Jumat, 26 September 2014

SKRIPSI FEMINISME





SKRIPSI ANALISIS FEMINISME DALAM NOVELET DI ATAS SIANG DI BAWAH MALAM KARYA PUTU OTA SUKANTA : KAJIAN FEMINISME SASTRA


Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah kajian prosa fiksi

Description: FKIP

Oleh: 
1.      Luli Indriyani       
2.      Naqiyya Noor H
3.      Nur Dwi Widya P 
4.      Nur kholilah 
5.      Party Riskykah    
6.      Rika Sadewa
7.      Tia Oktafiani  



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2014

 


KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penyusunan skripsi yang berjudul “Analisis Feminisme dalam Novelet Di Atas Di Bawah Malam dapat diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah dari Allah SWT sehingga kendala-kendala yang dihadapi tersebut dapat diatasi. Untuk itu kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen Kajian Prosa Fiksi, Bapak Firman Hadiansyah M.Hum. yang telah memberikan tugas dan membimbing kami dalam pembuatan skripsi ini.
Kami telah berusaha semaksimal mungkin demi kesempurnaan penulisan skripsi ini, tetapi kami sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun kami harapkan kepada pembaca demi kesempurnaan skripsi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi umat manusia, khususnya pecinta ilmu dan pegiat sastra.


Serang, 29 April 2014
Penulis           






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR..........................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG....................................................................................3
1.2  RUMUSAN MASALAH................................................................................5
1.3  TUJUAN PENELITIAN...............................................................................5
1.4  METODE PENELITIAN..............................................................................5
1.5  KAJIAN RELEVAN......................................................................................6
BAB II RIWAYAT HIDUP DAN SINOPSIS
2.1 RIWAYAT HIDUP PENGARANG............................................................7
2.2 SINOPSIS CERITA.......................................................................................8
BAB III LANDASAN TEORI
3.1 LANDASAN TEORI....................................................................................9
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 ANALISIS DATA........................................................................................19
4.2 HASIL ANALISIS DATA...........................................................................19
BAB V PENUTUP
KESIMPULAN..................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................24










BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar belakang
Pada hakitanya sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Walaupun berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama, persoalan yang disodorkan oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan gaya yang berbeda-beda dan syarat pesan moral bagi kehidupan manusia.
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Meskipun demikian, karya sastra yang diciptakan pengarang kadang-kadang mengandung subjektivitas yang tinggi.
Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra, meski dibalut dalam semangat kreativitas, tidak luput dari selera dan kecenderungan subjektif, aspirasi, dan opini personal ketika merespons objek di luar dirinya, serta muatan-muatan khas individualistik yang melekat pada diri penulisnya sehingga ekspresi karya bekerja atas dasar kekuatan intuisi dan khayal, selain kekuatan menyerap realitas kehidupan. Itulah sebabnya di dalam sebuah cerita, cerpen atau novel, seorang pengarang sering mengangkat fenomena yang terjadi di masyarakat. Dengan harapan para pembaca dapat mengambil hikmah dari fenomena tersebut.
Pada dasarnya isi sebuah karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Sangat beragam perilaku manusia yang bisa dimuat dalam cerita. Kadang-kadang hal ini terjadi perulangan jika diamati secara cermat. Pola atau keterulangan inilah yang ditangkap sebagai fenomena dan seterusnya diklasifikasikan ke dalam kategori tertentu seperti gejala kejiwaan, sosial, dan masyarakat. Sebagai misal perilaku yang berhubungan gejala kejiwaan yaitu fenomena frustrasi atau kekecewaan (anxienty).
Karya merupakan jagad realita di dalamnya terjadi peristiwa yang dialami dan diperbuat manusia (tokoh).
Wanita selalu dianggap sebelah mata dan hanya mempunyai peran dalam ranah tertentu saja yaitu, kasur, dapur dan sumur. Budaya patriarki memarginalkan peranan wanita yang begitu terbatas. Tubuh wanita seringkali diartikan sebagai kecantikan yang “murah”. Ukuran cantik bagi seorang wanita diukur dari bentuk tubuh sedangkan akhlak hal yang kesekian. Wanita dianggap pengacau dan pembuat masalah. Bahkan di beberapa daerah kelahiran seorang wanita merupakan pertanda kesialan yang akan diperoleh bagi keluarga tersebut. Solusi yang mereka lakukan ialah membuang bayi perempuan tersebut dengan harapan kesialan yang akan menimpa mereka hilang bersama kepergian bayi yang mereka buang. Anggapan ini sungguh tidak manusiawi. Setiap kelahiran seorang bayi pasti membawa keburuntungan, baik bayi laki-laki maupun perempuan.
Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Pada era sebelum gerakan feminisme muncul hak-hak wanita begitu dibatasi. Partisipasi wanita dianggap tidak diperlukan. Kaum laki-laki selalu mendominasi dalam ranah apapun. Kaum wanita tidak diperbolehkan menempun pendidikan. Karena kaum wanita dianggap hanya perlu mengurus keluarga jadi tidak perlu berpendidikan tinggi.
Dalam hal perekonomian pun wanita tidak diperbolehkan memainkan perannya seperti yang dilakukan kaum laki-laki. Hal ini tentunya menimbulkan kecemburuan sosial terhadap kaum laki-laki. Wanita dianggap makhluk yang selalu bergantung pada laki-laki dan  tidak bisa mandiri.
Dominasi dan pengasingan terhadap perempuan beserta konsep kecantikan yang dilekatkan terhadap tubuh perempuan oleh patriarki tidak hanya terjadi dalam dunia nyata tetapi juga tercipta dalam karya sastra, khususnya novel. Novel merupakan wujud pemikiran seorang penulis dalam melihat dan merasakan fenomena sosial, budaya, dan hal lain-lain yang ia refleksikan ke dalam sebuah karya sastra. Meskipun novel merupakan karangan fiktif tetapi, novel juga memilki nilai realistis dalam kehidupan sosial. Dalam novel Diatas Siang Dibawah Malam menceritakan konflik mengenai kehidupan pekerja seks komersial di Batam. Batam yang disebut WC Singapura di malam hari ini menjadi pusat industri seks. Pengarang pun memunculkan konflik lainnya yang masih seputar konflik yang dialami kaum wanita kelas bawah dan dunia malam yang “kotor”. Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk menganalisa sebuah permasalahan peranan wanita yang bisa menjadi korban dan menjadi penguasa dalam sebuah novel sebagai dasar penyusunan proposal tentang Kajian Feminisme dalam Novel “Di Atas Siang Di Bawah Malam”.

