SKRIPSI ANALISIS FEMINISME DALAM NOVELET DI ATAS SIANG DI BAWAH MALAM KARYA PUTU
OTA SUKANTA : KAJIAN FEMINISME SASTRA
Diajukan
untuk memenuhi tugas
Mata
kuliah kajian prosa fiksi

Oleh:
1. Luli
Indriyani
2. Naqiyya
Noor H
3. Nur
Dwi Widya P
4. Nur
kholilah
5. Party
Riskykah
6. Rika
Sadewa
7. Tia
Oktafiani
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan
kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan
skripsi yang berjudul “Analisis
Feminisme dalam Novelet Di Atas Di Bawah
Malam” dapat
diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini
banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari
berbagai pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi
tersebut dapat diatasi. Untuk itu kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen Kajian Prosa Fiksi,
Bapak Firman Hadiansyah M.Hum. yang telah memberikan tugas dan membimbing kami
dalam pembuatan skripsi ini.
Kami
telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini,
tetapi kami sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik
dan saran yang membangun kami harapkan kepada pembaca demi kesempurnaan
skripsi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi umat manusia, khususnya pecinta
ilmu dan pegiat sastra.
Serang, 29 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................1
DAFTAR
ISI........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG....................................................................................3
1.2 RUMUSAN
MASALAH................................................................................5
1.3 TUJUAN
PENELITIAN...............................................................................5
1.4 METODE
PENELITIAN..............................................................................5
1.5 KAJIAN RELEVAN......................................................................................6
BAB II RIWAYAT HIDUP DAN SINOPSIS
2.1 RIWAYAT HIDUP PENGARANG............................................................7
2.2 SINOPSIS CERITA.......................................................................................8
BAB III LANDASAN TEORI
3.1 LANDASAN TEORI....................................................................................9
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 ANALISIS DATA........................................................................................19
4.2 HASIL ANALISIS DATA...........................................................................19
BAB V PENUTUP
KESIMPULAN..................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pada hakitanya sebuah karya sastra adalah replika
kehidupan nyata. Walaupun berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama,
persoalan yang disodorkan oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan
nyata sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya, pengarang sering
mengemasnya dengan gaya yang berbeda-beda dan syarat pesan moral bagi kehidupan
manusia.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai
hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di
sekitarnya. Meskipun demikian, karya sastra yang diciptakan pengarang
kadang-kadang mengandung subjektivitas yang tinggi.
Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra, meski
dibalut dalam semangat kreativitas, tidak luput dari selera dan kecenderungan
subjektif, aspirasi, dan opini personal ketika merespons objek di luar dirinya,
serta muatan-muatan khas individualistik yang melekat pada diri penulisnya
sehingga ekspresi karya bekerja atas dasar kekuatan intuisi dan khayal, selain
kekuatan menyerap realitas kehidupan. Itulah sebabnya di dalam sebuah cerita,
cerpen atau novel, seorang pengarang sering mengangkat fenomena yang terjadi di
masyarakat. Dengan harapan para pembaca dapat mengambil hikmah dari fenomena
tersebut.
Pada dasarnya isi sebuah karya sastra memuat perilaku
manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Sangat beragam perilaku manusia
yang bisa dimuat dalam cerita. Kadang-kadang hal ini terjadi perulangan jika
diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang ditangkap sebagai
fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu seperti
gejala kejiwaan, sosial, dan masyarakat. Sebagai misal perilaku yang
berhubungan gejala kejiwaan yaitu fenomena frustrasi atau kekecewaan (anxienty).
Karya merupakan jagad realita di dalamnya terjadi
peristiwa yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh).
Wanita selalu dianggap sebelah mata dan
hanya mempunyai peran dalam ranah tertentu saja yaitu, kasur, dapur dan sumur.
Budaya patriarki memarginalkan peranan wanita yang begitu terbatas. Tubuh
wanita seringkali diartikan sebagai kecantikan yang “murah”. Ukuran cantik bagi
seorang wanita diukur dari bentuk tubuh sedangkan akhlak hal yang kesekian.
Wanita dianggap pengacau dan pembuat masalah. Bahkan di beberapa daerah
kelahiran seorang wanita merupakan pertanda kesialan yang akan diperoleh bagi
keluarga tersebut. Solusi yang mereka lakukan ialah membuang bayi perempuan
tersebut dengan harapan kesialan yang akan menimpa mereka hilang bersama
kepergian bayi yang mereka buang. Anggapan ini sungguh tidak manusiawi. Setiap
kelahiran seorang bayi pasti membawa keburuntungan, baik bayi laki-laki maupun
perempuan.
Perempuan
hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak
memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Pada era sebelum
gerakan feminisme muncul hak-hak wanita begitu dibatasi. Partisipasi wanita
dianggap tidak diperlukan. Kaum laki-laki selalu mendominasi dalam ranah
apapun. Kaum wanita tidak diperbolehkan menempun pendidikan. Karena kaum wanita
dianggap hanya perlu mengurus keluarga jadi tidak perlu berpendidikan tinggi.
Dalam
hal perekonomian pun wanita tidak diperbolehkan memainkan perannya seperti yang
dilakukan kaum laki-laki. Hal ini tentunya menimbulkan kecemburuan sosial
terhadap kaum laki-laki. Wanita dianggap makhluk yang selalu bergantung pada
laki-laki dan tidak bisa mandiri.
