“Cerpen Umar
Kayam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan
ini merupakan cerpen yang tidak berkisah. Tetapi disajikan dalam bentuk
suasana.”[1]Itulah
kalimat yang Korrie tuliskan dalam sebuah artikelnya. Korrie yang tertarik pada
cara penyajian yang disampaikan oleh Umar Kayam mencoba menganalisis beberapa
karya Umar Kayam. Korrie adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang berasal
dari Samarinda. Keahliannya dalam
membuat karya sastra memang sudah tidak diragukan lagi, karena terbukti dengan
penghargaan-penghargaan yang sudah ia dapatkan dalam menulis karya sastra.
Umar Kayam termasuk salah satu sastrawan
yang dimiliki Indonesia. Kumpulan cerita pendeknya telah dimuat ke dalam buku
yang berjudul “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, buku tersebut merupakan buku
kumpulan cerita pendek Umar Kayam yang
pertama. Awal ketertarikan Korrie terhadap cerpen karya Umar Kayam itu,
ketika Korrie melihat karya Umar Kayam dari segi penyajiannya. Penyajian Umar
Kayam yang menurutnya cukup unik. Karena sebagian besar cerpen karya Umar Kayam
disajikan dalam bentuk suasana, tanpa cerita yang sebenarnya, namun masih dalam
kaidah konvensional. Karena menurut Korrie, bentuk semacam itu baru dalam
sastra Indonesia yang biasanya cerpen Indonesia selalu menyajikan tokoh dan
peran tokoh sangat besar sekali. Lalu tokoh itu dijadikan sebagai pahlawan
kecil yang menentukan berhasil tidaknya sebuah cerita. Di sisi lain, ada juga
cerpen yang mengutamakan kisahnya, dan tentunya kisah itu harus mengesankan,
agar ia tidak menjadi dunia mistik. Seperti yang terdapat dalam beberapa cerpen
kebanyakan yang biasanya menjadikan tokoh-tokoh dari cerpen yang serba mungkin,
yang jika kita pikir ulang, hal tersebut terkadang tidak mungkin bisa dilakukan
atau terjadi dalam kehidupan nyata. Sedangkan pada karya Umar Kayam,
tokoh-tokohnya adalah manusia nyata.
Saya mengambil satu contoh analisis
Korrie mengenai cerpen Umar Kayam yang berjudul “Seribu Kunang-Kunang di
Manhatam”, seperti yang telah dikatakan oleh Korrie di atas, memang hampir
semua cerpen dalam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” ini tersaji dalam suasana yang mengabaikan plot. Cerita dimulai dan
berakhir dalam suasana saat itu juga. Dan suasana yang disajikannya biasa-biasa
saja dengan nada cerita yang biasa dan ringan, tanpa kehendak untuk membebani
kisahnya dengan kalimat-kalimat serta kata-kata yang gagah. Namun, dalam
kesederhanaan dan hal-hal yang biasa ini tersaji, inti dasar cerita yang
menyajikan arti kehadiran manusia bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain
sebagai teman hidupnya. Yang jelas sekali terlihat dalam cerpen “Seribu
Kunang-Kunang di Manhattan”, berkisah tentang manusia yang tidak berkepentingan
dan menyendiri. Dalam sebuah artikel Korrie menggambarkan kisah cerpen itu,
kisah yang lebih menekankan manusia yang serba terasing dan tergencet oleh
suatu situasi dan suatu suasana tertentu. Keterasingannya ini bisa disebabkan
oleh kenyataan bahwa tokoh-tokohnya terlalu mementingkan diri sendiri, bisa
karena mereka tidak mungkin saling menerima karena perbedaan kultur yang tegas.
Menurut saya, perbedaan kultur yang tegas itu bisa terlihat dari tokoh utamanya
yaitu Jane dan Marno yang berperan sebagai sepasang kekasih yang nampak
terlihat sebagai lambang antara Timur dan Barat. Nama ‘Jane’ yang biasanya identik
dengan ke Baratannya dan begitupun nama ‘Marno’ yang sangat identik dengan ke
Timurannya. Sedangkan dari sisi lain
kulturnya, Korrie melihat pada latar belakang Jane dan Marno. Jane yang
memiliki kenang-kenangan terhadap Uncle Tom, boneka yang sangat disenanginya.
Sedangkan Marno, memiliki kenang-kenangan terhadap si Jlamprang. Kerbau kakeknya.
“Mainan jang
selalu kau kasihi hingga kemana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak
ingat lagi Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar aku suka main-main dengan
kerbau kakekku, si-Djlamprang.”
“Itu bukan
mainan, itu piaraan.”
“Piaraan
bukankah untuk mainan djuga?”
“Tidak selalu.
Mainan jang paling aku kasihi dulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka
hitam yang djelek sekali rupanja. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila
Uncle Tom tidak ada di sampingku”. (Umar Kayam, 1972:13).
