Jumat, 26 September 2014

GEMPAR LOMBA SEMARAK BULAN BAHASA 2014

 SEMARAK BULAN BAHASA 2014
Sehubungan dengan akan datangnya Bulan Bahasa kami dari Himpunan Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten. Bermaksud untuk mengajak teman-teman, kakak, adik, ibu/bapak semua untuk bergabung menyalurkan bakat di ajang perlombaan Semarak Bulan Bahasa 2014. Terdapat beberapa lomba mengenai Kebahasaan dan Sastra di antaranya: Cipta puisi (Nasional), Cipta Cerpen (Nasional), Debat Bahasa (se-Banten), Musikalisasi Puisi (se-Banten, se-Jabodetabek), Monolog (se-Banten, se-Jabodetabek), Pidato (Nasional), Baca Puisi (Nasional), Baca Berita (se-Banten), dan beberapa lomba lainnya. Yang akan diikuti oleh pelajar SMP/SMA, Mahasiswa dan Umum. Informasi lomba hubungi (Lilah: 083876006708) atau bisa membuka link (himadiksatuntirta.blogspot.com)
 PENDAFTARAN DIPERPANJANG SAMPAI TANGGAL 2 OKTOBER LOOOOH!!!! AYOOO BURUAAN





Selasa, 05 November 2013

Inspirasi Film Sang Penari dari Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari


Sebuah film yang terinspirasi dari sebuah novel karya Ahmad Tohari ini harus diperhitungkan dalam industri per-filman di Indonesia. Sebab, film ini mampu mengangkat cerita cinta dalam balutan kisah mengenai carut marut dunia politik yang pernah terjadi di Indonesia dan kehidupan sebuah dusun yang selalu didera kemiskinan dan kekeringan. Ifa Isfansyah (Sutradara Film Sang Penari) mengaku filmnya terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk tapi bukan adaptasi dari novel tersebut. Karena, yang saya tahu penulis novel memang menyarankan agar novelnya hanya menjadi inspirasi saja dan untuk membebaskan sutradara dalam berimajinasi di filmnya tersebut.
Semula saya berfikir film yang terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk ini ceritanya tidak jauh berbeda dengan novelnya. Ternyata, apa yang saya pikirkan salah. Cerita dari film Sang Penari sangat jauh berbeda dengan novelnya. Sutradara memang lebih membuka imajinasinya tentang novel tersebut dengan lebih luas dan lebih bebas menceritakannya kembali. Tetapi dapat saya akui, secara isi unsur cerita dari film Sang Penari secara keseluruhan adalah unsur cerita dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karena dalam cerita Sang Penari, tokoh yang dipakai masih sama dengan tokoh yang ada di novel dan latar tempat ceritanya pun masih sama seperti misalnya nama dusun Dukuh Paruk dan Pasar Dauwan.
Namun, banyak juga cerita-cerita yang berubah dan sedikit ditambah-tambahkan di dalam filmnya. Seperti di awal film misalnya, usia Srintil pada saat Srintil dinobatkan menjadi seorang ronggeng yang berbeda dengan cerita di novelnya, hadirnya tokoh Surti dalam film yang menjadi ronggeng sebelum Srintil yang dalam novel sama sekali tidak ada cerita mengenai ronggeng Surti, dan masih ada beberapa cerita lain yang diubah dalam film ini. Sekalipun banyak terjadi perubahan cerita dalam filmnya, Sang Penari tidak bisa begitu saja dilepaskan dari Ronggeng Dukuh Paruk karena memang sejauh unsur cerita yang terlihat memang masih memiliki satu ikatan atau satu alur tersendiri.
Banyak unsur yang terdapat dalam novel ini seperti misalnya kemiskinan, kekeringan, sejarah sosial-politik Indonesia, relativitas nilai-nilai kultural dan moral, modernitas, tradisionalitas dan unsur-unsur lain yang lebih kecil yang ikut menyatu dan memadatkan isi cerita novel. Namun, dari sekian banyak unsur yang menurut saya lebih banyak terdapat dalam novel ini adalah unsur tentang cinta. Bagaimana kisah cinta Srintil dibahas secara mendalam di dalam novel ini, penulis mampu membuat cerita dengan latar percintaan ini dengan membuat pembaca masuk dan ikut bergejolak dalam kisah cinta tersebut. Banyak hal-hal yang dirasakan Srintil dan mampu mengajak saya untuk bisa merasakannya juga karena terbawa oleh arus permainan kata yang digunakan oleh penulis.
Sama halnya dengan film Sang Penari yang saya rasa, sutradara terlalu berlebihan dalam memasukan unsur percintaan ke dalam filmnya, sehingga unsur-unsur lain seperti kebudayaan, politik, sosial, moral, dan unsur lainnya yang sangat dalam dibahas dalam novel sedikit terabaikan. Padahal jika unsur-unsur tersebut tidak hanya dipakai sebagai hiasan saja, akan memperkuat unsur cerita dalam film tersebut terutama unsur kebudayaan dan politiknya.