Dominasi
dan pengasingan terhadap perempuan beserta konsep kecantikan yang dilekatkan
terhadap tubuh perempuan oleh patriarki tidak hanya terjadi dalam dunia nyata
tetapi juga tercipta dalam karya sastra, khususnya novel. Novel merupakan wujud
pemikiran seorang penulis dalam melihat dan merasakan fenomena sosial, budaya,
dan hal lain-lain yang ia refleksikan ke dalam sebuah karya sastra. Meskipun
novel merupakan karangan fiktif tetapi, novel juga memilki nilai realistis
dalam kehidupan sosial. Dalam novel Diatas Siang Dibawah Malam menceritakan
konflik mengenai kehidupan pekerja seks komersial di Batam. Batam yang disebut
WC Singapura di malam hari ini menjadi pusat industri seks. Pengarang pun
memunculkan konflik lainnya yang masih seputar konflik yang dialami kaum wanita
kelas bawah dan dunia malam yang “kotor”. Hal inilah yang melatar belakangi
penulis untuk menganalisa sebuah permasalahan peranan wanita yang bisa menjadi
korban dan menjadi penguasa dalam sebuah novel sebagai dasar penyusunan
proposal tentang Kajian Feminisme dalam Novel “Di Atas Siang Di Bawah Malam”.
1.2.
Rumusan
Masalah
Bagaimana kajian
feminisme teori Naomi Wolf dihadirkan dalam novelette Di Atas Siang di Bawah Malam?
1.3.
Tujuan
Penelitian
Megetahui
kajian feminisme teori Naomi Wolf dalam novel Di Atas Siang di Bawah Malam.
1.4.
Metode
penelitian
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan bentuk
penelitian kualitatif. Hasil penelitian dan data yang digunakan berupa kata dan
kalimat.
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kajian feminisme sastra. Dengan
pendekatan ini, pembaca dapat menemukan konflik dalam novel yang menyinggung
persoalan kehidupan wanita. Dalam kajian feminisme menurut Wolf, wanita
berpotensi menjadi korban dan juga sebagai penguasa. Pendekatan feminisme pada
dasarnya adalah suatu pendekatan yang berfokus pada keberadaan dan masalah
gender perempuan dalam karya sastra dari sudut pandang perempuan dan sudut
pandang peneliti perempuan.
Penulis
menggunakan metode kepustakaan dalam penyusunan skripsi. Penulis mengumpulkan
beberapa referensi dari beberapa sumber baik dari sumber elektronik, internet
maupun sumber dari beberapa buku atau media cetak untuk mendukung penelitian
Setelah
data-data dan referensi itu terkumpul, selanjutnya penulis memilih dan
menyeleksi beberapa referensi tersebut untuk diterapkan dalam penelitian.
Pemilihan dan penyeleksian tersebut sangat penting untuk dilakukan agar sesuai
dengan objek kajian penelitian dan mendapatkan hasil penelitian yang
diharapkan.
1.5.
Kajian Relevan
Kajian feminisme dalam sebuah karya sastra sebelumnya
sudah dilakukan oleh Andhika Bareshi dari Universitas Kanjuruhan Malang dalam
skripsinya yang berjudul “Persamaan dan Perbedaan Feminisme dalam Novel
Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy dan Novel Meniti Jembatan
Emas Karya Yan Daryono”. Dalam analisisnya Andhika menggunakan teori Naom Wolf, yang kemudian Andhika membahas feminisme ke
dalam dua aliran, yaitu feminisme liberal
dan feminisme radikal. Di
dalamnya, Adhika menyampaikan feminisme liberal adalah sebuah pandangan
untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan
individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antar dunia privat dan publik. Dengan demikian,
setiap manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional,
begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada
perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa
bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan sama
dengan laki-laki.
Kajian ini kemudian dikaitkan dengan teori yang
dikemukakan oleh Naom Wolf yang mengatakan “Feminisme Kekuatan”, karena memang
saat ini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi
pendidikan, pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas
berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Penelitian ini, tidak jauh berbeda dengan apa yang kami sama-sama bahas.
Terkait teori yang di bahas oleh Naom Wolf. Kami juga membahas bahwa , perempuan
adalah makluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga sehingga
harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender.
Kemudian selain
Feminisme Liberal, terdapat satu aliran feminisme lagi yang dibahas oleh
Andhika di dalam skripsinya. Yaitu Feminisme radikal, Andhika membahas
feminisme radikal dengan pemahaman bahwa perempuan selalu ditindas oleh laki-laki memang
nyata adanya dan gerakan ini sesuai namanya yang
“radikal”. Andhika menganggap
bahwa,
penindasan terhadap perempuan terjadi akibat patriarki, tubuh perempuan
merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu,
feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh dan hak-hak reproduksi,
seksualitas (termasuk lesbianisme). Seksisme relasi kuasa perempuan dan
laki-laki, dan dikatomi privat-publik “the personal is pocitical” menjadi gagasan baru yang
mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ke ranah privat masalah yang
dianggap paling tahu untuk diangkat kepermukaan. Pembahasan ini masih ke dalam pembahasan yang sama,
yang kami bahas. Kami membahasnya ke dalam “Feminisme Korban”, aliran ini masih
oleh Naom Wolf. Kami menganggap bahwa sejak dahulu wanita
selalu dianggap sebelah mata dan hanya mempunyai peran dalam ranah tertentu
saja yaitu, kasur, dapur dan sumur. Dan
sampai saat ini wanita masih dianggap sebelah mata, banya yang menjadikan
wanita sebagai alat,
wanita juga seringkali dianggap sebagai pengacau dan pembuat masalah.
