Jumat, 26 September 2014

Cerita Penuh Kontrofersi di Dalam Buku Kumpulan Cerpen Jangan Main-main dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu



Oleh Nur Kholilah
Tugas ke dua, buku ke dua. Buku kedua yang saya baca untuk memenuhi tugas kuliah ini memiliki judul yang cukup menggelitik banyak orang. Yah, membaca judulnya saja orang sudah berfikir luas tentang isinya. Begitu pula dengan saya. Ketika Pak Firman menyebutkan judul buku kedua yang harus kami baca “Jangan Main-main dengan Kelaminmu”, saya langsung dikelilingi rasa penasaran dan dikeroyoki setumpuk pertanyaan. Sebetulnya hanya kata kelamin yang membuat saya penasaran dan bertanya-tanya. Jujur saja, menurut saya kata itu cukup sensitif jika dituliskan untuk sebuah judul buku, terlebih kata itu diiringi dengan kata main-main. Cukuplah untuk sejenak membuat saya menerawang seperti apa isinya itu. Membuat asumsi bermacam-macam mengenai isi buku itu.
Penulis buku yang mengangkat banyak mengenai seksualitas dan feminisme ini memang selalu mengalami kontrofersi dan mendapatkat kritikan setiap kali bukunya terbit. Karena banyak orang menilai cerita yang Djenar tulis terlalu liar, bebas, dan propokatif. Bukan Djenar namanya jika hanya mendapat gunjingan seperti itu langsung terjatuh. Djenar menganggap apa yang ingin diekspresikan memang harus ditulis. Menurut Djenar, setiap pembaca pasti membutuhkan diskusi tentang hal-hal yang selama ini selalu dianggap tabu. Maka dari itu, Djenar selalu memberanikan diri menuliskan segala ekspresinya dalam bentuk kebebasan. Tidak peduli seberapa banyak orang yang mengritiknya, tetapi memang itulah Djenar. Mungkin kisah hidupnya yang sejak kecil dibebaskan oleh ayahnya Syuman yang juga seorang seniman menjadikan salah satu alasan Djenar mencintai kebebasan.
Kontrofersi Cerpen Djenar Maesa Ayu
Satu per satu cerpen saya baca, bermaksud untuk mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya telah mengeroyok benak saya dan menghilangkan rasa penasaran yang selalu mengelilingi saya. Tetapi ternyata, malah timbul rasa baru, semua itu terasa menjijikan dan mengesalkan bagi saya. Karena malah terdapat misteri di dalam ceritanya. Di salah satu cerpennya yang berjudul Cermin itu misalnya. Cerpen itu seolah mendeskripsikan satu tokoh, namun tanpa terdapat jelas alurnya, ceritanya juga tidak jelas akan dibawa ke mana. Dalam cerita itu, nama tokoh yang selalu disebut-sebut yaitu Putri. Putri tahu-tahu sudah meninggal, di dalam ceritanya tidak dijelaskan apa yang menyebabkan Putri meluncur dari ketinggian lantai 23. Kalimat awal dan terakhir yang ditulis di cerpen itu, memperkuat ketidak jelasan cerpen tersebut. Bisa kita sama-sama lihat dalam kalimat ini “Kucari kau kucari. Kucari kau di kelengangan dalam….”. Entah siapa yang Putri cari sehingga membuat ia kecewa dan meluncur dari tempat yang begitu tinggi. Dalam kalimat itu juga terdapat kata kelengangan entah apalah arti dan maksud dari kata tersebut. Tak ada satupun dari cerita itu menunjukkan adanya pemecahan masalah ataupun menunjukkan sebuah makna, yang membuat saya marah pada cerpen itu.
Djenar memang dikenal bebas dan liar setiap menuliskan cerita. Tetapi entah kenapa saya merasa tidak setuju dan kesal ketika mendapati kata-kata yang menurut saya menjijikan karena begitu fulgar. Tidak seharusnya Djenar menulis cerita yang disetiap ceritanya itu pembahasannya hampir sama dengan selalu membumbui ceritanya dengan unsur seksualitas yang tanpa sedikitpun disensor.
Hal yang paling membuat saya mual ketika saya membaca cerpen yang berjudul Menyusu Ayah. Menurut saya itu sangat menjijikan. Tidak terbayangkan oleh saya bagaimana seorang anak yang gemar menyusu penis ayahnya, teman sebayanya, dan teman ayahnya.
Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah. (hal.37)
Sejak Ayah tidak lagi sudi menyusui, saya berpaling ke teman-teman Ayah. Saya tidak ingin mencicipi lagi susu teman-teman laki saya yang sebaya. (hal.39)
Seorang anak yang merasa haus jika belum menyusu, seorang anak yang hanya ingin menikmati tanpa ingin dinikmati. Itu tidaklah baik dan sama sekali tidak menumbuhkan rasa simpati saya terhadap bacaan tersebut.
Pengulangan-pengulangan kalimat yang banyak terdapat dalam ceritanya, cukup membuat saya sebagai pembaca bingung dan pengulangan kalimat itu tidak hanya terdapat pada satu cerpen saja ada beberapa cerpen yang di dalamnya terdapat pengulangan kalimat. Terlebih ketika sebuah cerpen yang berjudul Staccato yang hanya menceritakan kronologi tanpa ada tokoh dan latar yang jelas, membuat saya benar-benar dibuat bingung olehnya. Pada intinya, membaca buku ini membuat bertambah banyaknya pertanyaan yang ada dan tidak terjawabnya semua pertanyaan itu membuat saya semakin kesal.
Djenar Mengajarkan Pembacanya untuk Cerdas
Saya akui, tidak hanya kritikan yang saya dapat ketika setelah membaca buku ini. Rasa kagum pun muncul dalam benak saya. Begitu hebatnya Djenar dalam menulis cerita sehingga membuat seluruh emosi pembacanya keluar. Saya rasa Djenar juga cukup baik membimbing para pembacanya untuk cerdas. Disetiap kalimat yang Djenar tulis terdapat simbol-simbol yang memiliki makna cukup mendalam dan menggelitik, Djenar mengajak para pembaca untuk mengerti dan memaknai apa yang ia tulis.
Unsur feminisme dan seksualitas yang terdapat dalam dirinya cukup baik, ia mampu mengangkat unsur-unsur itu ke dalam realitas kehidupan yang selama ini ada namun masih tersembunyi. Selain itu Djenar juga mampu memainkan perannya sebagai meja, cermin, dan sebuah kamar. Cara pandangan yang sangat berbeda dari sastrawan lain, Djenar mampu membuat benda mati itu seoah-olah hidup di dalam ceritanya Mandi Sabun Mandi. Cermin dan meja yang seolah menjadi saksi dari sebuah perjalanan kemunafikan, penghiatanan, dan kesemuan hidup. Secara tidak langsung, di dalam ceritanya, Djenar ingin menunjukkan betapa licik dan rapuhnya komitmen dalam hubungan gelap seperti itu.
Dalam Penthouse 2601, sebuah kamar yang mempunyai impian murni yang ingin tubuhnya disinggahi oleh sebuah keluarga berbahagia atau pasangan yang sedang berbulan madu. Ternyata impiannya kandas begitu saja oleh tamu yang datang dengan perilaku seenaknya, dan sama sekali tidak terpuji. Saat itu, sang kamar merasa tubuhnya telah dikotori dan dicemari.
Terdapat banyak sekali pesan moral yang ingin Djenar sampaikan dalam cerita itu. Hanya saja cara Djenar menyampaikan sangat berbeda dengan sastrawan pada umumnya, Djenar selalu menggunakan simbol dalam setiap penyampaiannya yang membuat para pembacanya cerdas dan mau untuk berpikir mencari makna dari sebuah cerita yang Djenar sampaikan.

