Minggu, 14 Juli 2013

Ketertarikan Korrie terhadap Karya Umar Kayam : “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”


“Cerpen Umar Kayam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini merupakan cerpen yang tidak berkisah. Tetapi disajikan dalam bentuk suasana.”[1]Itulah kalimat yang Korrie tuliskan dalam sebuah artikelnya. Korrie yang tertarik pada cara penyajian yang disampaikan oleh Umar Kayam mencoba menganalisis beberapa karya Umar Kayam. Korrie adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang berasal dari Samarinda. Keahliannya dalam membuat karya sastra memang sudah tidak diragukan lagi, karena terbukti dengan penghargaan-penghargaan yang sudah ia dapatkan dalam menulis karya sastra.
Umar Kayam termasuk salah satu sastrawan yang dimiliki Indonesia. Kumpulan cerita pendeknya telah dimuat ke dalam buku yang berjudul “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, buku tersebut merupakan buku kumpulan cerita pendek Umar Kayam yang  pertama. Awal ketertarikan Korrie terhadap cerpen karya Umar Kayam itu, ketika Korrie melihat karya Umar Kayam dari segi penyajiannya. Penyajian Umar Kayam yang menurutnya cukup unik. Karena sebagian besar cerpen karya Umar Kayam disajikan dalam bentuk suasana, tanpa cerita yang sebenarnya, namun masih dalam kaidah konvensional. Karena menurut Korrie, bentuk semacam itu baru dalam sastra Indonesia yang biasanya cerpen Indonesia selalu menyajikan tokoh dan peran tokoh sangat besar sekali. Lalu tokoh itu dijadikan sebagai pahlawan kecil yang menentukan berhasil tidaknya sebuah cerita. Di sisi lain, ada juga cerpen yang mengutamakan kisahnya, dan tentunya kisah itu harus mengesankan, agar ia tidak menjadi dunia mistik. Seperti yang terdapat dalam beberapa cerpen kebanyakan yang biasanya menjadikan tokoh-tokoh dari cerpen yang serba mungkin, yang jika kita pikir ulang, hal tersebut terkadang tidak mungkin bisa dilakukan atau terjadi dalam kehidupan nyata. Sedangkan pada karya Umar Kayam, tokoh-tokohnya adalah manusia nyata.
Saya mengambil satu contoh analisis Korrie mengenai cerpen Umar Kayam yang berjudul “Seribu Kunang-Kunang di Manhatam”, seperti yang telah dikatakan oleh Korrie di atas, memang hampir semua cerpen dalam “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” ini tersaji dalam suasana yang mengabaikan plot. Cerita dimulai dan berakhir dalam suasana saat itu juga. Dan suasana yang disajikannya biasa-biasa saja dengan nada cerita yang biasa dan ringan, tanpa kehendak untuk membebani kisahnya dengan kalimat-kalimat serta kata-kata yang gagah. Namun, dalam kesederhanaan dan hal-hal yang biasa ini tersaji, inti dasar cerita yang menyajikan arti kehadiran manusia bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain sebagai teman hidupnya. Yang jelas sekali terlihat dalam cerpen “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, berkisah tentang manusia yang tidak berkepentingan dan menyendiri. Dalam sebuah artikel Korrie menggambarkan kisah cerpen itu, kisah yang lebih menekankan manusia yang serba terasing dan tergencet oleh suatu situasi dan suatu suasana tertentu. Keterasingannya ini bisa disebabkan oleh kenyataan bahwa tokoh-tokohnya terlalu mementingkan diri sendiri, bisa karena mereka tidak mungkin saling menerima karena perbedaan kultur yang tegas. Menurut saya, perbedaan kultur yang tegas itu bisa terlihat dari tokoh utamanya yaitu Jane dan Marno yang berperan sebagai sepasang kekasih yang nampak terlihat sebagai lambang antara Timur dan Barat. Nama ‘Jane’ yang biasanya identik dengan ke Baratannya dan begitupun nama ‘Marno’ yang sangat identik dengan ke Timurannya.  Sedangkan dari sisi lain kulturnya, Korrie melihat pada latar belakang Jane dan Marno. Jane yang memiliki kenang-kenangan terhadap Uncle Tom, boneka yang sangat disenanginya. Sedangkan Marno, memiliki kenang-kenangan terhadap si Jlamprang. Kerbau kakeknya.