BAB II
RIWAYAT HIDUP PENGARANG DAN RINGKASAN
CERITA
2.1.
Riwayat
Hidup Pengarang
Putu
Oka Sukanta, lahir di Singaraja Bali, tgl 29 Juli 1939 adalah seorang penulis, wartawan dan
aktif dalam masalah penanggulangan HIV/AIDS. Mulai menulis sejak di bangku SMP.
Putu menyelesaikan pendidikan sarjana muda Ilmu Pendidikan, 1963. Pernah
menjadi guru SMA di Jogja
dan Jakarta,
selain sebagai wartawan
bebas. Karena aktif di Lekra, dia ditahan oleh Orde Baru
sejak 1966-1976 di Jakarta dan Tangerang tanpa pernah diadili.
Buku sastra yang pernah ditulisnya adalah
kumpulan puisi: Selat Bali, Tembang Jalak
Bali, Matahari-Tembok Berlin, Salam, Perjalanan Penyair, dan Surat Bunga dari Ubud. Kumpulan cerita
pendek: Keringet Mutiara, Luh Galuh, Die
Tasche, Bukan Kematian, Rindu Terluka. Novel: Buruan, Merajut Harkat, Di Atas Siang di Bawah Malam, dan Kelakar Air, Air Berkelakar.
Beberapa
bukunya sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Perancis.
Cuplikan novelnya, Leftover Soul, ditampilkan dalam Manoa: A Pacific Journal of
International Writing. Putu juga menjadi contributing editor dari Latitudes dan
staf anggota senior dari sebuah majalah alternatif, Nirmala.
Karya-karyanya
dimuat dalam beberapa antologi internasional: Indonesian Contemporary Poetry
(Indonesia 1963), This Prison Where I Live (London 1966), Voice of Cosciences
(USA 1955), Bali Behind the Scene (Australia 1997), Silences Voices (Hawaii
2000), Menagerie IV (Indonesia 1998), Another Kinds of Paradise (Boston 2008).
Putu
Oka Sukanta juga memproduksi film-film dokumenter dengan tema "Dampak
Sosial Tragedi Kemanusiaan 1965/66". Ia banyak menulis buku kesehatan, di
samping menjadi aktivis Program Penanggulangan HIV/AIDS. Ia
tinggal di Jakarta,
berpraktek akupunktur
(Dia belajar tehnik pengobatan akupunktur dari Dr. Lie Tjwan Sin, teman satu
sel di penjara). Dan bersama istrinya Endah Lasmadiwati (Solo 1948), mengelola
"Taman Sringanis", sebuah gerakan kebudayaan dalam bidang kesehatan.
Putu Oka Sukanta sudah diundang ke beberapa negara Eropa, Asia, Australia dan
Amerika, baik
sebagai pengarang maupun sebagai aktivis kemanusiaan.
2.2.
Ringkasan
Cerita
Novelet ini menceritakan kehidupan seorang dokter yang bernama dokter
Niah. Dokter Niah mendapatkan tugas
dinas di daerah Batam. Selama ia dinas di Batam, ia banyak membantu dan
mengobati PSK yang terjangkit virus HIV maupun penyakit lainnya. Awalnya ia
tidak merasa nyaman dengan kehidupannya di Batam namun, setelah ia semakin lama
tinggal disini dan semakin mengenal kehidupan PSK beserta alasan mereka
melakukan pekerjaan tersebut ia jadi merasa termotivasi untuk menolong PSK dan
membela kaum wanita yang tertindas. Industri seks di Batam (WC Singapura
dimalam hari) merupakan penghasil pemasukan daerah yang tertinggi. Hak-hak PSK
begitu dibatasi. Alasan mereka menjadi PSK karena demi mencari uang, meskipun
usia mereka masih sangat belia, mereka rela melakukan pekerjaan tersebut untuk
membantu ekonomi keluarga mereka di kampung halaman.
Dokter Niah lebih banyak menghabiskan waktunya di LSM dibandingkan di
klinik karena ia merasa banyak hal yang lebih penting ia kerjakan di LSM.
Lalu dokter Niah bertemu dengan seorang wartawan yang bernama Asa.
Setelah mereka semakin mengenal satu sama lain mereka sering berdiskusi
mengenai kehidupan PSK dan kekerasan terhadap wanita. Karena mereka mempunyai
visi yang sama, mereka bekerja sama untuk membantu para PSK agar keluar dari
jerat prostitusi. Mereka berusaha memberikan pengetahuan tentang kesehatan
organ intim agar mereka memiliki kesadaran untuk menjaga kesehatan organ
intimnya.
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1.
Landasan Teori
3.1.1
Teori Naom Wolf
Wolf (1994:139) mengartikan feminism sebagai sebuah teori
yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Istilah “
Menjadi feminis”, bagi Wolf, harus diartikan dengan “Menjadi Manusia”. Pada
pemahaman yang demikian, seorang perempuan akan percaya pada diri mereka
sendiri. Jika kata emansipasi dilekatkan pada kata perempuan, emansipasi
cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan tanpa mempersoalkan
ketidakadilan jender, sedangkan feminisme sudah mempersoalkan hak serta
kepentingan perempuan yang selama ini diniali tidak adil.