PERTUNJUKAN TEATER REPUBLIK BAGONG OLEH TEATER KOMA




1.      Unit Visual
Di awal pertunjukkan yang paling saya amati adalah pencahayaan, setting panggung dibuat gelap, penonton dibuat bingung. Tiba-tiba datang beberapa orang yang membawa kain panjang dengan make up yang tidak beraturan. Berlarian, berputa-putar ke sana ke mari. Setting panggung tidak terlalu terlihat, karena memang kualitas gambar dari kaset yang saya tonton cukup rendah sehingga gambar tidak terlihat jelas.
Kostum pemain dibuat sekreatif mungkin yang menggambarkan mereka adalah bagong-bagong di masanya. Tetapi jujur saja, saya merasa takut menonton teater ini karena make up para pemeran yang tidak beraturan itu.
2.      Unit Gerak
Gerakan pemarin dan benturan-benturan properti sangat terdengar jelas. Terlihat para pemeran dapat bergerak dengan profesionalnya dengan penuh totalitas tanpa memikirkan lingkungan sekitar, terlihat hanya memikirkan bagaimana caranya mereka menampilkan pertunjukan yang bernilai seni tinggi.
3.         Unit Visual
Suara-suara yang timbul dari efek pertunjukkan sangat terdengar, sesuai dengan gerakan dan aksi para pemain. Sesuai dan memperkuat jalan cerita yang akan disampaikan. Dialog yang disampaikan pemain juga terdengar jelas dan lantang, sehingga memudahkan penonton untuk mencerna setiap perkataan yang disampaikan pemain.