“Mainan jang selalu kau kasihi hingga kemana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si-Djlamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan djuga?”
“Tidak selalu. Mainan jang paling aku kasihi dulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang djelek sekali rupanja. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku”. (Umar Kayam, 1972:13).
Latar belakang yang berbeda itulah yang membawa persepsi berbeda dalam menanggapi hidup dan kehidupan. Namun menurut Korrie, di situlah letak keunikan ceritanya. Karena walaupun begitu, pada akhirnya mereka bertemu, saling berkasih-kasihan, keduanya berlarut begitu saja seiring dengan berjalannya arus waktu. Dalam seketika mereka seperti terdampar di sebuah dunia yang asing, dari waktu kenyataan kemanusiaan yang begitu menyakitkan dan penuh dengan kehampaan.
Jika kita lihat dari apa yang disimpulkan oleh Korrie terhadap cerpen tersebut, Korrie lebih melihat cerpen itu dari sisi kebudayaan dan emosi kejiwaan tokoh tersebut. Hal tersebut itulah yang membuat Korrie tertarik pada karya sastrawan yang satu ini (Umar Kayam). Karena ketika saya pandang dari kehidupan Korrie yang penuh dengan kultur budaya Dayak. Dalam prosesnya untuk menjadi seorang sastrawan pun bukan serta-merta tarjadi begitu saja dan kemudian matang. Tetapi terdapat semacam tahapan perkembangan yang sebagaimana lazimnya. Seperti Korrie yang berangkat dari kultur Dayaknya dan menjadikan Dayak sebagai titik keberangkatannya menjadi seorang sastrawan.
Bila kita amati lebih mendalam lagi, cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku “Seribu Kunang-Kunang di Manhattam” itu berlatar di New York, kota di mana Kayam pernah tinggal, yang mencerminkan kehidupan modern di kota itu. Bisa kita simpulkan bahwa sebagian cerpen yang Kayam buat adalah hasil dari pengalaman, pengamatan, perenungan, penataan, dan harapan.
Sedikit berbeda dengan pandangan Korrie, saya melihat dalam cerpen ini terdapat cerita tentang keinginan seorang wanita untuk mencecap persetubuhan badani. Jane yang kesepian, karena sudah berpisah dengan suaminya Tomy, yang seketika itu hasrat seksnya bangkit ketika sedang berdua dengan Marno. Ini bisa kita lihat dari tingkah laku maupun perkataannya.
Jane merebahkan badannja di sofa, matanja di pedjamkan, tapi kakinja disepak-sepakkannja ke atas. Lirih-lirih dia mulai menjaji – deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby deep blue sea….
“Pernahkah kau punja keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telandjang lalu membiarkan badanmu tenggelam d-a-l-a-a-a-m sekali di dasar laut jang teduh itu, tapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu jang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?” (Umar Kayam, 1972:11).
Jane memedjamkan matanja dengan dadanja lurus-lurus terlentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanja. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar lalu duduk kembali di sofa.
“Marno kemarilah duduk.”
“Kenapa? Bukankah sedjak tadi sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah duduk.” (Umar Kayam, 1972:12).
Dibukanya bungkusan itu dan di bebernja pijama itu di dadanja.
“Kau suka dengan pilihanku ini?”
“Ini pajama jang tjantik, Jane.”
“Akan kau pakai sadja malam ini. Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti dengan pajama.” (Umar Kayam, 1972:14-15).