Wolf (1994: xxvii-xxviii) membagi pendekatan feminism dalam
dua hal, yaitu feminisme korban (victim
feminism) dan feminisme kekuasaan (power
feminism). Feminism korban melihat perempuan dalam peran seksual yang murni
dan mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan
kejahatan-kejahatan yang terjadi atas perempuan sebagai jalan untuk menuntut
hak-hak perempuan. Sementara itu, feminisme kekuasaan menganggap perempuan
sebagai manusia biasa yang seksual,
individual, tidak lebih bak dan tidak lebih buruk dibandingkan dengan laki-laki
yang menjadi mitranya dan mengklaim hak-haknya atas dasar logika yang
sederhana, yaitu perempuan memang memiliki hak.
Pada pendekatan feminisme korban, laki-laki menjadikan
perempuan sebagai objek dan mengklaim bahwa perempuan tidak pernah berbuat
sebaliknya laki-laki. Selain itu, laki-laki dianggap suka berpoligami dan hanya
mengejar sesuatu yang tampak. Sementara itu, perempuan dipandang monogami dan
mementingkan emosi. Dengan demikian, laki-laki egois dan tidak pernah setia,
sedangkan perempuan tidak pernah tergoda dan setia. Dengan adanya gegar jender,
yaitu tumbuhnya kesadaran-kesadaran tentang kesetaraan jender yang meluas di
masyarakat, tumbuh pulalah kesadaran-kesadaran bahwa perempuan bukanlah
minoritas, perempuan tidak perlu mengemis kepada siapapun untuk membonceng
pesawat politik, perempuan mampu membuat segala sesuatu terjadi, dan keadilan
serta kesetaraan bukan merupakan sesuatu yang dimohon dari orang lain
(Wolf:1994:49-54).
Wolf (1994:46-49) mengemukakan bahwa pada dekade 1990-an mulai
muncul pencitraan perempuan sebagai pemegang kekuasaan yang telah membebaskan
perempuan untuk membayangkan diri mereka sebagai makhluk yang tidak hanya
menarik dan memberi perasaan ingin menyayangi, melainkan juga dapat menimbulkan
rasa hormat, bahkan rasa takut. Sementara itu, citra yang mendorong ke arah
aksi adala citra tentang agresivitas, keahlian, dan tantangan, ketimbang
pencitraan tentang korban.
Prinsip-prinsip pendekatan feminisme kekuasaan adalah sebagai
berikut. Pertama, perempuan dan laki-laki mempunyai arti yang sama besar dalam
kehidupan manusia. Kedua, perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri. Ketiga,
pengalaman-pengalaman perempuan mempunyai makna, bukan sekedar omong kosong.
Keempat, perempuan berhak mengungkapkan kebenaran tentang pengalaman-pengalaman
mereka. Kelima, perempuan layak menerima lebih banyak segala sesuatu yang tidak
mereka punya karena keperempuan mereka, seperti rasa hormat dari orang lain,
rasa hormat terhadap diri sendiri, pendidikan, keselamatan, kesehatan, keterwakilan,
dan keuangan (Wolf:1994:138).
Dengan demikian, pendekatan feminism kekuasaan tidak memusuhi
laki-laki dan menganggap laki-laki tidak terisah dari perjuangan bahkan mitra
perempuan dalam perjuangan menuju kesetaraan sosial. Kelebihan pendekatan ini adalah
memperlakukan perempuan sebagai manusia dan memperlakukan laki-laki sebagai
manusia. Sementara itu, kekurangannya ialah terlalu menekankan kemandirian
pribadi yang tidak sukses dan kurang beruntung dapat terlewatkan begitu saja
(Wolf:1994:137).
Pengungkapan citra perempuan dengan kekuasaan harus dilakukan
agar membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mengenali citra dirinya sendiri
di antara citra-citra yang ada. Dengan cara yang sama sedret citra positif yang
beraneka tentang feminisme akan memberi kesempatan pada perempuan untuk
mengenali diri sendiri dan konotasi feminis dapat berubah menjadi pemahaman
sebagai manusia (Wolf, 1994:130-311).
a.
Feminisme
Liberal
Feminisme Aliran
liberal berasal dari filsafat liberalisme yang memiliki konsep bahwa kebebasan merupakan hak setiap
individu sehingga dia harus diberi kebebasan untuk memih tanpa terkekang oleh pendapat umum dan hukum. Feminisme liberal yang memandang
adanya kolerasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan
(Fakih, 1999:95). Feminisme liberal memandang manusia dilahirkan sama dan
mempunyai hak yang sama meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antara
laki-laki dan perempuan. Bagi feminisme liberal manusia adalah otonom dan
dipimpin oleh akal (reason). Dengan
akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu.
Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak individu (Arivia, 2003:152).
Ketidaksetaraan dalam masyarakat
terjadi, karena ada pelanggaran terhadap kebebasan individu yang terjadi melalui proses sosialisasi peran atau
dasar sexs. Oleh karena itu, kesetaraan hanya bisa dicapai melalui pembaruan peraturan atau hukum, dan proses
pendidikan. Akar teori ini bertumpu
pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki
sehingga harus diberi hak yang sama
juga dengan laki-laki. Naomi Wolf, menyatakan bahwa "Feminisme
Kekuatan" merupakan solusi. Kini
perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus
menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Perempuan yang melakukan tindakan yang sesuai dengan paradigm
feminisme kekuasaan dalam penelitian ini disebut dengan perempuan kuasa.