PERTUNJUKAN TEATER SAYANG ADA ORANG LAIN OLEH TEATER KAFE IDE UNTIRTA




1.      Unit Visual
Di awal pertunjukkan, setting tempat memperlihatkan keadaan rumah yang kondisinya kurang baik, baju-baju lusuh berantakan di atas meja pojokan ruangan itu dan juga bergelantungan tak beraturan, dan di ruang tamunya hanya terdapat kursi dan meja yang kurang layak. Di bawah panggung dibuat seolah jalanan tempat para pemerean teter hilir mudik seolah sedang melakukan aktifitasnya masing-masing.
Pencahayaannya tidak begitu jelas, di dalam rumah terlihat sangat terang dan setting cahaya di luar terlihat temaram. Padahal di naskah sudah dijelaskan bahwa setting waktu pada hari itu adalah hari Minggu pagi, seharusnya setting cahaya di luar rumah yang lebih terlihat cerah dibandingkan di dalam. Menurut pemikiran dan penglihatan saya, terdapat ketidak sesuaian di naskah dan pada pementasannya.
Pemeran utamanya (Suminta) terlihat memakai pakaian yang sederhana tapi tidak begitu lusuh seperti yang dituliskan pada naskah. Di naskah Hamid berkata pada Suminta seolah Suminta benar-benar lusuh dan tak bergairah di Minggu pagi itu. Tetapi pada pertunjukkan Suminta tidak begitu terlihat lusuh dan tak bergairah seperti yang digambarkan oleh Hamid.
Selain itu, ada seorang pemeran yang di alihkan. Jika pada naskah terdapat peran H.Salim, lain halnya pada saat pertunjukkan. Terdapat alih peran di sini. Tokoh H.Salim diperankan oleh seorang wanita yang kemudian namanya berubah menjadi Hj.Salimah. namun, dengan bergantinya peran ini tidak merubah tujuan penyampaian cerita. Bahkan menurut pemikiran saya, dengan diubahnya peran H.Salim menjadi Hj.Salimah ceria pada pertunjukkan itu menjadi lebih hidup. Karena memang karakter yang ada pada diri H.Salim itu lebih cocok untuk karakter seorang perempuan yang seolah sok tahu dan tidak mau kalah.
Selain itu, terdapat tokoh figuran yang ditambahkan. Orang gila yang dinaskah sama sekali tidak dituliskan. Orang gila itu ditampilkan berkali-kali dan membuat ceritanya menjadi tidak jelas apa alasan tiba-tiba ditambahkan orang gila pada pertunjukkan itu. Jika menurut pemikiran saya, dihadirkannya orang gila pada pertunjukkan itu, hanya untuk selingan hiburan bagi penonton itu saja, sedangkan pengaruh terhadap ceritanya itu sama sekali tidak ada.
2.      Unit Gerak
Tokoh Mini sering kali terlihat membelakangi penonton, rambut Mini jang menjuntai ke depan juga menghalangi penglihatan penonton untuk melihat wajah dan ekspresi dari pemeran Mini tersebut. Untuk pemeran lainnya saya kira, cukup baik dan tidak ada yang membelakangi panggung selain pemeran Mini.
Pada saat pementasan, terlihat ada beberapa bagian yang dilebih-lebihkan dari naskah. Seperti saat, pertengkaran Suminta dan Hamid. Padahal di naskah tidak dijelaskan jika Suminta bertengkar dengan Hamid sampai memukul-mukul Hamid. Juga ketika Hj. Salimah menginjak Mie yang dilemparkan oleh Suminta kelantai. Cara berjalan Hj.Salimah yang terpincang-pincang. Menurut pemikiran saya, Hj.Salimah terlalu melebih-lebihkan perannya dengan cara berbicaranya yang berteriak-teriak dan jalannya yang terpincang-pincang.
Akting Suminta dan Mini saya rasa sangat mendalami perannya dan menikmati setiap alur cerita yang berjalan. Membuat penonton benar-benar terbawa oleh akting mereka terutama ketika mereka bertengkar dan Mini menangis tersedu. Terdapat suasana tegang dan sedih yang mengalir kepada penonton. Selain Suminta dan Mini, terdapat pula Hamid yang menurut penglihatan saya, peran Hamid dalam naskah tidak jauh berbeda dengan Peran Hamid pada saat pertunjukan. Terlihat ada kesesuaian antara naskah dengan pertunjukkannya.