1.2.       Rumusan Masalah
Bagaimana kajian feminisme teori Naomi Wolf dihadirkan dalam novelette Di Atas Siang di Bawah Malam?

1.3.       Tujuan Penelitian
Megetahui kajian feminisme teori Naomi Wolf dalam novel Di Atas Siang di Bawah Malam.

1.4.       Metode penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan bentuk penelitian kualitatif. Hasil penelitian dan data yang digunakan berupa kata dan kalimat.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kajian feminisme sastra. Dengan pendekatan ini, pembaca dapat menemukan konflik dalam novel yang menyinggung persoalan kehidupan wanita. Dalam kajian feminisme menurut Wolf, wanita berpotensi menjadi korban dan juga sebagai penguasa. Pendekatan feminisme pada dasarnya adalah suatu pendekatan yang berfokus pada keberadaan dan masalah gender perempuan dalam karya sastra dari sudut pandang perempuan dan sudut pandang peneliti perempuan.
Penulis menggunakan metode kepustakaan dalam penyusunan skripsi. Penulis mengumpulkan beberapa referensi dari beberapa sumber baik dari sumber elektronik, internet maupun sumber dari beberapa buku atau media cetak untuk mendukung penelitian
Setelah data-data dan referensi itu terkumpul, selanjutnya penulis memilih dan menyeleksi beberapa referensi tersebut untuk diterapkan dalam penelitian. Pemilihan dan penyeleksian tersebut sangat penting untuk dilakukan agar sesuai dengan objek kajian penelitian dan mendapatkan hasil penelitian yang diharapkan.

1.5.       Kajian Relevan
Kajian feminisme dalam sebuah karya sastra sebelumnya sudah dilakukan oleh Andhika Bareshi dari Universitas Kanjuruhan Malang dalam skripsinya yang berjudul “Persamaan dan Perbedaan Feminisme dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy dan Novel Meniti Jembatan Emas Karya Yan Daryono”. Dalam analisisnya Andhika menggunakan teori Naom Wolf, yang kemudian Andhika membahas feminisme ke dalam dua aliran, yaitu feminisme liberal dan feminisme radikal. Di dalamnya, Adhika menyampaikan feminisme liberal adalah sebuah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antar dunia privat dan publik. Dengan demikian, setiap manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan sama dengan laki-laki.
Kajian ini kemudian dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Naom Wolf yang mengatakan “Feminisme Kekuatan”, karena memang saat ini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Penelitian ini, tidak jauh berbeda dengan apa yang kami sama-sama bahas. Terkait teori yang di bahas oleh Naom Wolf. Kami juga membahas bahwa , perempuan adalah makluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender.
Kemudian selain Feminisme Liberal, terdapat satu aliran feminisme lagi yang dibahas oleh Andhika di dalam skripsinya. Yaitu Feminisme radikal, Andhika membahas feminisme radikal dengan pemahaman bahwa perempuan selalu ditindas oleh laki-laki memang nyata adanya dan gerakan ini sesuai namanya yang “radikal”. Andhika menganggap bahwa, penindasan terhadap perempuan terjadi akibat patriarki, tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh dan hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme). Seksisme relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikatomi privat-publik “the personal is pocitical” menjadi gagasan baru yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ke ranah privat masalah yang dianggap paling tahu untuk diangkat kepermukaan. Pembahasan ini masih ke dalam pembahasan yang sama, yang kami bahas. Kami membahasnya ke dalam “Feminisme Korban”, aliran ini masih oleh Naom Wolf. Kami menganggap bahwa sejak dahulu wanita selalu dianggap sebelah mata dan hanya mempunyai peran dalam ranah tertentu saja yaitu, kasur, dapur dan sumur. Dan sampai saat ini wanita masih dianggap sebelah mata, banya yang menjadikan wanita sebagai alat, wanita juga seringkali dianggap sebagai pengacau dan pembuat masalah.