Pihak-pihak yang mendukung kekuasaan perempuan untuk mengakhiri dominasi juga
merupakan tokoh-tokoh profeminis. Aksi perempuan-perempuan tersebut merupakan
feminism dasar yang memprioritaskan fakta ketidak adilan jender yang menimpanya
dalam rumah tangga. Mereka berupaya untuk menjadi makhluk yang dihormati,
bahkan makhluk yang dapat menimbulkan rasa takut bagi laki-laki yang ingin
menguasai dirinya (Wolf, 1994:53). Meskipun demikian, dari aksinya dalam
mengakhiri dominasi yang dilakukan dengan simpatik terlihat bahwa tokoh-tokoh
perempuan tersebut banyak memiliki kesesuaian dengan feminisme liberal.
Feminisme ini menganggap laki-laki dan perempuan dilahirkan sama dan mempunyai
hak yang sama meskipun ada hal-hal yang tak dapat dipertukarkan. Selain itu,
feminisme liberal menganggap bahwa setiap manusia itu otonom dan dipimpin oleh
akal sehingga manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan
individu, serta memprioritaskan hak politik dan bukan ekonomi.
b.
Feminisme
Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di
mana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Pada
sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi
sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan
seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap
perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan
gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”.
Feminisme radikal beranggapan bahwa penguasaan fisik
perempuan oleh laki-laki, seperti hunbungan seksual adalah bentuk penindasan
terhadap perempuan. Bagi penganut feminism radikal, patriarki adalah
dasar-dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual yang
dalam hal ini laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi.
Aliran ini bertumpu pada
pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki.
Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh
karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak
reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa
perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is
political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan
sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke
permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan
kepada feminis radikal.
3.1.2
Feminisme dalam Sastra
Karya sasta telah
menjadi culture regine dan memiliki
daya pikat yang kuat terhadap personal gender. Paham tentang perempuan sebagai
orang yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya, laki-laki sebagai
orang cerdas, aktif, dan sejenisnya selalu mewarnai sastra kita. Citra
perempuan dan laki-laki tersebut seakan-akan telah mengakar di benak penulis
sastra.
Teks sastra
merupakan satu di antara banyak situs tempat kontruksi gender ideologis berada.
Menurut Kristeva dalam Lestari (2004; 7-8), sastra mengungkapkan pengetahuan
tertentu dan terkadang kebenaran itu sendiri mengenai alam yang teresepsi,
gelap, rahasia, dan tak sadar. Ia menggandakan kontrak sosial dengan menguak
yang tak terkatakan, yang polos. Karya sastra merupakan media yang digunakan
oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai media, karya
sastra menjadikan jembatan yang menghubungkana pikiran-pikiran pengarang yang
disampaikan kepada pembaca. Dalam hubungan antara pengarang dan pembaca, karya
sastra menduduki peran-perana yang berbeda. Selain berperan dalam proses
tranfer informasi dari pengarang ke pembacanya, karya sastra juga berperan
sebagai teks yang diresepsi oleh pembaca.
Karya sastra yang
menghadirkan sosok (tokoh) perempuan telah banyak ditulis dalam berbagai tema
dan genre, baik oleh pengarang
laki-laki maupun pengarang perempuan. Karya sastra dapat disebut berperspektif
feminis jika mempertanyakan relasi gender yang timpang dan mempromosikan
terciptanya tatanan sosial yang seimbang antara perempuan dan laki-laki.
Tetapi, tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga
analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika ia tidak
mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan relasi gender dan
perombakan tatanan sosial.
Datangnya isu
mengenai feminisme di dalam masyarakat Indonesia mungkin dapat penulis katakan
bersamaan dengan munculnya berbagai gerakan perempuan yang menyerukan persamaan
hak atau kesetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan di berbagai
kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Gerakan-gerakan tersebut mampu melahirkan pemikiran-pemikiran tentang perempuan
yang pada akhirnya mampu merubah kedudukan atau citra perempuan dalam
kehidupan.
3.1.3
Gender dan Budaya Patriarki
Gender digunakan
untuk merujuk pada pengaturan-pengaturan yang dideterminasi secara sosial.
Seks, di lain pihak, digunakan untuk merujuk pada ciri-ciri deerminasi
biologis, seperti kemampuan perempuan untuk melahirkan anak. Dengan kata lain,
pengaturan-pengaturan gender bukan merupakan hasil alamiah yang membedakan
antara laki-laki dan perempuan, tetapi hasil sosial dan budaya (Staggenborg,
2003:2).
Masyarakan dunia,
termasuk Indonesia berkemauan kuat untuk
mengubah gender sebagai hasil kontruksi sosial dalam sistem kebudayaan
patriarki. Sistem budaya patriarki telah menciptakan lapisan atas-bawah
sehingga menimbulkan ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan, terutama
terhadap perempuan. Penjajahan sosial-ekonomi yang diikuti oleh penyebaran
agama yang terjadi dalam sejarah Indonesia memperkuat kedudukan lapisan atas
bawah tersebut.
Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa akar patriarki di Indonesia bersumber dari berbagai
aspek: sosiologis (pembagian kerja dan fungsi dalam masyarakat), kebudayaan
(feodalisme dan ajaran agama, tradisi, atau adat), politik (kolonialisme,
imperialisme, dan militerisme), dan ekonomi (kapitalisme). Oleh karena itu,
kondisi hubungan perempuan dan laki-laki tidak dapat dilihat tanpa menguraikan
situasi yang terjadi dalam konteksnya. Hingga saat ini, proses penyadaran
gender di masyarakat Indonesia terus berjalan meskipun lambat.
Hubungan perempuan
dan laki-laki di Indonesia masih didominasi oleh ideologi gender yang
membuahkan budaya patriarki. Budaya ini tidak mengakomodasikan kesetaraan dan
keseimbangan sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, biologis, dan sosiologis saling memengaruhi.
Pada awalnya, memang lebih bersifat alamiah, nature, fitrah. Kemudian melalui kebudayaan, kehidupan manusia
dikembangkan, direkayasa, dicegah, atau bahkan diberlakukan secara berlawanan
(kontradiksi) dengan dasar alamiah tadi. Dengan demikian, kehidupan manusia
dibentuk oleh alam dan pikiran manusia.
Manusia sejak
lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui proses belajar, manusia
membedakan jenis laki-laki dan perempuan. Tidak hanya memandang aspek
bilogisnya, tetapi juga dikaitkan dengan fungsi dasarnya dan kesesuaian
pekerjaannya. Dari proses belajar ini, muncul teori gender yang kemusdian
dijadikan landasan berpikir dan falsafah hidup sehingga menjadi ideologi.
Ideologi inilah yang kemudian mendikotomi pola hubungan anarmanusia yang biner
patriarki. Akibatnya perempuan menjadi terbelenggu oleh posisinya sebagai warga
kelas dua. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan sebagai manusia dalam
menentukan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sendiri.
Sampai saat ini,
masih banyak hak asasi
perempuan sebagai manusia pribadi, dirampas tanpa disadari oleh perempuan itu
sendiri. Situasi tersebut muncul sebagai akibat dari struktur budaya patriarki,
struktur ekonomi, struktur sosial, struktur politik, dan struktur sosial
religius. Struktur-struktur tersebut telah menciptakan sistem yang mengatur
tingkah laku perempuan sehingga perempuan mengalami ketidaksadaran akn
keberadaannya sebagai manusia pribadi. Bahkan, ada banyak pembenaran agama
untuk melegitimasi struktur-struktur yang memarginalkan perempuan melalui
ayat-ayat yang ditafsirkan dalam bahasa laki-laki,bias gender, dan cerminan
dari kontruksi masyarakat sosial yang patriarki sehingga perempuan terbentuk
menjadi manusia yang tidak kritis dan menerima apa adanya.
Masalah perempuan
sejak lama diupayakan untuk diselesaikan melalui kebangkitan perempuan yang
ditandai dengan perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari
ikatan-ikatan ketidakadilan. Sejak perempuan sadar bahwa dirinya sebagai
manusia yang diberlakukan tidak adil, mereka
mulai memberontak. Namun, karena gerakan pembodohan perempuan juga sudah
berabad-abad, usaha kebangkitan perempuan tersebut membutuhkan waktu yang lama
untuk mencapai hasil. Diperlukan usaha membuka cakrawala berpikir perempuan
sehingga mereka ketidakadilan yang selama ini mereka terima. Sesuai dengan
maksud dari gerakan perempuan yang berorientasi pada peningkatan martabat semua
manusia harus disadari bahwa perempuan dalam rumah tangga cenderung menjadi
korban, tetapi dari sisi lain lelaki belum menyadari telah membuat tekanan dan
penderitaan pada kaum perempuan.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1.
Analisis
data
Penelitian ini betujuan untuk mendeskripsikan kajian feminisme
teori Naomi Wolf dalam novelet Di Atas
Siang Di Bawah Malam. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil dari
teori feminisme Naomi Wolf dalam novelet Di
Atas Siang di Bawah Malam sebagai berikut
4.2.
Hasil
Analisis Data
Kajian feminisme teori Naomi Wolf dihadirkan dalam novelette Di Atas Siang di Bawah Malam terdapat
pada kalimat berikut;
No.
|
Feminisme
Radikal
|
Halaman
|
|
1.
|
Percakapan Asa
dengan Dokter Niah,”Kolerasi pekerja seks dengan kekerasan terhaap perempuan
pasti erat sekali hubungannya. Berapa banyak pekerja seks yang memilih
pekerjaan ini sebagai solusi terhadap kekerasan yang dideritannya?”
|
26-27
|
|
2.
|
Ujaran Asa
kepada dokter Niah, “bagaimana dengan kasus pemerkosaan di Batam”
|
26-27
|
|
3.
|
Percakapan
antara dokter Niah dengan salah seorang pasiennya yang merupakan PSK.