3.      Unit Audio
Peran Suminta yang dituntut untuk tegas, terdengar sesuai. Setiap seruan yang diucapkan Suminta menampakan kejantanan seorang laki-laki, hanya saja sayang sekali ketika Suminta mengeluarkan suaranya dengan nada tinggi, kalimat yang diucapkan Suminta tidak terdengar jelas begitu samar. Sehingga membuat penonton tidak mengerti apa yang diucapkan Suminta.
Selain itu, ada beberapa bagian dialog yang tidak sesuai dengan naskah dramanya. Tetapi itu semua tidak membuat jalan cerita menjadi berbeda atau pun berubah maknanya. Jalan cerita yang disampaikan sangat tepat tersampaikan kepada para penikmat pertunjukkan. Tetapi, tidak terdengar efek suara yang berarti dalam pertunjukkan itu, hanya terdengar alunan lagu tetapi itu hanya di bagian tertentu saja.
Ketika Suminta melemparkan piring yang berisi mie goring ke lantai membuat semua penonton terkaget akan kerasnya benturan piring tersebut, akhirnya timbulah ketegangan di antara penonton. Tetapi, tidak satupun penikmat pertunjukkan yang ingin meninggalkan cerita demi cerita yang disampaikan para aktor teater tersebut.

PERTUNJUKAN TEATER PADA SUATU HARI OLEH TEATER KAFE IDE UNTIRTA




1.      Unit Visual
Di awal pertunjukkan, setting tempat diperlihatkan dengan memamerkan foto masa muda hingga tua nenek dan kakek. Latar pertunjukan saat itu adalah di rumah bagian ruang tamu. Terlihat dari adanya pajangan foto dan bangku-bangku yang berada di dalamnya. Unsur pencahayaannya tidak terdapat unsur pencahayaan yang begitu berarti, karena memang latar pada saat itu adalah di dalam ruang tamu. Maka pencahayaan yang ada hanya lampu dalam ruangan saja tanpa ada perubahan pencahayaan yang berarti.
Ada hal menarik di awal pertunjukan teater menyuguhkan candaan untuk menarik tawa penonton. Gelagat nenek dan kakek yang sudah tua tetapi masih seperti anak muda yang baru menikah. Selanjutnya dihadirkan pula Jhoni di sana untuk menambah kesan humor yang ada pada pertunjukkan itu. Yang pada dasarnya memang tidak ada humor yang terdapat dalam naskah. Tetapi, beruntungnya hal tersebut benar-benar bisa menghadirkan tawa di antara penonton yang menyimaknya.
Pakaian yang digunakan para pemeran, pakaian-pakaian kalangan atas zaman sekarang. Tata ruang pun terlihat bergaya modern. Jadi kita bisa sama-sama menangkap bahwa drama tesebut adalah pandangan penulis terhadap realitas sosial jaman sekarang.
Hal lain yang berbeda dari naskah yaitu, Nita. Pada naskah Nita adalah kaka perempuan Novia tetapi pada pertunjukkan, kaka perempuan Novia diubah menjadi laki-laki yang saya sendiri juga lupa namanya siapa. Tetapi, menurut pemikiran saya, hal itu sengaja dirubah untuk menambah daya tarik dan keberagaman pertunjukkan teater Pada Suatu Hari.
2.      Unit Gerak
Pada awal pertunjukkan pemain sudah menunjukkan gerakan-gerakan. Seperti kakek dan nenek yang mulai menari-nari dan tiba-tiba diikuti pembantunya Joni di belakang nenek dan kakek. Hal itu cukup membuat penonton dan saya tertawa melihat gerakannya. Ada yang berbeda di awal pertunjukkan ini. Pada naskah sama sekali tidak dijelaskan bahwa Joni ikut menari mengiringi kakek dan nenek di belakang. Saya kira, Joni sengaja ditampilkan untuk mengajak penonton tertawa di awal pertunjukkan.
Selanjutnya terjadi beberapa gerakan pemain yang saya kira itu tidak ada dalam sekenario pertunjukan. Seperti sandal Feri yang terlepas ketika Feri dan Meli sedang bermain berlari-lari. Tetapi hal itu malah membuat penonton terhibur.

3.      Unit Audio
Peran kakek dan nenek yang diistilahkan dua orang yang sudah tua dan renta memang sangat terlihat, pemeran yang memainkan kakek dan nenek pun juga sangat mampu memerankannya. Banyak penekanan-penekanan suara yang sengaja dibuat seolah nenek dan kakek. Namun, karena terlalu banyaknya dialog, sehingga membuat penonton kurang mengerti apa maksud dari cerita Pada Suatu Hari itu. Penekanan suara yang dibuat itulah yang menjadi penyebab kurang jelasnya pengucapan kakek dan nenek. Beruntung saya sudah membaca naskah drama tersebut, jadi sedikit banyaknya saya masih bisa mengikuti alur pertunjukan tersebut.