Jika kita simpulkan kejadian itu seperti pernah dialami oleh Kayam. Sebab sebelum menjadi cerita “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”, pengalaman yang diterima si pengarang tentunya akan diolah terlebih dahulu. Seperti unsur-unsur wawasan dan renungan, kenangan dan harapan, emosi, dan penataan. Tentulah melingkupi pengalaman cerita itu. Maksud wawasan dan renungan di cerpen ini kiranya akan terasa jelas apabila telah kita baca berkali-kali, yaitu bahwa Umar Kayam tidak semata-mata mencurahkan pengalaman yang didapat dalam cerpennya, melainkan perlu perenungan kembali. Tapi entah bagaimana dan berapa lama Umar Kayam mesti merenung dan memberi wawasan, tentunya kita tidak tahu dengan pasti. Sedangkan unsur kenangan dan harapan, ini bisa lebih mudah untuk kita lihat. Unsur kenangan bisa kita lihat ketika Jane ingat kepada Tommy, mantan suaminya. Jane ingat ketika Tommy yang pernah mengajaknya ke Central Park Zoo.
“ Dalam perkawinan kami jang satu tahun, delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengadjakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpanse adalah kera jang paling dekat pada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sardjana-sardjana sudah membuat penjelidikan jang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menjangkalnja, karena, gorilla jang ada di muka kami mengingatkan aku kepada pendjaga lift di kantor Tommy. Pernahkah aku tjeritakan hal ini kepadamu?” (Umar Kayam, 1972:11-12).
Dalam kata di atas menunjukkan bahwa terdapat unsur kenangan di dalam cerpen tersebut. Sedangkan, unsur harapan tampak pada harapan Jane untuk berusaha mengajak Marno menginap di apartemennya malam itu.
“ Aku harap kau suka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibebernja pajama itu di dadanja.
“Kau suka dengan pilihanku?”
“Ini pajama jang tjantik Jane.”
“Akan kau pakai sadja malam ini. Aku kira sekarang sudah tjukup malam untuk berganti pajama.” (Umar Kayam, 1972:15).
Dari kalimat-kalimat di atas, kita bisa melihat harapan yang ada dalam benak Jane. Jane yang sangat menginginkan Marno untuk menginap dimalam itu, sampai Jane memberikan piyama baru untuk Marno pakai dimalam itu.
Namun, selain hal-hal yang sudah saya sebutkan. Dalam cerpen itu terdapat nilai moral seorang pria yang setia terhadap istrinya, walaupun pada saat itu ada wanita yang juga ia cintai di hadapannya. Untuk hal ini saya setuju dengan pendapat Korrie, bahwa pria (Marno) dalam cerita itu memiliki nilai moral dan keagamaan yang patut dicontoh. Dalam kecintaannya terhadap Jane, Marno masih ingat kepada istrinya dan Marno pun tak ingin menghianati istrinya. Marno masih ingat bahwa ia harus bersih dan kembali pada kenyataan bahwa ia dipercayakan istrinya yang berada di benua lain untuk tetap bersikap jujur, tidak akan menodai pernikahannya yang sah. Sikap Marno itu patut dipuji karena ia bisa bersikap ketika Jane memberikan tawaran itu kepadanya. Menurut Korrie, “Sebenarnya Marno bukanlah moralis—dalam arti sesungguhnya—dan ia manusia biasa juga, tetapi latar belakangnya memberi dampak yang positif terhadap petualangannya: terutama petualangan fisiknya.”[2]  Jika kita lihat dari pernyataan Korrie di atas bisa ditangkap pada kalimat yang menunjukkan keragu-raguan Marno pada saat Marno akan menerima piyama yang diberikan Jane.
Marno memandang pijama jang ada di tangannja dengan keraguan.
“Jane.”
“Ja, sajang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banjak kerdja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnja. Tjuma…. Tak tahulah….” (Umar Kayam, 1972:15).
Dialog-dialog antara Jane dan Marno mengesankan suatu keragu-raguan, kehampaan jiwa, kehampaan nilai-nilai spiritual. Manusia yang tergencet oleh situasi kota yang serba fisik, serba ketubuhan, dan karenanya kering dari nilai-nilai rohani. Dialog itu dilakukan secara intensif, sehingga cerita berjalan dalam suasana, tanpa cerita yang sebenarnya, ceritanya yang menurut kaidah konvensional. Tetapi sebenarnya Umar Kayam tetap menyajikan cerita yang memiliki makna tersendiri. Dari situlah keunikan cerita pendek Umar Kayam menurut Korrie. Dari situ jugalah ketertarikan Korrie kepada cerita-cerita yang dibuat oleh Umar Kayam.
