Oleh Nur Kholilah
Tugas ke dua,
buku ke dua. Buku kedua yang saya baca untuk memenuhi tugas kuliah ini memiliki
judul yang cukup menggelitik banyak orang. Yah, membaca judulnya saja orang
sudah berfikir luas tentang isinya. Begitu pula dengan saya. Ketika Pak Firman
menyebutkan judul buku kedua yang harus kami baca “Jangan Main-main dengan
Kelaminmu”, saya langsung dikelilingi rasa penasaran dan dikeroyoki setumpuk
pertanyaan. Sebetulnya hanya kata kelamin
yang membuat saya penasaran dan bertanya-tanya. Jujur saja, menurut saya
kata itu cukup sensitif jika dituliskan untuk sebuah judul buku, terlebih kata
itu diiringi dengan kata main-main. Cukuplah
untuk sejenak membuat saya menerawang seperti apa isinya itu. Membuat asumsi
bermacam-macam mengenai isi buku itu.
Penulis buku
yang mengangkat banyak mengenai seksualitas dan feminisme ini memang selalu
mengalami kontrofersi dan mendapatkat kritikan setiap kali bukunya terbit.
Karena banyak orang menilai cerita yang Djenar tulis terlalu liar, bebas, dan
propokatif. Bukan Djenar namanya jika hanya mendapat gunjingan seperti itu
langsung terjatuh. Djenar menganggap apa yang ingin diekspresikan memang harus
ditulis. Menurut Djenar, setiap pembaca pasti membutuhkan diskusi tentang
hal-hal yang selama ini selalu dianggap tabu. Maka dari itu, Djenar selalu
memberanikan diri menuliskan segala ekspresinya dalam bentuk kebebasan. Tidak
peduli seberapa banyak orang yang mengritiknya, tetapi memang itulah Djenar.
Mungkin kisah hidupnya yang sejak kecil dibebaskan oleh ayahnya Syuman yang
juga seorang seniman menjadikan salah satu alasan Djenar mencintai kebebasan.
Kontrofersi Cerpen Djenar Maesa Ayu
Satu per satu
cerpen saya baca, bermaksud untuk mencoba mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya telah mengeroyok benak saya dan
menghilangkan rasa penasaran yang selalu mengelilingi saya. Tetapi ternyata,
malah timbul rasa baru, semua itu terasa menjijikan dan mengesalkan bagi saya.
Karena malah terdapat misteri di dalam ceritanya. Di salah satu cerpennya yang
berjudul Cermin itu misalnya. Cerpen
itu seolah mendeskripsikan satu tokoh, namun tanpa terdapat jelas alurnya,
ceritanya juga tidak jelas akan dibawa ke mana. Dalam cerita itu, nama tokoh
yang selalu disebut-sebut yaitu Putri. Putri tahu-tahu sudah meninggal, di
dalam ceritanya tidak dijelaskan apa yang menyebabkan Putri meluncur dari
ketinggian lantai 23. Kalimat awal dan terakhir yang ditulis di cerpen itu,
memperkuat ketidak jelasan cerpen tersebut. Bisa kita sama-sama lihat dalam
kalimat ini “Kucari kau kucari. Kucari
kau di kelengangan dalam….”. Entah siapa yang Putri cari sehingga membuat
ia kecewa dan meluncur dari tempat yang begitu tinggi. Dalam kalimat itu juga
terdapat kata kelengangan entah
apalah arti dan maksud dari kata tersebut. Tak ada satupun dari cerita itu
menunjukkan adanya pemecahan masalah ataupun menunjukkan sebuah makna, yang
membuat saya marah pada cerpen itu.
Djenar memang
dikenal bebas dan liar setiap menuliskan cerita. Tetapi entah kenapa saya
merasa tidak setuju dan kesal ketika mendapati kata-kata yang menurut saya
menjijikan karena begitu fulgar. Tidak seharusnya Djenar menulis cerita yang
disetiap ceritanya itu pembahasannya hampir sama dengan selalu membumbui
ceritanya dengan unsur seksualitas yang tanpa sedikitpun disensor.