Sebetulnya sempat terbayang oleh saya bagaimana kehidupan di Dukuh Paruk yang selalu dikelilingi kemiskinan dan didera kekeringan, rasa iba terhadap warga Dukuh Paruk dapat saya rasakan ketika membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tetapi, ketika saya menonton filmnya, sangat berbeda dengan profil Dukuh Paruk yang digadang-gadang serba kekeringan itu ketika saya melihat bagian yang menurut saya hampir sama dengan cerita di novel, namun maknanya terpatahkan begitu saja hanya karena satu hal. Misalnya dibagian yang satu ini, pada saat bocah Dukuh Paruk yang sedang mencuri singkong di ladang, dengan mudahnya bocah-bocah tersebut mencabut singkong yang tertanam pada tanah yang baru saja diguyur hujan. Padahal pada konteksnya Dukuh Paruk adalah desa yang serba kekeringan dan hal itu terpatahkan karena cerita film pada bagian tersebut.
Tetapi ada bagian di film yang menurut saya patut mendapat pujian, keberanian sutradara menampilkan drama politik yang ada dalam dusun itu patut diacungi jempol, padahal dalam novel yang dituliskan oleh Ahmad Tohari ini tidak begitu berani menceritakan mengenai pembunuhan orang-orang komunis PKI oleh tentara. Dan menceritakan bagaimana ada orang yang dibunuh dan mayatnya mengambang di sungai. Tentunya terdapat juga keberanian Ahmad Tohari dalam bercerita, sekalipun hanya menggunakan simbol, tetapi saya dapat menangkap makna dari simbol tersebut. Seperti misalnya, ketika Sakarya mendapati makam Ki Secamenggala diporak porandakan oleh orang yang mereka fikir adalah orang-orang dari PKI, tiba-tiba ada seseorang yang datang dengan membawa caping hijau. Di sanalah keberanian Ahmad Tohari yang dengan simbolnya “caping hijau”, yang saya tahu warna hijau itu identik dengan atribut kelompok NU, kelompok agama terbesar yang diperintahkan oleh militer untuk membasmi anggota PKI. Kelompok NU tidak sepenuhnya menjadi pelaku dalam cerita ini, mereka juga menjadi korban karena mereka diperdaya oleh militer agar mau membasmi anggota PKI. Dengan menggunakan simbol “caping hijau” secara berani Ahmad Tohari membentangkan pedoman lain selain kemiliteran dan komunis, yaitu kelompok keagamaan.
Berbanding terbalik dengan keberanian Ahmad Tohari, Isfansyah yang masih belum berani mengungkap simbol yang dituliskan oleh Ahmad Tohari terlihat ketika Bakar (Lukman Sardi) yang sedang berdiri di samping reruntuhan makam Ki Secamenggala pada malam hari, ketika itu Bakar menunjukkan caping namun warnanya disamarkan. Bisa jadi hal tersebut sengaja dibuat oleh sutradara karena memang sutradara yang masih takut menerima reaksi dari kelompok NU.
Pada akhir cerita dalam novel, Ahmad Tohari menunjukkan anti-klimaks pada ceritanya tersebut. Terlihat ketika bagaimana kehancuran Dukuh Paruk yang dianggap sebagai pedukuhan cabul dan komunis yang menyebabkan para pelaku ronggeng dipenjarakan selama dua tahun lamanya. Dengan bertahap Ahmad Tohari menceritakan kisah Srintil setelah keluar dari penjara yang akhirnya Srintil mengalami gangguan kejiwaan akibat kekecewaannya terhadap Bajus, lelaki yang berjanji akan menikahinya namun ia malah menjual Srintil kepada lelaki hidung belang demi mendapat penghasilan untuk Bajus. Sebelum Srintil mengalami gangguang kejiwaan diceritakan bahwa Srintil ingin membebaskan dirinya dari segala hal yang berhubungan dari ronggeng. Tetapi diakhir film, Srintil tiba-tiba muncul dengan Sakum dan kembali meronggeng dengan cerianya. Tanpa dijelaskan kemana perginya Sakarya dan Kertareja. Juga bagaimana bisa Srintil tiba-tiba kembali meronggeng dengan wajah cerianya. Terjadi perbedaan yang bertolak belakang di akhir cerita ini. Dalam novel, cerita berakhir dengan tragis dan menyedihkan tetapi di dalam film cerita berakhir dengan keceriaan dan keromantisan.