Dari uraian yang telah saya sampaikan di atas, kita bisa menyimpulkan keseluruhannya. Korrie menyukai karya Umar Kayam karena penyajiannya yang menurutnya unik dan jarang ada penulis yang membuat karya dengan penyajian yang berbeda seperti peyajian yang Umar Kayam buat. Umar Kayam sendiri, dalam membuat cerpen, ia menerima pengalaman terlebih dahulu. Dan pengalaman itu setelah diberi wawasan dan renungan, kenangan dan harapan, barulah berwujud menjadi sebuah cerpen yang memiliki nilai moral dan keagamaan tersebut. Dan lewat dari cerpen itu, yang berlatar belakang di Amerika, New York. Sedikit banyak memberi informasi segar bagi si pembaca. Bagaimana kehidupan di New York setiap harinya, dan bagaimana kebiasaannya. Dan yang terpenting, untuk mengarang sebuah cerpen, ternyata bagi Umar Kayam tidak sekali jadi, melainkan perlu proses penataan yang cukup jeli juga perenungan dan pengalaman  yang cukup luas.


DAFTAR PUSTAKA
Kayam, Umar.1972.Seribu Kunang2 di Manhattan.Jakarta: Pustaka Jaya.
Rampan, Korrie Layun.”Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan,”Pelita, 8 Desember, 1981, hal. 5.


[1] Korrie Layun Rampan,”Umar Kayam: Seribu Kunang-Kunang di Manhattan,”Pelita, 8 Desember, 1981, hal 5.
[2] Ibid.

UJARAN DENGAN BAHASA, BUDAYA, DAN KEBIASAANNYA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Banyak orang yang menganggap pembelajaran suatu ujaran bahasa itu tidak penting dan hanya dipelajari sewaktu TK saja, yaitu ketika kita belajar mengucapkan bunyi bahasa. Bahkan karena asumsi tersebut, membuat sebagian pengguna bahasa tidak menganggapnya sebagai ilmu.  Padahal, setiap bunyi ujaran dalam suatu bahasa mempunyai fungsi tersendiri untuk membedakan arti. Sehingga orang disekitar kita seringkali menggunakan ujaran yang tidak begitu jelas dalam kehidupan sehari-harinya dan membuat makna ujaran tersebut menjadi ambigu.
Bahasa adalah kebiasaan. Itulah yang banyak orang awam ketahui mengenai bahasa. Kebiasaan yang membentuk suatu ujaran bahasa yang sering mereka pakai dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah, saya ingin membahas lebih lanjut mengenai bahasa ujaran dengan kebiasaan di masyarkat luas. Namun, pada kesempatan ini saya hanya ingin membahas satu bahasa saja. Yaitu bahasa sunda. Bahasa yang dipakai dalam lingkup sehari-hari saya. Karena menurut saya, terkadang bahasa daerah tersebut menjadi suatu penghambat ujaran dalam memelajari kelanjutan bahasa kedua. Misalnya, orang dengan logat sunda ketika ia berbicara dengan menggunakan bahasa Nasional (Bahasa Indonesia), cara ia berujar akan terbawa logat sundanya. Bahasa daerah tentu memiliki persamaan yang sinkronik dengan bahasa pokok. Dari hal itulah yang akan saya bahas lebih dalam.