BAB II
RIWAYAT HIDUP PENGARANG DAN RINGKASAN CERITA

2.1.            Riwayat Hidup Pengarang
Putu Oka Sukanta, lahir di Singaraja Bali, tgl 29 Juli 1939 adalah seorang penulis, wartawan dan aktif dalam masalah penanggulangan HIV/AIDS. Mulai menulis sejak di bangku SMP. Putu menyelesaikan pendidikan sarjana muda Ilmu Pendidikan, 1963. Pernah menjadi guru SMA di Jogja dan Jakarta, selain sebagai wartawan bebas. Karena aktif di Lekra, dia ditahan oleh Orde Baru sejak 1966-1976 di Jakarta dan Tangerang tanpa pernah diadili.
Buku sastra yang pernah ditulisnya adalah kumpulan puisi: Selat Bali, Tembang Jalak Bali, Matahari-Tembok Berlin, Salam, Perjalanan Penyair, dan Surat Bunga dari Ubud. Kumpulan cerita pendek: Keringet Mutiara, Luh Galuh, Die Tasche, Bukan Kematian, Rindu Terluka. Novel: Buruan, Merajut Harkat, Di Atas Siang di Bawah Malam, dan Kelakar Air, Air Berkelakar.
Beberapa bukunya sudah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan Perancis. Cuplikan novelnya, Leftover Soul, ditampilkan dalam Manoa: A Pacific Journal of International Writing. Putu juga menjadi contributing editor dari Latitudes dan staf anggota senior dari sebuah majalah alternatif, Nirmala.
Karya-karyanya dimuat dalam beberapa antologi internasional: Indonesian Contemporary Poetry (Indonesia 1963), This Prison Where I Live (London 1966), Voice of Cosciences (USA 1955), Bali Behind the Scene (Australia 1997), Silences Voices (Hawaii 2000), Menagerie IV (Indonesia 1998), Another Kinds of Paradise (Boston 2008).
Putu Oka Sukanta juga memproduksi film-film dokumenter dengan tema "Dampak Sosial Tragedi Kemanusiaan 1965/66". Ia banyak menulis buku kesehatan, di samping menjadi aktivis Program Penanggulangan HIV/AIDS. Ia tinggal di Jakarta, berpraktek akupunktur (Dia belajar tehnik pengobatan akupunktur dari Dr. Lie Tjwan Sin, teman satu sel di penjara). Dan bersama istrinya Endah Lasmadiwati (Solo 1948), mengelola "Taman Sringanis", sebuah gerakan kebudayaan dalam bidang kesehatan. Putu Oka Sukanta sudah diundang ke beberapa negara Eropa, Asia, Australia dan Amerika, baik sebagai pengarang maupun sebagai aktivis kemanusiaan.

2.2.            Ringkasan Cerita
Novelet ini menceritakan kehidupan seorang dokter yang bernama dokter Niah. Dokter Niah  mendapatkan tugas dinas di daerah Batam. Selama ia dinas di Batam, ia banyak membantu dan mengobati PSK yang terjangkit virus HIV maupun penyakit lainnya. Awalnya ia tidak merasa nyaman dengan kehidupannya di Batam namun, setelah ia semakin lama tinggal disini dan semakin mengenal kehidupan PSK beserta alasan mereka melakukan pekerjaan tersebut ia jadi merasa termotivasi untuk menolong PSK dan membela kaum wanita yang tertindas. Industri seks di Batam (WC Singapura dimalam hari) merupakan penghasil pemasukan daerah yang tertinggi. Hak-hak PSK begitu dibatasi. Alasan mereka menjadi PSK karena demi mencari uang, meskipun usia mereka masih sangat belia, mereka rela melakukan pekerjaan tersebut untuk membantu ekonomi keluarga mereka di kampung halaman.
Dokter Niah lebih banyak menghabiskan waktunya di LSM dibandingkan di klinik karena ia merasa banyak hal yang lebih penting ia kerjakan di LSM.
Lalu dokter Niah bertemu dengan seorang wartawan yang bernama Asa. Setelah mereka semakin mengenal satu sama lain mereka sering berdiskusi mengenai kehidupan PSK dan kekerasan terhadap wanita. Karena mereka mempunyai visi yang sama, mereka bekerja sama untuk membantu para PSK agar keluar dari jerat prostitusi. Mereka berusaha memberikan pengetahuan tentang kesehatan organ intim agar mereka memiliki kesadaran untuk menjaga kesehatan organ intimnya.