Kamis, 10 Oktober 2013

Persepsi Umar Kayam terhadap Wanita Jawa Sri Sumarah


Oleh Nur Kholilah

Pertemuan saya dengan karya-karya Umar Kayam bukanlah kali pertama, sebelumnya saya sudah pernah membaca dan menganalisis karya Umar Kayam dalam buku kumpulan cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Di dalamnya terdapat 10 cerpen yang menurut saya, sebagian cerita yang Umar Kayam sampaikan dalam buku kumpulan cerpennya itu menggambarkan bentukan suasana tanpa cerita sebenarnya, namun jalan ceritanya tetap mudah dipahami. Tetapi lain halnya dengan cerpen Sri Sumarah ini, Kayam seolah ingin memuncukan hal baru yang ada dalam pikirannya. Mengenai persepsi dan penilaiannya tentang wanita jawa pada umumnya. Berbeda dengan cerpen sebelumnya, kali ini Kayam lebih menceritakan satu tokoh yang sangat berperan dalam jalannya cerita yang Kayam buat.
Sri Sumarah yang Kayam tampilkan dalam ceritanya menampikan nuansa Jawa yang terdapat pada makna dari nama tersebut. Dalam ceritanya sendiri Kayam menjelaskan bahwa Sumarah berarti pasrah dan menyerah. Sri dituntut menjadi tokoh yang selalu berpasrah diri dan menyerah terhadap takdir yang datag padanya. Sebuah peajaran hidup yang cukup berarti bagi saya. Karena memang dalam hidup ini kita diharuskan untuk selalu berpasrah diri setelah kita berusaha.
Cerpen ini cukup panjang dan konflik yang dihadirkan dalam cerita ini pun cukup beragam sehingga tak heran kalau banyak yang menyebut cerpen ini sebagai Novelet (Novel Pendek).
Kisah Sri Sumarah dalam Cerpen dengan Realita
Hidup bersama sang nenek dan dituntut untuk selalu pasrah dan menyerah. Itulah Sri seorang wanita Jawa yang selalu memahami takdir dengan apa adanya tanpa menuntut sedikitpun. Sosok Sri memang tidak jauh berbeda dengan wanita Jawa pada umumnya. Kisah yang menceritakan sebuah kehidupan manusia yang perjalanannya berjalan hingga berbeda zaman. Sri kecil adalah gambaran seorang wanita Jawa yang selalu menaati perintah orang tua dan menjadikannya untuk menikah muda. Memang di zamannya ketika itu, wanita seumuran Sri sudah pantas untuk menikah. Hingga saatnya Sri melahirkan dan mempunyai anak. Terlihat sudah bagaimana perubahan karakter cerita di dalamnya namun tokoh utamanya masih ditujukan untuk Sri. Ketika Sri memiliki anak, mulai timbul kutur baru di dalam cerita itu. Bagaimana kayam mencoba bercerita sesuai dengan relaita zaman sekarang. Kayam memunculkan Tun sebagai anak Sri, sekaligus gambaran dari seorang wanita Jawa yang sudah tercampur kultur luar.
Tun yang semula amat patuh pada kultur budayanya. Mulai tergoyahkan ketika Tun belajar di Kota yang berbeda kultur dengannya. Gambaran seorang wanita muda yang masih bisa terbawa arus zaman. Terombang-ambing oleh zaman yang pada akhirnya ia sendiri yang menjadi korbannya. Karakter Sri sebagai seorang ibu yang teguh dengan prinsipnya lagi-lagi menjadikan Sri sebagai idola dalam cerita ini. Sri tidak marah pada hidupnya sekalipun takdir sudah membuat hancur kehidupannya. Sri selalu memandang segala hal menjadi positif dengan prinsip yang telah Sri miliki. Sri tetap menjalankan segala hal dengan sumarah. Pandangan Sri terhadap masalah yang muncul dalam hidupnya bukanlah pandangan yang membuat ia menyesali hidupnya saat itu, Sri justu malah memandang segala masalah yang hadir dalam hidupnya sebagai keuntungannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sebuah pelajaran berharga dari Sri, yang membuat saya menjadi bersyukur atas apa yang telah saya miliki. Menuntut saya juga harus memandang segala takdir kehidupan dengan hal positif. Karena dengan memandang semua hal dengan positif kita akan mampu menjadikannya lebih indah dari sebelumnya.
Itulah Umar Kayam
Pemilihan bahasa yang Kayam tampilkan memperkuat ceritanya yang berunsur Jawa, tokohnya dalam berdialog selalu menyisipkan bahasa-bahasa Jawa. Namun menurut saya, biasanya dalam cerpen itu hanya memiliki satu konflik. Tetapi berbeda halnya dengan cerpen yang satu ini, Kayam menampilkan beberapa masalah dan dalam penyelesaian masalah satu ke masalah lain sangatlah cepat membuat cerita itu tidak begitu menarik hanya saja mudah dimengerti. Munculnya beberapa masalah dalam cerpen itulah yang menurut saya membuat cerpen ini disebut sebagai Novelet.
Tetapi cerita yang Kayam sampaikan mampu membuat saya ikut merasakan pergolakan batin antara perjalanan Sri dalam menjalani kehidupannya, ataupun cara Sri dalam memahami kehidupannya. Sebagai wanita saya merasa iri terhadap sosok Sri yang cukup matang untuk menjadi seorang istri dan ibu yang mampu memahami karakter anaknya. Kayam betul-betul mampu membuat saya terbawa oleh arus cerita, membuat saya mampu merasakan ketegangan rasa ketika membacanya.
Sebuah cerita yang menampilkan realita kehidupan di zamannya dan zaman sekarang ini. sebuah cerita yang memiliki makna kehidupan yang sangat berarti. Itulah Umar Kayam yang mampu menulis dengan mengutamakan suasana dengan realitanya.