Hal yang paling
membuat saya mual ketika saya membaca cerpen yang berjudul Menyusu Ayah. Menurut saya itu sangat menjijikan. Tidak
terbayangkan oleh saya bagaimana seorang anak yang gemar menyusu penis ayahnya,
teman sebayanya, dan teman ayahnya.
Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu.
Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot
air mani Ayah. (hal.37)
Sejak Ayah tidak lagi sudi menyusui, saya berpaling
ke teman-teman Ayah. Saya tidak ingin mencicipi lagi susu teman-teman laki saya
yang sebaya. (hal.39)
Seorang anak
yang merasa haus jika belum menyusu, seorang anak yang hanya ingin menikmati
tanpa ingin dinikmati. Itu tidaklah baik dan sama sekali tidak menumbuhkan rasa
simpati saya terhadap bacaan tersebut.
Pengulangan-pengulangan
kalimat yang banyak terdapat dalam ceritanya, cukup membuat saya sebagai
pembaca bingung dan pengulangan kalimat itu tidak hanya terdapat pada satu
cerpen saja ada beberapa cerpen yang di dalamnya terdapat pengulangan kalimat.
Terlebih ketika sebuah cerpen yang berjudul Staccato
yang hanya menceritakan kronologi tanpa ada tokoh dan latar yang jelas,
membuat saya benar-benar dibuat bingung olehnya. Pada intinya, membaca buku ini
membuat bertambah banyaknya pertanyaan yang ada dan tidak terjawabnya semua
pertanyaan itu membuat saya semakin kesal.
Djenar Mengajarkan Pembacanya untuk Cerdas
Saya akui, tidak
hanya kritikan yang saya dapat ketika setelah membaca buku ini. Rasa kagum pun
muncul dalam benak saya. Begitu hebatnya Djenar dalam menulis cerita sehingga
membuat seluruh emosi pembacanya keluar. Saya rasa Djenar juga cukup baik
membimbing para pembacanya untuk cerdas. Disetiap kalimat yang Djenar tulis
terdapat simbol-simbol yang memiliki makna cukup mendalam dan menggelitik,
Djenar mengajak para pembaca untuk mengerti dan memaknai apa yang ia tulis.
Unsur feminisme
dan seksualitas yang terdapat dalam dirinya cukup baik, ia mampu mengangkat
unsur-unsur itu ke dalam realitas kehidupan yang selama ini ada namun masih
tersembunyi. Selain itu Djenar juga mampu memainkan perannya sebagai meja,
cermin, dan sebuah kamar. Cara pandangan yang sangat berbeda dari sastrawan
lain, Djenar mampu membuat benda mati itu seoah-olah hidup di dalam ceritanya Mandi Sabun Mandi. Cermin dan meja yang
seolah menjadi saksi dari sebuah perjalanan kemunafikan, penghiatanan, dan
kesemuan hidup. Secara tidak langsung, di dalam ceritanya, Djenar ingin
menunjukkan betapa licik dan rapuhnya komitmen dalam hubungan gelap seperti
itu.
Dalam Penthouse 2601, sebuah kamar yang
mempunyai impian murni yang ingin tubuhnya disinggahi oleh sebuah keluarga
berbahagia atau pasangan yang sedang berbulan madu. Ternyata impiannya kandas
begitu saja oleh tamu yang datang dengan perilaku seenaknya, dan sama sekali tidak
terpuji. Saat itu, sang kamar merasa tubuhnya telah dikotori dan dicemari.
Terdapat banyak
sekali pesan moral yang ingin Djenar sampaikan dalam cerita itu. Hanya saja
cara Djenar menyampaikan sangat berbeda dengan sastrawan pada umumnya, Djenar
selalu menggunakan simbol dalam setiap penyampaiannya yang membuat para
pembacanya cerdas dan mau untuk berpikir mencari makna dari sebuah cerita yang
Djenar sampaikan.