Latar belakang
yang berbeda itulah yang membawa persepsi berbeda dalam menanggapi hidup dan
kehidupan. Namun menurut Korrie, di situlah letak keunikan ceritanya. Karena
walaupun begitu, pada akhirnya mereka bertemu, saling berkasih-kasihan,
keduanya berlarut begitu saja seiring dengan berjalannya arus waktu. Dalam
seketika mereka seperti terdampar di sebuah dunia yang asing, dari waktu
kenyataan kemanusiaan yang begitu menyakitkan dan penuh dengan kehampaan.
Jika kita lihat
dari apa yang disimpulkan oleh Korrie terhadap cerpen tersebut, Korrie lebih
melihat cerpen itu dari sisi kebudayaan dan emosi kejiwaan tokoh tersebut. Hal
tersebut itulah yang membuat Korrie tertarik pada karya sastrawan yang satu ini
(Umar Kayam). Karena ketika saya pandang dari kehidupan Korrie yang penuh
dengan kultur budaya Dayak. Dalam prosesnya untuk menjadi seorang sastrawan pun
bukan serta-merta tarjadi begitu saja dan kemudian matang. Tetapi terdapat
semacam tahapan perkembangan yang sebagaimana lazimnya. Seperti Korrie yang
berangkat dari kultur Dayaknya dan menjadikan Dayak sebagai titik
keberangkatannya menjadi seorang sastrawan.
Bila kita amati
lebih mendalam lagi, cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku “Seribu
Kunang-Kunang di Manhattam” itu
berlatar di New York, kota di mana Kayam pernah tinggal, yang mencerminkan
kehidupan modern di kota itu. Bisa kita simpulkan bahwa sebagian cerpen yang
Kayam buat adalah hasil dari pengalaman, pengamatan, perenungan, penataan, dan
harapan.
Sedikit berbeda
dengan pandangan Korrie, saya melihat dalam cerpen ini terdapat cerita tentang
keinginan seorang wanita untuk mencecap persetubuhan badani. Jane yang
kesepian, karena sudah berpisah dengan suaminya Tomy, yang seketika itu hasrat
seksnya bangkit ketika sedang berdua dengan Marno. Ini bisa kita lihat dari
tingkah laku maupun perkataannya.
Jane merebahkan
badannja di sofa, matanja di pedjamkan, tapi kakinja disepak-sepakkannja ke
atas. Lirih-lirih dia mulai menjaji – deep blue sea, baby, deep blue sea, deep
blue sea, baby deep blue sea….
“Pernahkah kau
punja keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telandjang lalu
membiarkan badanmu tenggelam d-a-l-a-a-a-m sekali di dasar laut jang teduh itu,
tapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu jang tergeletak itu dari dalam
sebuah sampan?” (Umar Kayam, 1972:11).
Jane
memedjamkan matanja dengan dadanja lurus-lurus terlentang di sofa. Sebuah
bantal terletak di dadanja. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri
sebentar lalu duduk kembali di sofa.
“Marno kemarilah
duduk.”
“Kenapa?
Bukankah sedjak tadi sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah
duduk.” (Umar Kayam, 1972:12).
Dibukanya
bungkusan itu dan di bebernja pijama itu di dadanja.
“Kau suka
dengan pilihanku ini?”
“Ini pajama
jang tjantik, Jane.”
“Akan kau pakai
sadja malam ini. Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti dengan
pajama.” (Umar Kayam, 1972:14-15).
Jika kita
simpulkan kejadian itu seperti pernah dialami oleh Kayam. Sebab sebelum menjadi
cerita “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”,
pengalaman yang diterima si pengarang tentunya akan diolah terlebih dahulu.
Seperti unsur-unsur wawasan dan renungan, kenangan dan harapan, emosi, dan
penataan. Tentulah melingkupi pengalaman cerita itu. Maksud wawasan dan
renungan di cerpen ini kiranya akan terasa jelas apabila telah kita baca
berkali-kali, yaitu bahwa Umar Kayam tidak semata-mata mencurahkan pengalaman
yang didapat dalam cerpennya, melainkan perlu perenungan kembali. Tapi entah
bagaimana dan berapa lama Umar Kayam mesti merenung dan memberi wawasan,
tentunya kita tidak tahu dengan pasti. Sedangkan unsur kenangan dan harapan,
ini bisa lebih mudah untuk kita lihat. Unsur kenangan bisa kita lihat ketika
Jane ingat kepada Tommy, mantan suaminya. Jane ingat ketika Tommy yang pernah
mengajaknya ke Central Park Zoo.
“ Dalam
perkawinan kami jang satu tahun, delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy
pernah mengadjakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di
muka kandang kera. Tommy bilang chimpanse adalah kera jang paling dekat pada
manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sardjana-sardjana sudah
membuat penjelidikan jang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap
menjangkalnja, karena, gorilla jang ada di muka kami mengingatkan aku kepada
pendjaga lift di kantor Tommy. Pernahkah aku tjeritakan hal ini kepadamu?” (Umar
Kayam, 1972:11-12).