SELINTAS CERITA: SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER



Pantai Sawarna, tempat yang paling banyak dikenal dan disebut-sebut sebagai Bali-Nya Banten ini berada di daerah Banten bagian Selatan, dan memang sudah lama menjadi incaran para wisatawan untuk berlibur, termasuk incaran saya juga. Karena dari sejak lahir saya tinggal di Banten, belum pernah saya menginjakkan kaki di wilayah Banten bagian selatan ini. Rasa penasaran saya terhadap daerah ini cukup membuat saya menjadi seorang pengkhayal, jujur saja sampai saat ini saya masih saja belum berkesempatan untuk bisa datang ke tempat itu. Padahal saya mengaku sebagai warga Banten, anehnya belum pernah ke tempat itu. Kasihan sekali saya.
Sampai di sela-sela rasa penasaran saya, saya menemukan sebuah buku yang sudah cukup lama diterbitkan tetapi saya baru mengetahuinya. Buku yang menceritakan tentang penindasan yang ada di daerah Banten Selatan pada masanya. Yang tidak saya sangka, orang yang menulis buku itu bukan berasal dari daerah Banten. Dia adalah Pramoedya Ananta Toer yang lahir di Blora- Jawa Tengah dan hampir separuh hidupnya ia habiskan di dalam penjara. Pram memang seorang penulis yang bertangan dingin, terbukti dengan karya-karya yang telah ia ciptakan sekalipun ia bertahun-tahun tinggal di dalam penjara.
Dalam bukunya itu, Pram menceritakan, sebuah desa bagian Selatan yang di dalamnya terdapat banyak keluarga yang selalu ditindas oleh orang-orang yang merasa berada di atas mereka. Mereka dipukuli, dibunuhi, dan rumah mereka dibakari. Kehidupan mereka penuh dengan penindasan, dikelilingi rasa cemas, dan rasa takut yang selalu menggerayangi setiap harinya. Pak Lurah yang nyatanya masih sekelompok pemberontak DI dan orang yang selama ini mereka panggil sebagai Juragan ternyata adalah Residen dari pemberontak DI itu sendiri. Kisah kehidupan masyarakat wilayah Banten bagian Selatan ini cukup membuat hati saya iba. Terlepas dari itu, saya jadi membayangkan bagaimana para pejuang di masa itu memperjuangkan kedamaian dan ketentraman di wilayah mereka sendiri. Bagaimana perjuangan mereka sampai-sampai mereka lupa memikirkan keselamatan dan kesehatan jiwanya sendiri demi memperjuangkan keselamatan banyak orang dan anak cucunya. Sungguh mulianya mereka. Tetapi sebelum saya lebih jauh membahas mengenai perjuangan para pejuang, saya akan sedikit menceritakan hasil bacaan saya. Novel ini telah berhasil membawa saya berpikir ke belakang, membuat saya mensyukuri segala yang telah saya miliki saat ini.
Perjuangan Ranta melawan segala bentuk penindasan
Ranta dan Ireng adalah sepasang suami istri yang menghuni gubuk sederhana dalam kondisi serba kekurangan. Ranta selalu diperintah paksa oleh Juragan Musa dengan dijanjikan imbalan yang tinggi, namun ternyata tidak seperti yang diharapkan, Ranta malah dipukuli dan disiksa habis-habisan. Berkali-kali Ranta diperlakukan tidak manusiawi seperti itu, akhinya Ranta mulai bosan dan ingin melawan Juragan. Ranta mulai berpikir untuk melawan Juragan ketika nanti Juragan berkunjung kembali ke rumahnya.
Perlawanan Ranta dan dua orang pemikul singkong yang mampir ke rumahnya beberapa hari yang lalu membuahkan hasil, Juragan akhirnya ditangkap oleh Komandan atas perbuatannya, setelah ia berkali-kali memncoba mengingkari berbagai fakta dan bukti bahwa dia terlibat dalam kelompok Darul Islam (DI). Nyonya pun harus menerima kenyataan ditinggalkan Juragan yang ditangkap OKD tersebut, bahkan dia harus mengalami nasib yang kurang baik setelah ditinggalkan Juragan.
