Q (mirip sebuah bangunan), Kucing ( segi empat) termasuk puisi kongkret. Contoh puisi kongkret Dharma Sari
 Drama Sebabak

                             a  C  a  r  a  C  a
                                     o             e
                                w             w
                                o              e
                   C   o  w  o   K   a  n  d   K  e  w  e  k
                        o                                       e
                         w                               w
                                e                       o
                                   e                o
                                        e        o
                                             K
                                             a
                                             u
                           O  w  e  e  e  e  e  e  k  k

c.       Puisi Bebas
Puisi bebas adalah puisi yang tidak terikat oleh aturan-aturan bait, baris, dan rima. Contohnya puisi karangan Chairul Anwar, Taufik Ismail, dan  sebagainya.
NISAN
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta.

d.      Puisi Sufistik
Puisi sufistik merupakan ungkapan estetik sebuah perjalanan spiritual menuju ke lubuk rahasia terdalam kehidupan, yaitu Sang Kebenaran itu sendiri. Jika seorang penyair telah mencapai Yang Rahasia, maka dengan sendirinya ia akan mengalami pencerahan. Oleh sebab itu, ia akan mengalami kebangunan diri kembali atau tranformasi (inabah) dalam arti yang sebenarnya. Puisi sufistik inilah puisi yang ideal untuk menyempurnakan kondisi kemanusiaan dan memulihkan martabat kemanusiaan (Bachri, 1978:V).  Dalam kesusastraan Indonesia, puisi sufistik telah menjadi tema besar yang menarik perhatian bagi para sastrawan. Mulai dari Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Sanusia Pane,  Bahrum Rangkuti, Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi, dan lain-lain. Contoh puisi sufistik karya Bahrum Rangkuti.
MERCON MALAM TAKBIRAN
Akhir ramadhan membakar sepanjang
Thamrin. Panas tak tertahan sejak siang
Mercon, meriam bambu dan bunga api
Menggelegar dari gedung dan jembatan tinggi

Menggulingkan menakutkan jatuh ke bawah sedan
Dan beca.  Polisi bagaikan tonggak menunggu-nunggu
Siapa yang luka, melontar dan putus tangan
Dalam arus oto, speda dan scooter.
Setan memburu

Inilah agaknya kejang penghabisan jalan rohani
Berminggu-minggu di taman Ilahi. Nafsu dikekang
Rajin mengaji, doa dan sembahyang malam hari

Apakah semua ini bukan pelambang?
Bertahun-tahun berjuang menumbuh cita sejauh bintang
Lalu timpa menimpa jua.  Ledakan di sana sini!

Bahrum Rangkuti ( 1919 )
Struktur Fisik Puisi
struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.
(1)  Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2)   Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
(3)   Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4)  Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju: melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll, sedangkan kata kongkret “rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan, dll.
(5)   Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6)   Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan akhir baris puisi. Rima mencakup (1) onomatope (tiruan terhadap bunyi, misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.), (2) bentuk intern pola bunyi (aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]), dan (3) pengulangan kata/ungkapan. Ritma adalah tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.



DAFTAR PUSTAKA:
http://eprints.uny.ac.id/8387/3/BAB%202-06201244038.pdf diunduh pada tanggal 29 Maret 2015 pukul 3 52 WIB
http://etd.ugm.ac.id/index.php?...322953...S2-2013-322953-chapter1...2013 diunduh pada tanggal 30 Maret 2015 pukul 9 51 WIB
Pidri Esha @ https://www.facebook.com/groups/bk2ci/doc/215251351874667/ dari Grup BERMAIN KATA KATA CINTA dan YPRSI. 2000. MATA mbeling JEIHAN. Bandung: Grasindo Pada : 15 Oktober 2011 pukul 0:21 PAGI.Melalui : Uthman Hapidzuin @ http://othmanhapidzuin.blogspot.com/2012/06/pengertian-puisi-mbeling.html