1.2. RUMUSAN MASALAH
Ujaran seseorang tentu berkaitan dengan fonem-fonem bahasa. Yaitu, bagaimana suara vokoid dan kontoid yang akan keluar dari mulut seseorang yang kental dengan bahasa kedaerahannya dan apa pengaruhnya.   Namun, dalam bahasa daerah terdapat juga persamaan sinkronik antara bahasa daerah dengan bahasa pokok. Maka, dalam kesempatan ini saya akan membahas lebih lanjut mengenai:
a.       Bagaimana pengaruh  berbahasa kedua (bahasa Indonesia) seseorang yang kental dengan bahasa kedaerahannya (bahasa kedua)?
b.      Bagaimana mengatasi kesulitan atau hambatan itu?
1.3. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
a.       Mengetahui hambatan berujar bahasa pokok seseorang yang masih kental dengan logat kedaerahannya
b.      Mengetahui beberapa kata dalam bahasa Sunda yang bertransformasi ke dalam bahasa Indonesia






BAB II
PEMBAHASAN
2.1. LANDASAN TEORI
A.    Fonem
Fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi untuk membedakan makna. Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara mengetahui bahwa kesatuan bunyi terkecil tersebut berfungsi sebagai pembeda makna? Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah melakukan pembuktian secara empiris, yaitu dengan membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa yang diteliti. Dengan demikian, kalau kita ingin mengetahui fungsi bunyi bahasa Indonesia, misalnya, kita harus membandingkan bentuk-bentuk linguistik bahasa Indonesia.
B.     Bahasa dengan Budaya
Berbahasa, dalam arti berkomunikasi, dimulai dengan membuat enkode semantik dan enkode gramatikal di dalam otak pembicara, dilanjutkan dengan membuat enkode fonologi. Kemudian dilanjutkan denggan penyusunan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi di dalam otaknya. Dengan kata lain, berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan berbudayanya. Jadi, bisa kita  lihat berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia.


a)      Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humboldt, sarjana Jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikiran manusia kepada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain itu.
b)      Sapir-Whorf
Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah “belas kasih” bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat. Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili suatu masyarakat yang sama.
Setiap bahasa dari satu masyarakat yang telah “mendirikan” satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyaknya masyarakat manusia di dunia ini adalah sama banyaknya dengan jumlah bahasa yang ada di dunia ini. Dengan tegas Sapir juga mengatakan apa yang kita lihat, kita dengar, kita alami, dan kita perbuat sekarang ini adalah karena sifat-sifat (tabiat-tabiat) bahasa kita telah menggariskannya terlebih dahulu.
Sama halnya dengan Von Humboldt dan Sapir, Whorf juga menyatakan bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri. Menurut Whorf selanjutnya sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide-ide itu, merupakan program kegiatan mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang (Simanjuntak, 1987).
C.    Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang kanak-kanak memelajari bahasa kedua, setelah dia memeroleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga yang menggunakan istilah pemerolehan bahasa untuk bahasa kedua.
2.2. PEMBAHASAN
A.    Keterkaitan antara Bahasa, Budaya, dan Kebiasaan
Seperti yang telah saya paparkan di atas, bahwa berbahasa, berpikir, dan berbudaya adalah tiga hal atau tiga kegiatan yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia. Pemerolehan bahasa berlangsung dalam otak ketika masih kanak-kanak. Otak adalah sarana/tempat seseorang untuk berfikir. Maka dari itu, ketiganya saling berkaitan.
Kebanyakan masyarakat yang daerahnya menggunakan bahasa Sunda memberikan bahasa pertama kepada anaknya bahasa sunda. Dan hal itulah yang menyebabkan sebagian orang yang terbiasa berbahasa Sunda sedikit kesulitan untuk berbahasa Indonesia dengan baik. Bahkan tidak jarang menjadikan bahasa Indonesia itu sedikit aneh dengan logat kesundaannya saya di sini ingin sedikit memaparkan penyebab-penyebab terjadinya hal tersebut.
Karena bahasa Sunda adalah bahasa daerah maka bahasa tersebut bisa saya masukkan ke dalam kategori budaya, dan bahasa ujar (logat) bisa saya masukkan ke dalam kebiasaan. Di sinilah letak penyebabnya, dengan adanya budaya itu, orang tua mengajarkan kepada anaknya bahasa Sunda. Dengan kebiasaan dari kecilnya dan terbiasa juga mendengar bahasa sekitar, anak menjadi terbiasa pula berbahasa menggunakan logat yang sering ia dengar.