Ranta kemudian diangkat menjadi Lurah sementara di daerah Banten Selatan tersebut oleh Komandan yang menangkap Juragan Musa. Walaupun berpendidikan rendah, namun Ranta dipercaya oleh warga sekitar dan Komandan karena tekadnya yang kuat untuk melepaskan diri dari ketidakadilan dan dari segala penindasan. Bersama warga desa yang mempercayainya, Ranta dibantu Komandan untuk membangun dan menata kembali tempat tinggal mereka yang sempat luluh lantak akibat dari perbuatan pemberontak DI, menjadi tempat yang lebih nyaman dan bisa berkembang untuk kelangsungan hidup mereka.
Setelah merasa tidak ada ancaman lagi dari pemberontak DI, warga dibantu pak Lurah Ranta dan Komandan bersama-sama bergotong-royong, untuk menata kembali desa mereka. Warga desa di Banten Selatan ini harus benar-benar berpikir keras dan mengerahkan semua tenaga mereka untuk menata kembali wilayah mereka. Karena daerah Banten Selatan ini kaya akan sumber daya alam, warga setempat mengandalkan sumber daya alam yang terdapat di desa itu untuk kelangsungan hidup saat ini dan juga untuk ke depannya. Maka dari itu, mereka berusaha untuk tidak menyia-nyiakan sedikitpun sumber daya yang ada.
Nyonya yang sudah mulai menyadari sikap salah suaminya, berusaha mencoba membayar kesalahan itu dengan mengusulkan untuk ia mengajari warga baca tulis. Karena Nyonya merasa mampu untuk membantu ikut serta dalam membangung desa itu. Walau sempat terjadi pro-kontra antar warga terhadap usulan Nyonya. Tetapi pada akhirnya mereka menyetujui untuk belajar baca tulis bersama Nyonya. Karena warga juga menyadari bahwa mereka memang harus meningkatkan kemampuan agar menjadi manusia yang lebih berkualitas. Dan satu lagi pelajaran yang dapat mereka petik dari keberhasilan mereka melawan pemberotak DI, yaitu semangat untuk bersatu, bergotong-royong, dan menjaga wilayah mereka sendiri untuk menaklukkan segala ancaman yang datang.
Pramoedya Ananta Toer dengan Banten Selatan
Cara pandang Pram terhadap wilayah Banten Selatan ini cukup baik. Pram mengakui bahwa buku ini tercipta memang hasil dari kunjungannya ke Banten Selatan di tahun 1957. Di desa itu ia melihat berbagai perpaduan alam yang indah, sumber daya yang begitu kaya, dengan warga yang menempati wilayah itu tidak begitu banyak tetapi kesejahteraan hidup yang masih kurang membuat Pram ingin menyumbangkan pikirannya agar pikirannya itu bisa mempunyai arti yang konstruktif. Cerita ini terbentuk bukan serta merta dari pendapat dan apa yang dipikirkan oleh Pram sendiri, tetapi hasil dari obrolan-obrolan Pram dengan orang-orang yang ia temui di daerah Banten Selatan, orang-orang itu cukup mengenal daerah Banten Selatan, yang juga ikut merasakan suka duka yang mereka rasakan dan mereka alami selama tinggal di daerah Banten Selatan. Maka dari itu, tidak heran jika lattar tempat dan suasana yang Pram tulis dalam ceritanya bisa membawa kita para pembaca terbawa ke dalam alur suasana cerita tersebut. Namun, Pram sendiri juga mengakui bahwa tidak seluruh cerita yang ia tuliskan dalam buku tersebut adalah cakupan keseluruhan dari cerita-cerita yang ada di daerah Banten Selatan, ada beberapa cerita yang memang tidak terjadi di daerah Banten Selatan. Tetapi pengakuan Pram tersebut tidak mampu mematahkan kualitas Pram dalam menulis sebuah cerita. Justru dari situlah kita dapat nilai sejauh mana kemampuan Pram dalam mengembangkan tulisan dari cerita yang ia dapatkan tanpa merusak kesan nyata dari awal cerita tersebut.