BAB III
LANDASAN TEORI

3.1.            Landasan Teori

3.1.1             Teori Naom Wolf
Wolf (1994:139) mengartikan feminism sebagai sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Istilah “ Menjadi feminis”, bagi Wolf, harus diartikan dengan “Menjadi Manusia”. Pada pemahaman yang demikian, seorang perempuan akan percaya pada diri mereka sendiri. Jika kata emansipasi dilekatkan pada kata perempuan, emansipasi cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan tanpa mempersoalkan ketidakadilan jender, sedangkan feminisme sudah mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini diniali tidak adil.
Wolf (1994: xxvii-xxviii) membagi pendekatan feminism dalam dua hal, yaitu feminisme korban (victim feminism) dan feminisme kekuasaan (power feminism). Feminism korban melihat perempuan dalam peran seksual yang murni dan mistis, dipandu oleh naluri untuk mengasuh dan memelihara, serta menekankan kejahatan-kejahatan yang terjadi atas perempuan sebagai jalan untuk menuntut hak-hak perempuan. Sementara itu, feminisme kekuasaan menganggap perempuan sebagai  manusia biasa yang seksual, individual, tidak lebih bak dan tidak lebih buruk dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi mitranya dan mengklaim hak-haknya atas dasar logika yang sederhana, yaitu perempuan memang memiliki hak.
Pada pendekatan feminisme korban, laki-laki menjadikan perempuan sebagai objek dan mengklaim bahwa perempuan tidak pernah berbuat sebaliknya laki-laki. Selain itu, laki-laki dianggap suka berpoligami dan hanya mengejar sesuatu yang tampak. Sementara itu, perempuan dipandang monogami dan mementingkan emosi. Dengan demikian, laki-laki egois dan tidak pernah setia, sedangkan perempuan tidak pernah tergoda dan setia. Dengan adanya gegar jender, yaitu tumbuhnya kesadaran-kesadaran tentang kesetaraan jender yang meluas di masyarakat, tumbuh pulalah kesadaran-kesadaran bahwa perempuan bukanlah minoritas, perempuan tidak perlu mengemis kepada siapapun untuk membonceng pesawat politik, perempuan mampu membuat segala sesuatu terjadi, dan keadilan serta kesetaraan bukan merupakan sesuatu yang dimohon dari orang lain (Wolf:1994:49-54).
Wolf (1994:46-49) mengemukakan bahwa pada dekade 1990-an mulai muncul pencitraan perempuan sebagai pemegang kekuasaan yang telah membebaskan perempuan untuk membayangkan diri mereka sebagai makhluk yang tidak hanya menarik dan memberi perasaan ingin menyayangi, melainkan juga dapat menimbulkan rasa hormat, bahkan rasa takut. Sementara itu, citra yang mendorong ke arah aksi adala citra tentang agresivitas, keahlian, dan tantangan, ketimbang pencitraan tentang korban.
Prinsip-prinsip pendekatan feminisme kekuasaan adalah sebagai berikut. Pertama, perempuan dan laki-laki mempunyai arti yang sama besar dalam kehidupan manusia. Kedua, perempuan berhak menentukan nasibnya sendiri. Ketiga, pengalaman-pengalaman perempuan mempunyai makna, bukan sekedar omong kosong. Keempat, perempuan berhak mengungkapkan kebenaran tentang pengalaman-pengalaman mereka. Kelima, perempuan layak menerima lebih banyak segala sesuatu yang tidak mereka punya karena keperempuan mereka, seperti rasa hormat dari orang lain, rasa hormat terhadap diri sendiri, pendidikan, keselamatan, kesehatan, keterwakilan, dan keuangan (Wolf:1994:138).
Dengan demikian, pendekatan feminism kekuasaan tidak memusuhi laki-laki dan menganggap laki-laki tidak terisah dari perjuangan bahkan mitra perempuan dalam perjuangan menuju kesetaraan sosial. Kelebihan pendekatan ini adalah memperlakukan perempuan sebagai manusia dan memperlakukan laki-laki sebagai manusia. Sementara itu, kekurangannya ialah terlalu menekankan kemandirian pribadi yang tidak sukses dan kurang beruntung dapat terlewatkan begitu saja (Wolf:1994:137).
Pengungkapan citra perempuan dengan kekuasaan harus dilakukan agar membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mengenali citra dirinya sendiri di antara citra-citra yang ada. Dengan cara yang sama sedret citra positif yang beraneka tentang feminisme akan memberi kesempatan pada perempuan untuk mengenali diri sendiri dan konotasi feminis dapat berubah menjadi pemahaman sebagai manusia (Wolf, 1994:130-311).
a.       Feminisme Liberal  
Feminisme Aliran liberal berasal dari filsafat liberalisme yang memiliki konsep bahwa kebebasan merupakan hak setiap individu sehingga dia harus diberi kebebasan untuk memih tanpa terkekang oleh pendapat umum dan hukum. Feminisme liberal yang memandang adanya kolerasi positif antara partisipasi dalam produksi dan status perempuan (Fakih, 1999:95). Feminisme liberal memandang manusia dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama meskipun mengakui adanya perbedaan tugas antara laki-laki dan perempuan. Bagi feminisme liberal manusia adalah otonom dan dipimpin oleh akal (reason). Dengan akal, manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak individu (Arivia, 2003:152).
Ketidaksetaraan dalam masyarakat terjadi, karena ada pelanggaran terhadap kebebasan individu yang terjadi melalui proses sosialisasi peran atau dasar sexs. Oleh karena itu, kesetaraan hanya bisa dicapai melalui pembaruan peraturan atau hukum, dan proses pendidikan. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Naomi Wolf, menyatakan bahwa "Feminisme Kekuatan" merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Perempuan yang melakukan tindakan yang sesuai dengan paradigm feminisme kekuasaan dalam penelitian ini disebut dengan perempuan kuasa. Pihak-pihak yang mendukung kekuasaan perempuan untuk mengakhiri dominasi juga merupakan tokoh-tokoh profeminis. Aksi perempuan-perempuan tersebut merupakan feminism dasar yang memprioritaskan fakta ketidak adilan jender yang menimpanya dalam rumah tangga. Mereka berupaya untuk menjadi makhluk yang dihormati, bahkan makhluk yang dapat menimbulkan rasa takut bagi laki-laki yang ingin menguasai dirinya (Wolf, 1994:53). Meskipun demikian, dari aksinya dalam mengakhiri dominasi yang dilakukan dengan simpatik terlihat bahwa tokoh-tokoh perempuan tersebut banyak memiliki kesesuaian dengan feminisme liberal. Feminisme ini menganggap laki-laki dan perempuan dilahirkan sama dan mempunyai hak yang sama meskipun ada hal-hal yang tak dapat dipertukarkan. Selain itu, feminisme liberal menganggap bahwa setiap manusia itu otonom dan dipimpin oleh akal sehingga manusia mampu memahami prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu, serta memprioritaskan hak politik dan bukan ekonomi.