Pemerolehan bahasa kedua berkenaan dengan bahasa pertama. Biasanya anak yang sudah berbahasa daerah itu (bahasa Sunda) akan mendapatkan bahasa kedua dengan bahasa pokok (bahasa Indonesia). Bahasa pertamalah yang biasanya menjadi penghambat dalam seseorang belajar berbahasa kedua.
B.     Pengaruh Bahasa Pertama terhadap Proses Belajar Bahasa Kedua
Telah lama para ahli pengajaran bahasa kedua percaya bahwa bahasa pertama atau bahasa yang diperoleh sebelumnya, berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua seseorang. Bahkan, bahasa pertama telah lama dianggap sebagai pengganggu seseorang dalam menguasai bahasa kedua. Pendapat ini sangat kuat diikuti ketika masih ramainya para ahli mendukung teori stimulus respons yang melahirkan metode audiolingual.
Pandangan ini lahir karena secara disadari atau tidak, seseorang yang sedang belajar berbahasa melakukan transfer atau memindahkan unsur-unsur bahasa pertama ke dalam struktur bahasa kedua. Akibatnya, terjadilah apa yang disebut pergantian struktur dan kode-kode bahasa dari bahasa pertama terhadap bahasa kedua yang digunakannya. Bentuk pemindahan ini dapat berupa kesalahan atau errors, kesilapan, atau bisa dipandang sebagai adanya bentuk bahasa baru yang diciptakan sendiri oleh seseorang itu, yaitu bahasa antara. Bahasa antara ini dikenal dalam literatur pemerolehan bahasa sebagai interlanguage.
Jika struktur bahasa pertama sama atau mirip dengan bahasa kedua, seseorang akan lebih mudah mentransfernya. Jika kemungkinan terjadi transfer negatif yang pada akhirnya memungkinkan peristiwa interferensi, kesilapan, dan kesalahan.
Itulah sebabnya, semakin besar perbedaan struktur antara yang ada dalam bahasa pertama dengan yang ada dalam bahasa kedua, usaha yang harus dilakukan oleh seseorang dalam memeroleh dan menguasai bahasa kedua cenderung lebih berat dan sukar bila dibandingkan dengan apabila kedua bahasa itu memiliki banyak kesamaan. Demikian ide analisis kontrastif terhadap pengaruh bahasa pertama pada bahasa kedua.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa bahasa kedua berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Keadaan linguistik bahasa pertama penting artinya bagi usaha menentukan strategi pembelajaran yang diperkirakan efektif oleh peserta didik dalam rangka transferisasi. Belajar bahasa kedua adalah belajar mentransfer bahasa baru di atas bahasa yang sudah ada.
C.    Perbedaan Bahasa Pertama (Bahasa Indonesia) dengan Bahasa Kedua (Bahasa Sunda) dan Solusi untuk Mengatasinya
Dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua. Bahasa kedua itu bisa bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing. Di Indonesia pada umumnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua yang secara politis juga berstatus sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan.
Pengajaran bahasa kedua dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sosiolinguistik. Masalah ini mungkin tidak terlalu berat kalau kebetulan bahasa kedua yang dipelajari itu masih tergolong bahasa serumpun; tetapi akan merupakan masalah besar kalau bahasa kedua itu tidak serumpun dengan bahasa pertama. Lebih berat lagi kalau bahasa kedua itu memiliki struktur fonetis, morfologis, dan sintaksis yang sangat berbeda dengan bahasa pertama. Oleh karena itu masalah yang muncul dalam pengajaran bahasa kedua akan meliputi semua tataran bahasa.
Ada penutur yang menguasai bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya, tetapi ada juga yang tidak; bahkan ada yang hanya memiliki kemampuan bahasa kedua sanngat minim. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan karena tindak laku kedua bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan seperti ini disebut berkemampuan bahasa yang sejajar. Sedangkan yang kemampuan terhadap bahasa kedua jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap bahasa pertamanya disebut berkemampuan bahasa yang majemuk.