Dalam kata di
atas menunjukkan bahwa terdapat unsur kenangan di dalam cerpen tersebut.
Sedangkan, unsur harapan tampak pada harapan Jane untuk berusaha mengajak Marno
menginap di apartemennya malam itu.
“ Aku harap kau
suka pilihanku.”
Dibukanya
bungkusan itu dan dibebernja pajama itu di dadanja.
“Kau suka
dengan pilihanku?”
“Ini pajama
jang tjantik Jane.”
“Akan kau pakai
sadja malam ini. Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti pajama.” (Umar
Kayam, 1972:15).
Dari
kalimat-kalimat di atas, kita bisa melihat harapan yang ada dalam benak Jane.
Jane yang sangat menginginkan Marno untuk menginap dimalam itu, sampai Jane
memberikan piyama baru untuk Marno pakai dimalam itu.
Namun, selain
hal-hal yang sudah saya sebutkan. Dalam cerpen itu terdapat nilai moral seorang
pria yang setia terhadap istrinya, walaupun pada saat itu ada wanita yang juga
ia cintai di hadapannya. Untuk hal ini saya setuju dengan pendapat Korrie,
bahwa pria (Marno) dalam cerita itu memiliki nilai moral dan keagamaan yang patut
dicontoh. Dalam kecintaannya terhadap Jane, Marno masih ingat kepada istrinya
dan Marno pun tak ingin menghianati istrinya. Marno masih ingat bahwa ia harus
bersih dan kembali pada kenyataan bahwa ia dipercayakan istrinya yang berada di
benua lain untuk tetap bersikap jujur, tidak akan menodai pernikahannya yang
sah. Sikap Marno itu patut dipuji karena ia bisa bersikap ketika Jane
memberikan tawaran itu kepadanya. Menurut Korrie, “Sebenarnya Marno bukanlah
moralis—dalam arti sesungguhnya—dan ia manusia biasa juga, tetapi latar
belakangnya memberi dampak yang positif terhadap petualangannya: terutama
petualangan fisiknya.”[2] Jika kita lihat dari pernyataan Korrie di atas
bisa ditangkap pada kalimat yang menunjukkan keragu-raguan Marno pada saat
Marno akan menerima piyama yang diberikan Jane.
Marno memandang
pijama jang ada di tangannja dengan keraguan.
“Jane.”
“Ja, sajang.”
“Eh, aku belum
tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banjak
kerdja?”
“Eh, tidak
seberapa sesungguhnja. Tjuma…. Tak tahulah….” (Umar Kayam, 1972:15).
Dialog-dialog
antara Jane dan Marno mengesankan suatu keragu-raguan, kehampaan jiwa, kehampaan
nilai-nilai spiritual. Manusia yang tergencet oleh situasi kota yang serba
fisik, serba ketubuhan, dan karenanya kering dari nilai-nilai rohani. Dialog
itu dilakukan secara intensif, sehingga cerita berjalan dalam suasana, tanpa
cerita yang sebenarnya, ceritanya yang menurut kaidah konvensional. Tetapi
sebenarnya Umar Kayam tetap menyajikan cerita yang memiliki makna tersendiri.
Dari situlah keunikan cerita pendek Umar Kayam menurut Korrie. Dari situ
jugalah ketertarikan Korrie kepada cerita-cerita yang dibuat oleh Umar Kayam.
Dari uraian
yang telah saya sampaikan di atas, kita bisa menyimpulkan keseluruhannya.
Korrie menyukai karya Umar Kayam karena penyajiannya yang menurutnya unik dan
jarang ada penulis yang membuat karya dengan penyajian yang berbeda seperti
peyajian yang Umar Kayam buat. Umar Kayam sendiri, dalam membuat cerpen, ia
menerima pengalaman terlebih dahulu. Dan pengalaman itu setelah diberi wawasan
dan renungan, kenangan dan harapan, barulah berwujud menjadi sebuah cerpen yang
memiliki nilai moral dan keagamaan tersebut. Dan lewat dari cerpen itu, yang
berlatar belakang di Amerika, New York. Sedikit banyak memberi informasi segar
bagi si pembaca. Bagaimana kehidupan di New York setiap harinya, dan bagaimana
kebiasaannya. Dan yang terpenting, untuk mengarang sebuah cerpen, ternyata bagi
Umar Kayam tidak sekali jadi, melainkan perlu proses penataan yang cukup jeli
juga perenungan dan pengalaman yang
cukup luas.
DAFTAR PUSTAKA
Kayam, Umar.1972.Seribu Kunang2 di Manhattan.Jakarta:
Pustaka Jaya.
Rampan, Korrie
Layun.”Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan,”Pelita, 8 Desember, 1981, hal. 5.