b.      Feminisme Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”.
Feminisme radikal beranggapan bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hunbungan seksual adalah bentuk penindasan terhadap perempuan. Bagi penganut feminism radikal, patriarki adalah dasar-dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual yang dalam hal ini laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal.

3.1.2        Feminisme dalam Sastra
Karya sasta telah menjadi culture regine dan memiliki daya pikat yang kuat terhadap personal gender. Paham tentang perempuan sebagai orang yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya, laki-laki sebagai orang cerdas, aktif, dan sejenisnya selalu mewarnai sastra kita. Citra perempuan dan laki-laki tersebut seakan-akan telah mengakar di benak penulis sastra.
Teks sastra merupakan satu di antara banyak situs tempat kontruksi gender ideologis berada. Menurut Kristeva dalam Lestari (2004; 7-8), sastra mengungkapkan pengetahuan tertentu dan terkadang kebenaran itu sendiri mengenai alam yang teresepsi, gelap, rahasia, dan tak sadar. Ia menggandakan kontrak sosial dengan menguak yang tak terkatakan, yang polos. Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai media, karya sastra menjadikan jembatan yang menghubungkana pikiran-pikiran pengarang yang disampaikan kepada pembaca. Dalam hubungan antara pengarang dan pembaca, karya sastra menduduki peran-perana yang berbeda. Selain berperan dalam proses tranfer informasi dari pengarang ke pembacanya, karya sastra juga berperan sebagai teks yang diresepsi oleh pembaca.
Karya sastra yang menghadirkan sosok (tokoh) perempuan telah banyak ditulis dalam berbagai tema dan genre, baik oleh pengarang laki-laki maupun pengarang perempuan. Karya sastra dapat disebut berperspektif feminis jika mempertanyakan relasi gender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang seimbang antara perempuan dan laki-laki. Tetapi, tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika ia tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial.
Datangnya isu mengenai feminisme di dalam masyarakat Indonesia mungkin dapat penulis katakan bersamaan dengan munculnya berbagai gerakan perempuan yang menyerukan persamaan hak atau kesetaraan hubungan antara laki-laki dan perempuan di berbagai kehidupan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Gerakan-gerakan tersebut mampu melahirkan pemikiran-pemikiran tentang perempuan yang pada akhirnya mampu merubah kedudukan atau citra perempuan dalam kehidupan.