Sebagaimana anak-anak Indonesia lainnya, anak-anak yang berasal dari daerah Sunda memasuki pendidikan formal di sekolah dasar ketika mereka memasuki usia 6 atau 7 tahun, manakala mereka telah menguasai dengan baik pola-pola bahasa pertama mereka bahasa Sunda. Ada perbedaan yang cukup besar antara pola-pola bahasa Sunda dan pola-pola bahasa Indonesia. Perbedaan ini kadang-kadang menjadi penghambat proses belajar bahasa Indonesia, baik dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun leksikon.
Dalam bidang fonologi, suku kata terbuka bahasa Indonesia sering diucapkan dengan penambahan bunyi glotal /?/ atau bunyi geseran faringal /h/. contoh:
Ini Dani dilafalkan [ini? Dani?]
Ini ibu Teti dilafalkan [ini? ibu? Teti?]
Itu sepeda dilafalkan [itu sapeda]
Hatinya riang dilafalkan [hatinyah riang]
Dalam bidang morfologi, menurut Rusyana (1999) anak-anak Sunda sering membuat kesalahan karena pengaruh sistem morfologi bahasa Sunda. Perhatikan contoh-contoh kalimat berikut:
(1)   Kayu itu dibelahan.
(2)   Setelah bersih pakaiannya lalu dijemurkan.
(3)   Saya masuk lagi terus menuliskan pekerjaan rumah.
(4)   Adik saya leloncatan.
(5)   Anak itu ketiduran.
Kata dibelahan pada kalimat (1) adalah pengaruh bentuk kata Sunda dibeulahan dalam arti ‘dibelah-belah’ atau ‘dibelah beberapa kali’. Maka kalimat (1) itu harusnya berbunyi sebagai “kayu itu dibelah-belah” atau “kayu-kayu itu dibelah”.
Kata dijemurkan pada kalimat (2) terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk dipoekeun dalam arti ‘dijemur’. Maka, dalam kalimat (2) seharusnya berbunyi sebagai “setelah besih pakainnya itu dijemur”.
Kata menuliskan yang terdapat pada kalimat (3) tentunya terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk nuliskeun dalam arti ‘menuiskan sesuatu’. Jadi, dalam kalimat (3) itu seharusnya berbunyi sebagai “saya masuk lagi, lalu menulis perkerjaan rumah”.
Kata loloncatan pada kalimat (4) tentunya terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk luluncatan dalam arti ‘berloncat-loncatan’. Oleh karena itu, kalimat (4) itu seharusnya berbunyi sebagai “adik saya berloncat-loncatan”.
Lalu kata ketiduran yang terdapat pada kalimat (5) terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk kasarean dalan arti ‘tertidur’. Maka kalimat (5) itu seharusnya berbunyi sebagai kalimat “anak itu tertidur”.
Dalam bidang sintaksis banyak anak daerah Sunda membuat kalimat bahasa Indonesia dengan pola kalimat bahasa Sunda. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh-contoh berikut, dengan membandingkan kalimat bahasa Indonesia (a) yang dibuat anak-anak berasal dari daerah Sunda, kalimat (b) adalah kalimat berbahasa Sunda, dan kalimat (c) adalah kalimat bahasa Indonesia yang seharusnya.
Ø  (a) Surat itu telah dibaca oleh saya.
(b) Surat eta geus dibaca ku kuring.
(c) Surat itu telah saya baca.
Ø  (a) Ia itu anak pedagang.
(b) Manehna teh anak padagang.
(c) Ia anak pedagang.
Ø  (a) Bapak mencari Dani ke sana ke mari.
(b) Bapa neangan Dani ka ditu ka dieu.
(c) Bapak mencari Dani ke mana-mana.
Ø  (a) Aku menunggu Tedi, tetapi tak datang juga.
(b) Kuring ngadagoan Tedi, tapi teu datang bae.