“Gini bu dokter,
kalau suruh pakai kondom, orangnya menolak”
“Yang pintar merayu, dong. Bilangin kalau
tidak mau pakai kondom, nanti bisa bawa penyakit kerumah, lantas menulari
istri”.
|
2
|
|
4.
|
Saat Batam
center melakukan pemeriksaan dalam dan pengambilan darah PSK, alat yang
digunakan tidak steril sehingga memungkinkan para PSK tertlar penyakit
HIV/AIDS. Hal ini itunjukan melalui kutipan berikut, “jika itu benar, hanya
kapasnya saja yang diganti, sedangkan cocor bebeknya, penjepit kapas yang
sama untuk mereka semua, bukankah kemungknan
penularan penyakit bisa terjadi?”
|
46-48
|
|
5
|
Percakapan
dokter Niah dengan salah satu pasiennya di kliniki, “harus sampai sembuh.
Harus sabar, penyakitnya banyak. Disini kan bisa ketemu teman-teman. Kalau
tamu kita ikut sakit, ia tidak datang lagi. Kita yang repot. Usahain deh,
rayu tamunya supaya pakai kondom biar gak bolak-balik sakit lagi. Sakitnya
itukan ketularan dari tamunya juga, terus kapan sembuhnya? Mestinya
dua-duanya sehat,kan?”
|
52-53
|
|
6.
|
Percakapan
antara dokter Niah dengan Rosi (seorang PSK), “kamu mesti ikut kursus.kalau
Jefry sudah jemu sama kamu, kamu dibunag, dan dia aka mengambil perempuan
lain. Lantas kamu miskin lagi, masuk karoke lagi, atau mejeng dipinggir
jalan.”
|
57
|
|
7.
|
Percakapan Dokter
Niah dengan Asa, Dokter Niah sedang menceritakan masa lalu Jesi mengapa ia
bisa terjebak di dunia pelacuran. Berikut kutipannya: “Jesi berasal dari
Medan. Setelah bekerja setahun, ia berpacaran dengan salah satu manajernya
dan hamil. Jesi dikeluarkan dari Muka Kuning karena tidak boleh ada perempuan
hamil yang bekerja, sedangkan manajernya cuci tangan. Akhirnya Jesi terjatuh
ke tangan calo pelacuran, walau tidak bekerja di karaoke atau panti pijat. Ia
bekerja seks bebas, dikendalikan oleh seorang calo yang kemudian menjadi
pacar sekaligus pemerasnya.
|
58
|
|
8.
|
Percakapan antara Dokter Niah dengan
Asa mengenai PSK,
“Apa Niah pernah menjumpai PSK yang
mengaku menjadi PSK karena pilihannya sendiri?”
“Semua PSK yang saya tanya mengaku
karena keterpaksaan, ditipu, dipukuli suami, dank karena masalah ekonomi.”
“Ya, memang demikian. Bahasa
inggrisnya kami sebut oppressed prostitution.”
|
59
|
|
9.
|
Percakapan
antara Dokter Niah dengan Asa, Dokter Niah menceritakan mengenai Elok seorang
pasien yang sudah dibantunya hingga sembuh namun kembali lagi menjadi PSK
karena ditipu. Berikut kutipannya, “itu Elok, PSK di Samyong yang katanya
pulang ke desa dan akan membukaa warung di sono. Elok pernah pernah mengidap
lima jenis penyakit menular seksual sekaligus, tapi tetap menerima tamu demi
perut. Tau-tau ia nongol lagi, dan seperti tidak punya beban apa-apa tiga
hari lalu menyambut saya di klinik Samyong. Katanya ia belum sampai di desa
uangnya sudah dihabiskan oleh calon suaminya yang menghilang di Jambi.
Rencananya mereka dari Batam ke Jambi, baru kemudian ke Palembang. Apa engga
sebel mendengar ceritanya? Mungkin ia sudah positif. Saya akan menyuruhnya
supaya ia mau di tes HIV.”
|
64
|
|
10.
|
Percakapan antara Dokter Niah
dengan Asa mengenai Rosi. “Jeffry mulai bosan dengan Rosi. Paling-paling
sebulan lagi.”
“Kok begitu?” tanya Asa.
“Kejadian begitu selalu akan
menimpa PSK. PSK itu tidak punya nilai tawar apa-apa. Kalau cowoknya bosan,
bisa saja mencari alasan untuk berganti dengan cewek lain.”
|
70
|
|
No.
|
Feminisme
Liberal
|
Halaman
|
1.
|
Lamunan Dokter
Niah mengenai dirinya saat pertama kali mengunjungi Samyong. Berikut
kutipannya; “Sepulang dari kunjungan pertamanya di Samyong, Dokter Niah kesal
dan tegang seharian. Ia setres hanya karena membayangkan perempuan-perempuan
itu tidur di kamar sepetak, makan disitu, kerja disitu, beristirahat disitu,
ditipu disitu.”
|
4-5
|
2.
|
“Lian, Kamu tahu
kemana perginya perempuan-perempuan muda yang datang ke batam di antar isap
tangis , doa dan harapan ibunya di desa? Bayangan mulut menganga adik dan
ibunya, ayahnya yang sakit dan keterhimpitan perasaan keperempuannya memaka
mereka melakukan sesuatu yang juga menghancurkan hidupnya. Mereka bekerja di
karaoke, panti pijat, dan bar di Samyong. Kalau kemarin mereka datang setegar
pokok kayu, sekarang mereka jadi butiran pasir yang dimainkan gelombang.
Sampah dan kotoran melekatinya, tetapi mereka tidak peduli lagi.
|
9
|
3
|
Rosi di bawa
ayahnya dari Bandung dan di serahkankepada pemilik karaoke di batam Center.