3.1.3             Gender dan Budaya Patriarki
Gender digunakan untuk merujuk pada pengaturan-pengaturan yang dideterminasi secara sosial. Seks, di lain pihak, digunakan untuk merujuk pada ciri-ciri deerminasi biologis, seperti kemampuan perempuan untuk melahirkan anak. Dengan kata lain, pengaturan-pengaturan gender bukan merupakan hasil alamiah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, tetapi hasil sosial dan budaya (Staggenborg, 2003:2).
Masyarakan dunia, termasuk Indonesia berkemauan kuat  untuk mengubah gender sebagai hasil kontruksi sosial dalam sistem kebudayaan patriarki. Sistem budaya patriarki telah menciptakan lapisan atas-bawah sehingga menimbulkan ketidakadilan, kekerasan, dan penindasan, terutama terhadap perempuan. Penjajahan sosial-ekonomi yang diikuti oleh penyebaran agama yang terjadi dalam sejarah Indonesia memperkuat kedudukan lapisan atas bawah tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akar patriarki di Indonesia bersumber dari berbagai aspek: sosiologis (pembagian kerja dan fungsi dalam masyarakat), kebudayaan (feodalisme dan ajaran agama, tradisi, atau adat), politik (kolonialisme, imperialisme, dan militerisme), dan ekonomi (kapitalisme). Oleh karena itu, kondisi hubungan perempuan dan laki-laki tidak dapat dilihat tanpa menguraikan situasi yang terjadi dalam konteksnya. Hingga saat ini, proses penyadaran gender di masyarakat Indonesia terus berjalan meskipun lambat.
Hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia masih didominasi oleh ideologi gender yang membuahkan budaya patriarki. Budaya ini tidak mengakomodasikan kesetaraan dan keseimbangan sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan. Dalam kehidupan bermasyarakat, biologis, dan sosiologis saling memengaruhi. Pada awalnya, memang lebih bersifat alamiah, nature, fitrah. Kemudian melalui kebudayaan, kehidupan manusia dikembangkan, direkayasa, dicegah, atau bahkan diberlakukan secara berlawanan (kontradiksi) dengan dasar alamiah tadi. Dengan demikian, kehidupan manusia dibentuk oleh alam dan pikiran manusia.
Manusia sejak lahir sudah dibuatkan identitas oleh orang tuanya. Melalui proses belajar, manusia membedakan jenis laki-laki dan perempuan. Tidak hanya memandang aspek bilogisnya, tetapi juga dikaitkan dengan fungsi dasarnya dan kesesuaian pekerjaannya. Dari proses belajar ini, muncul teori gender yang kemusdian dijadikan landasan berpikir dan falsafah hidup sehingga menjadi ideologi. Ideologi inilah yang kemudian mendikotomi pola hubungan anarmanusia yang biner patriarki. Akibatnya perempuan menjadi terbelenggu oleh posisinya sebagai warga kelas dua. Perempuan tidak memiliki kemerdekaan sebagai manusia dalam menentukan hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya sendiri.
Sampai saat ini, masih banyak hak asasi perempuan sebagai manusia pribadi, dirampas tanpa disadari oleh perempuan itu sendiri. Situasi tersebut muncul sebagai akibat dari struktur budaya patriarki, struktur ekonomi, struktur sosial, struktur politik, dan struktur sosial religius. Struktur-struktur tersebut telah menciptakan sistem yang mengatur tingkah laku perempuan sehingga perempuan mengalami ketidaksadaran akn keberadaannya sebagai manusia pribadi. Bahkan, ada banyak pembenaran agama untuk melegitimasi struktur-struktur yang memarginalkan perempuan melalui ayat-ayat yang ditafsirkan dalam bahasa laki-laki,bias gender, dan cerminan dari kontruksi masyarakat sosial yang patriarki sehingga perempuan terbentuk menjadi manusia yang tidak kritis dan menerima apa adanya.
Masalah perempuan sejak lama diupayakan untuk diselesaikan melalui kebangkitan perempuan yang ditandai dengan perjuangan perempuan untuk membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan ketidakadilan. Sejak perempuan sadar bahwa dirinya sebagai manusia yang diberlakukan tidak adil, mereka  mulai memberontak. Namun, karena gerakan pembodohan perempuan juga sudah berabad-abad, usaha kebangkitan perempuan tersebut membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai hasil. Diperlukan usaha membuka cakrawala berpikir perempuan sehingga mereka ketidakadilan yang selama ini mereka terima. Sesuai dengan maksud dari gerakan perempuan yang berorientasi pada peningkatan martabat semua manusia harus disadari bahwa perempuan dalam rumah tangga cenderung menjadi korban, tetapi dari sisi lain lelaki belum menyadari telah membuat tekanan dan penderitaan pada kaum perempuan.


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1.          Analisis data
Penelitian ini betujuan untuk mendeskripsikan kajian feminisme teori Naomi Wolf dalam novelet Di Atas Siang Di Bawah Malam. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil dari teori feminisme Naomi Wolf dalam novelet Di Atas Siang di Bawah Malam sebagai berikut
4.2.          Hasil Analisis Data
Kajian feminisme teori Naomi Wolf dihadirkan dalam novelette Di Atas Siang di Bawah Malam terdapat pada kalimat berikut;
No.
Feminisme Radikal
Halaman
1.
Percakapan Asa dengan Dokter Niah,”Kolerasi pekerja seks dengan kekerasan terhaap perempuan pasti erat sekali hubungannya. Berapa banyak pekerja seks yang memilih pekerjaan ini sebagai solusi terhadap kekerasan yang dideritannya?”
26-27
2.
Ujaran Asa kepada dokter Niah, “bagaimana dengan kasus pemerkosaan di Batam”
26-27
3.
Percakapan antara dokter Niah dengan salah seorang pasiennya yang merupakan PSK.
“Gini bu dokter, kalau suruh pakai kondom, orangnya menolak”
 “Yang pintar merayu, dong. Bilangin kalau tidak mau pakai kondom, nanti bisa bawa penyakit kerumah, lantas menulari istri”.