(c) Saya menanti kedatangan Tedi, tetapi dia tak kunjung datang.
Ø  (a) Baju saya ada yang dicuri.
(b) Baju kuring aya nu maling.
(c) Baju saya dicuri orang.
Tampaknya kesulitan anak-anak di daerah Sunda dalam belajar bahasa Indonesia, juga dialami oleh anak-anak dari daerah lain, yang berbahasa pertamanya juga daerah. Persoalannya adalah bagaimana mengatasi kesulitan atau hambatan itu. Kesulitan-kesulitan itu dapat diatasi dengan melakukan berbagai pembelajaran, misalnya dengan menggunakan pendekatan linguistik kontrastif. Artinya, dengan melakukan perbandingan pola antara bahasa yang diajarkan dengan bahasa pertama seseorang. Pola-pola berbeda diberi porsi-porsi perhatian dan latihan yang lebih banyak; sedangkan pola-pola yang mirip atau sama cukup diberi latihan sekadarnya.
Para penganjur pendekatan linguistik kontrastif berpendirian bahwa pnguasaan suatu bahasa tidak lain dari pembentukan kebiasaan-kebiasaan. Kebiasaan yang berasal dari proses peniruan dalam masyarakat bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, untuk dapat menguasai bahasa kedua jalan yang paling tepat adalah dengan latihan terus menerus, tanpa henti sehingga pada suatu saat akan terbentuk kebiasaan  seperti yang telah terjadi ketika memelajari bahasa pertama. Namun, karena bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi Negara, maka penguasaan yang optimal perlu diusahakan.
Apabila melihat contoh perkembangan bahasa Indonesia, seperti telah diulas sebelumnya, banyak masyarakat yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Namun, pada sisi lain, tidak kalah juga jumlah masyarakat yang menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, sekalipun bahasa pertama dari masyarakat tersebut adalah bahasa daerah yang ada di Indonesia.








BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pemerolehan bahasa kedua berkenaan dengan bahasa pertama. Biasanya anak yang sudah berbahasa daerah itu (bahasa Sunda) akan mendapatkan bahasa kedua dengan bahasa pokok (bahasa Indonesia). Bahasa pertamalah yang biasanya menjadi penghambat dalam seseorang belajar berbahasa kedua.
Dapat diketahui bahwa bahasa kedua berpengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua. Keadaan linguistik bahasa pertama penting artinya bagi usaha menentukan strategi pembelajaran yang diperkirakan efektif oleh peserta didik dalam rangka transferisasi. Belajar bahasa kedua adalah belajar mentransfer bahasa baru di atas bahasa yang sudah ada.
Penutur bilingual yang mempunyai kemampuan terhadap bahasa pertama dan bahasa kedua sama baiknya, tentu tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan karena tindak laku kedua bahasa itu terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan yang kemampuan terhadap bahasa kedua jauh lebih rendah atau tidak sama dari kemampuan terhadap bahasa pertamanya itu akan sangat kesulitan berkomunikasi dengan bahasa kedua secara baik.
Sebenarnya, meskipun bahasa Indonesia tidak ditempatkan sebagai bahasa pertama, namun bahasa kedua, hal paling utama adalah bahwa kemampuan penutur bahasa tersebut baik, dalam bahasa maupun tulisan.

3.2. Penutup
Demikianlah makalah yang saya buat semoga bermanfaat bagi orang yang membaca. Dan saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas, dan lugas sehingga sulit dimengerti. Kemampuan yang saya miliki masih terbatas dan hanya sebatas ini saya mampu membuatnya. Terimakasih atas kebijaksanaan dan perhatiannya.



DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul.2002.Psikolinguistik: Kajian Teoritik.Jakarta: Rineka Cipta.
Muslich, Masnur.2011.Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi         Bahasa Indonesia.Jakarta: Bumi Aksara.
Sunendar, Dadang dan Iskandarwassid.2008.Strategi Pembelajaran Bahasa.         Bandung: PT Remaja Rosda Karya.