Waktu itu rosi baru berumur empat tahun. Setiap empat bulan sekali bapaknya
datang mengambil uang kontrakan rosi, tanpa menanyakan kepada rosi apakah ia
masih mau bekerja di tempat itu.
|
56
|
4
|
“stigama-stigma
seperti itu atau stigma lain misalnya amoral, merusak rumah tangga, sampah
masyarakat , sumber AID, dan sebagainya berdampak mempersempit ruang gerak
untuk membat piliahan bagi PSK yang ingin keluar dari prostitusi.
|
59
|
5
|
Ada lagi yang
bikin saya jengkel berat. Dokter gigi di klinik tempat kami bekerja menolak
asien yang Psk. Alasannya bukan hanya karena takut tertular HIV atau AID,
tapi karna uang yang di pakai membayar di dapat dengan tidak halal. Padahal
dokter gigi itu sudah mengikuti pelatihan HIV atau AID yang di selenggarakan
oleh dinas kesehatan.
|
66
|
6
|
Kami out reach
ke Hollywood, tempat panti pijat. Anak-anak karyawan tidur di ruangan di atas
tempat tidur yang super tipis, sekitar delapan puluh orang tidur kaya ikan
pindang di ruangan terbuka yang kotor di mana mereka makan dan tukar baju
tanpa prifasi. Ada beberapa orang baru yang terjebak dan masih menolak
bekerja, salah seorang dari mereka sedang hamil dan minta tolong sama saya.
|
68-69
|
7
|
Semenjak mereka
masuk ke lorong itu cahaya kehidupanpun memudar. Impian yang di bawa dari
desa seperti dorongan berbagai macam kebutuhan, sakit hati dan jeritan
tipuan, membawa mereka kesebuah kubangan, yang bagi pihak lain di jadikan
oase. Pihak lain telah hidup dan mereka, sambil mencibir bibir atau
melemparkan makian: Lonte, balon, perempuan tuna susila pengacau rumah
tangga, perempuan amoral, dan sejuta stempel criminal lainnya.
|
72
|
8
|
Dialog dokter
Niah dengan dirinya sendiri, “Aku tidak butuh orang sakit. Aku tidak
melakukan medikalisasi masyarakat. Gila! Aku tidak mau itu. Aku mau mereka
berani menyampaikan permasalahanya. Aku mau mereka datang sendiri, tidak usah
digiring dan disuruh-suruh satpam ataupun diancam kalau tidak mau berobat
atau periksa”.
|
4-5
|
9
|
Kami selalu di
bilang menor, norak, urakan, tapi itukan juga di lakukan perempuan lain di
desa dan di kota. Itu bukan ciri khusus kami. Selebihnya kami sama dengan
perempuan lain, sama-sama punya keingginan, perasaan, sedih, sakit hati,
ingin canti, ingin punya suami lagi.
|
74
|
10
|
“Lain kali kalau
mau periksa apa saja, Ade kesini sendiri, ya. Apa ngga enak badan, flu, sakit
perut, ngga usah tunggu disusruh. Jangan mau jadi kambing, disuruh ke sini
mau aja, ngga tahu mau apa. Ade kan orang, Ade yang punya badan ini,Ade yang
mesti jaga kesehatan badan Ade sendiri, bukan orang lain.”
|
10-11
|
11
|
Ucapan dokter
Niah kepada Asa, “Saya tidak bekerja untuk LSM, saya bekerja untuk orang yang
lemah. Sekarang untuk LSM.”
|
16-17
|
12
|
Dokter Niah
berkata kepada Asa, “ PSK yang mengamuk itu dibilang schizophrenia dan
psikosa oleh Anto psikolog. Padahal PSK itu mengamuk sebagai siasat untuk
melepaskan diri dari rantai yang membenlenggunya. Ia berpura-pura gila
sebaborang gila tidak perlu diadukan ke polisi.”
|
63
|
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Novelet Di Atas Siang Di Bawah
Malam karya Putu Oka Sukanta merupakan novelette yang isinya menceritakan
kehidupan PSK di Batam. Analisi teks sastra yang diguunakan dalam novelette ini
ialah menggunakan kajian feminisme Naomi Wolf. Feminism menurutnya dibagi
menjadi dua yaitu, feminism liberal dan radikal.
Feminism radikal dalam novelette ini dihadirkan melalui sudut pandang dan
kehidupan PSK yang sigambarkan cukup terpenrinci oleh penulis. Sedangkan
feminisme liberal muncul melalui penokohan dan sikap doker Niah.
DAFTAR
PUSTAKA
Mawadah, Ade
Husnul.tt.Bicara Sastra: Analisis Karya
Sastra dengan Berbagai Pendekatan.Serang: CV Dunia Kata.
Sofia, Adib.2009.Aplikasi Kritik Sastra Feminis.Yogyakarta: Citra Pustaka.
Sukanta, Putu Oka.2011.Di Atas Siang Di Bawah Malam.Jakarta:
Gramedia.
Eka Harisma Wardani,
“Belenggu-Belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni
Morrison Dalam The Bluest Eye”(
Studi Strata 1 Jurusan Sastra
Inggris dalam Ilmu Susastra Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, 2009).
Assalamualaikum, bisa minta tolong , boleh tdk minta file aslinya skripsi ini buat bahan reference .
BalasHapus