2
4.
Saat Batam center melakukan pemeriksaan dalam dan pengambilan darah PSK, alat yang digunakan tidak steril sehingga memungkinkan para PSK tertlar penyakit HIV/AIDS. Hal ini itunjukan melalui kutipan berikut, “jika itu benar, hanya kapasnya saja yang diganti, sedangkan cocor bebeknya, penjepit kapas yang sama untuk mereka semua, bukankah kemungknan  penularan penyakit bisa terjadi?”
46-48
5
Percakapan dokter Niah dengan salah satu pasiennya di kliniki, “harus sampai sembuh. Harus sabar, penyakitnya banyak. Disini kan bisa ketemu teman-teman. Kalau tamu kita ikut sakit, ia tidak datang lagi. Kita yang repot. Usahain deh, rayu tamunya supaya pakai kondom biar gak bolak-balik sakit lagi. Sakitnya itukan ketularan dari tamunya juga, terus kapan sembuhnya? Mestinya dua-duanya sehat,kan?”
52-53
6.
Percakapan antara dokter Niah dengan Rosi (seorang PSK), “kamu mesti ikut kursus.kalau Jefry sudah jemu sama kamu, kamu dibunag, dan dia aka mengambil perempuan lain. Lantas kamu miskin lagi, masuk karoke lagi, atau mejeng dipinggir jalan.”
57
7.
Percakapan Dokter Niah dengan Asa, Dokter Niah sedang menceritakan masa lalu Jesi mengapa ia bisa terjebak di dunia pelacuran. Berikut kutipannya: “Jesi berasal dari Medan. Setelah bekerja setahun, ia berpacaran dengan salah satu manajernya dan hamil. Jesi dikeluarkan dari Muka Kuning karena tidak boleh ada perempuan hamil yang bekerja, sedangkan manajernya cuci tangan. Akhirnya Jesi terjatuh ke tangan calo pelacuran, walau tidak bekerja di karaoke atau panti pijat. Ia bekerja seks bebas, dikendalikan oleh seorang calo yang kemudian menjadi pacar sekaligus pemerasnya.
58
8.
Percakapan antara Dokter Niah dengan Asa mengenai PSK,
“Apa Niah pernah menjumpai PSK yang mengaku menjadi PSK karena pilihannya sendiri?”
“Semua PSK yang saya tanya mengaku karena keterpaksaan, ditipu, dipukuli suami, dank karena masalah ekonomi.”
“Ya, memang demikian. Bahasa inggrisnya kami sebut oppressed prostitution.”
59
9.
Percakapan antara Dokter Niah dengan Asa, Dokter Niah menceritakan mengenai Elok seorang pasien yang sudah dibantunya hingga sembuh namun kembali lagi menjadi PSK karena ditipu. Berikut kutipannya, “itu Elok, PSK di Samyong yang katanya pulang ke desa dan akan membukaa warung di sono. Elok pernah pernah mengidap lima jenis penyakit menular seksual sekaligus, tapi tetap menerima tamu demi perut. Tau-tau ia nongol lagi, dan seperti tidak punya beban apa-apa tiga hari lalu menyambut saya di klinik Samyong. Katanya ia belum sampai di desa uangnya sudah dihabiskan oleh calon suaminya yang menghilang di Jambi. Rencananya mereka dari Batam ke Jambi, baru kemudian ke Palembang. Apa engga sebel mendengar ceritanya? Mungkin ia sudah positif. Saya akan menyuruhnya supaya ia mau di tes HIV.”
64
10.
Percakapan antara Dokter Niah dengan Asa mengenai Rosi. “Jeffry mulai bosan dengan Rosi. Paling-paling sebulan lagi.”
“Kok begitu?” tanya Asa.
“Kejadian begitu selalu akan menimpa PSK. PSK itu tidak punya nilai tawar apa-apa. Kalau cowoknya bosan, bisa saja mencari alasan untuk berganti dengan cewek lain.”
70





No.
Feminisme Liberal
Halaman
1.
Lamunan Dokter Niah mengenai dirinya saat pertama kali mengunjungi Samyong. Berikut kutipannya; “Sepulang dari kunjungan pertamanya di Samyong, Dokter Niah kesal dan tegang seharian. Ia setres hanya karena membayangkan perempuan-perempuan itu tidur di kamar sepetak, makan disitu, kerja disitu, beristirahat disitu, ditipu disitu.”
4-5
2.
“Lian, Kamu tahu kemana perginya perempuan-perempuan muda yang datang ke batam di antar isap tangis , doa dan harapan ibunya di desa? Bayangan mulut menganga adik dan ibunya, ayahnya yang sakit dan keterhimpitan perasaan keperempuannya memaka mereka melakukan sesuatu yang juga menghancurkan hidupnya. Mereka bekerja di karaoke, panti pijat, dan bar di Samyong. Kalau kemarin mereka datang setegar pokok kayu, sekarang mereka jadi butiran pasir yang dimainkan gelombang. Sampah dan kotoran melekatinya, tetapi mereka tidak peduli lagi.
9
3
Rosi di bawa ayahnya dari Bandung dan di serahkankepada pemilik karaoke di batam Center. Waktu itu rosi baru berumur empat tahun. Setiap empat bulan sekali bapaknya datang mengambil uang kontrakan rosi, tanpa menanyakan kepada rosi apakah ia masih mau bekerja di tempat itu.
56
4
“stigama-stigma seperti itu atau stigma lain misalnya amoral, merusak rumah tangga, sampah masyarakat , sumber AID, dan sebagainya berdampak mempersempit ruang gerak untuk membat piliahan bagi PSK yang ingin keluar dari prostitusi.
59
5
Ada lagi yang bikin saya jengkel berat. Dokter gigi di klinik tempat kami bekerja menolak asien yang Psk. Alasannya bukan hanya karena takut tertular HIV atau AID, tapi karna uang yang di pakai membayar di dapat dengan tidak halal. Padahal dokter gigi itu sudah mengikuti pelatihan HIV atau AID yang di selenggarakan oleh dinas kesehatan.

66
6
Kami out reach ke Hollywood, tempat panti pijat. Anak-anak karyawan tidur di ruangan di atas tempat tidur yang super tipis, sekitar delapan puluh orang tidur kaya ikan pindang di ruangan terbuka yang kotor di mana mereka makan dan tukar baju tanpa prifasi. Ada beberapa orang baru yang terjebak dan masih menolak bekerja, salah seorang dari mereka sedang hamil dan minta tolong sama saya.
68-69
7
Semenjak mereka masuk ke lorong itu cahaya kehidupanpun memudar. Impian yang di bawa dari desa seperti dorongan berbagai macam kebutuhan, sakit hati dan jeritan tipuan, membawa mereka kesebuah kubangan, yang bagi pihak lain di jadikan oase. Pihak lain telah hidup dan mereka, sambil mencibir bibir atau melemparkan makian: Lonte, balon, perempuan tuna susila pengacau rumah tangga, perempuan amoral, dan sejuta stempel criminal lainnya.
72
8
Dialog dokter Niah dengan dirinya sendiri, “Aku tidak butuh orang sakit. Aku tidak melakukan medikalisasi masyarakat. Gila! Aku tidak mau itu. Aku mau mereka berani menyampaikan permasalahanya. Aku mau mereka datang sendiri, tidak usah digiring dan disuruh-suruh satpam ataupun diancam kalau tidak mau berobat atau periksa”.
4-5
9
Kami selalu di bilang menor, norak, urakan, tapi itukan juga di lakukan perempuan lain di desa dan di kota. Itu bukan ciri khusus kami. Selebihnya kami sama dengan perempuan lain, sama-sama punya keingginan, perasaan, sedih, sakit hati, ingin canti, ingin punya suami lagi.
74
10
“Lain kali kalau mau periksa apa saja, Ade kesini sendiri, ya. Apa ngga enak badan, flu, sakit perut, ngga usah tunggu disusruh. Jangan mau jadi kambing, disuruh ke sini mau aja, ngga tahu mau apa. Ade kan orang, Ade yang punya badan ini,Ade yang mesti jaga kesehatan badan Ade sendiri, bukan orang lain.”
10-11
11
Ucapan dokter Niah kepada Asa, “Saya tidak bekerja untuk LSM, saya bekerja untuk orang yang lemah. Sekarang untuk LSM.”
16-17
12
Dokter Niah berkata kepada Asa, “ PSK yang mengamuk itu dibilang schizophrenia dan psikosa oleh Anto psikolog. Padahal PSK itu mengamuk sebagai siasat untuk melepaskan diri dari rantai yang membenlenggunya. Ia berpura-pura gila sebaborang gila tidak perlu diadukan ke polisi.”
63


BAB V
PENUTUP

5.1.        Kesimpulan
Novelet Di Atas Siang Di Bawah Malam karya Putu Oka Sukanta merupakan novelette yang isinya menceritakan kehidupan PSK di Batam. Analisi teks sastra yang diguunakan dalam novelette ini ialah menggunakan kajian feminisme Naomi Wolf. Feminism menurutnya dibagi menjadi dua yaitu, feminism liberal dan radikal.
Feminism radikal dalam novelette ini dihadirkan melalui sudut pandang dan kehidupan PSK yang sigambarkan cukup terpenrinci oleh penulis. Sedangkan feminisme liberal muncul melalui penokohan dan sikap doker Niah.

DAFTAR PUSTAKA
Mawadah, Ade Husnul.tt.Bicara Sastra: Analisis Karya Sastra dengan Berbagai Pendekatan.Serang: CV Dunia Kata.
Sofia, Adib.2009.Aplikasi Kritik Sastra Feminis.Yogyakarta: Citra Pustaka.
Sukanta, Putu Oka.2011.Di Atas Siang Di Bawah Malam.Jakarta: Gramedia.
Eka Harisma Wardani, “Belenggu-Belenggu Patriarki: Sebuah Pemikiran Feminisme Psikoanalisis Toni Morrison Dalam The Bluest Eye”(  Studi Strata 1 Jurusan Sastra Inggris dalam Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, 2009).




1 komentar:

  1. Assalamualaikum, bisa minta tolong , boleh tdk minta file aslinya skripsi ini buat bahan reference .

    BalasHapus